Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Malang, Prov Jawa Timur, menelurkan peraturan daerah (perda)
tentang penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No. 14 Tahun 2008 tanggal 30
Oktober 2008. Ini merupakan perda ke-33 dari 65 perda mulai dari
tingkat provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.
Bagaimana kiprah perda itu dalam
penanggulangan epidemi HIV di Kab Malang?
Salah satu materi utama dalam
perda-perda penanggulangan AIDS itu adalah pemakaian kondom pada hubungan seks
yang berisiko. Ini mengekor ke Thailand yang berhasil menekan kasus infeksi HIV
baru di kalangan penduduk dewasa melalui ‘program 100 persen kondom’. Program ini merupakan ekor dari rangkaian program terpadu di Thailand. Nah,
perda-perda di Indonesia pun hanya mengekor ke ekor program penanggulangan AIDS
di Thailand.
Pada pasal 1 ayat 22 disebutkan
“Perilaku seksual berisiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual
tanpa menggunakan kondom.” Tidak jelas hubungan seks seperti apa yang dimaksud
dengan berganti-ganti pasangan. Perilaku kawin-cerai juga merupakan kegiatan
yang berganti-ganti pasangan seksual. Tapi, apakah ini termasuk perilaku
seksual berisiko yang dicakup perda? Sedangkan ‘hidung belang’ umumnya
mempunyai ‘pacar’, ‘kiwir-kiwir’, atau langganan di kalangan pekerja seks
sehingga mereka tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan
’Lokalisasi Resmi’
Definisi yang tepat untuk perilaku
berisiko (tertular HIV) adalah “Melakukan hubungan seks di dalam atau di luar
nikah tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang
yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks di wilayah atau di
luar Kabupaten Malang.”
Dalam berita “Seks Tanpa Kondom Didenda
Rp 50 Juta” di Harian “Surya” (13/5-2009) ada pernyataan tentang kewajiban
memakai kondom pada hubungan seks berisiko. Lagi-lagi
ada persoalan besar di Indonesia umumnya dan Kab. Malang
khususnya terkait dengan hal ini jika dibandingkan dengan Thailand.
Pertama, di Indonesia tidak ada lokalisasi atau rumah bordir yang ‘resmi’ sehingga
penerapan wajib kondom tidak bisa dijalankan. Berbeda dengan Thailand yang
mempunyai lokalisasi dan rumah bordir ‘resmi’. Akibatnya, tidak ada mekanisme
untuk menguji tingkat pemakaian kondom di Indonesia. Sedangkan Thailand
mengujinya melalui survailans rutin terkait infeksi menular seksual (IMS),
seperti GO, sifilis, klamidia, hepatitis B, dll. terhadap pekerja seks. Jika
ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan pemakaian
kondom tidak 100 persen. Ada sanksi bagi pengelola lokaliasi dan rumah bordir.
Kondisinya kian runyam karena MUI Kab.
Malang menuntut agar lokalisasi pelacuran ditutup. Wakil Bupati Malang menolak
menutup lokalisasi karena khawatir akan muncul lokaliasi liar. Tuntutan MUI ini
terkait dengan mitos (anggapan yang salah) yang selama ini berkembang di
masyarakat yaitu mengait-ngaitkan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul
kebo, seks pra nikah dan homoseksual dengan penularan HIV. Tidak ada kaitan
langsung penularan HIV dengan zina, pelacuran, jajan, selingkuh, kumpul kebo,
seks pra nikah dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks di dalam
atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu
mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom. Kalau satu
pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun
hubungan seks dilakukan di luar nikah, zina, pelacuran, jajan, selingkuh,
kumpul kebo, seks pra nikah dan homoseksual.
Kedua, penolakan terhadap kondom di Indonesia sangat kuat. Ada asumsi yang
ngawur di kalangan orang-orang yang membalut lidahnya dengan moral yang melihat
sosialisasi kondom akan mendorong orang melacur. Padahal, lelaki ‘hidung
belang’ justru enggan memakai kondom. Fakta ini yang tidak dilihat oleh
orang-orang yang kontra terhadap sosialisasi kondom untuk kalangan yang
perilaku seksnya berisiko tertular HIV.
Dalam berita ada pernyataan aktivis LSM
Paramitra, Tri Gozali, “Ibu rumah tangga dan TKW yang baru pulang dari luar
negeri juga harus diwaspadai.” Ini mendorong stigmatisasi dan diskriminasi
terutama terhadap TKW. Kalau kaitannya hanya karena (kerja) ke luar negeri
mengapa hanya TKW? Pelancong, pegawai yang dinas, TKI laki-laki, diplomat dan
pegawai kedutaan, serta orang-orang yang melalukan kegiatan keagamaan juga
pergi ke luar negeri. Lagi-lagi ini mitos. Selalu dikesankan bahwa HIV (hanya)
ada di luar negeri. Padahal, bisa saja TKW tertular HIV di Indonesia sebelum ke
luar negeri.
Merendahkan Martabat
Kalau perda ini hanya mengatur perilaku
penduduk Kab. Malang di wilayah Kab. Malang maka risiko penyebaran HIV tetap
akan terjadi karena bisa saja terjadi penduduk Kab. Malang tertular di luar
wilayah atau luar negeri. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV
antar penduduk. Persoalannya adalah penduduk yang tertular HIV tidak
menyadarinya. Akibatnya, tanpa mereka sadari pula mereka menularkan HIV kepada
orang lain melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah.
Pada pasal 10 ayat 1 disebutkan “Setiap
orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib menggunakan kondom.” Jika
mengacu kepada fakta empiris terkait penularan HIV maka bunyi pasal ini adalah
“Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang melakukan hubungan seks di dalam
atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang
yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.”
Selanjutnya untuk memutus mata rantai
penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi “Setiap orang, laki-laki dan
perempuan, yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di
luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”
Perda ini pun lagi-lagi merendahkan
harkat martabat manusia sebagai makhluk Tuhan. Pada pasal 1 ayat 23 ada kata
penjaja seks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan penjaja
adalah orang yang menjajakan dengan berkeliling membawa dan menawarkan barang
dagangannya supaya dibeli orang.
Nah, apakah pekerja seks tidak pernah
berkeliling menawarkan ‘barangnya’? Justru laki-laki yang mendatangi pekerja
seks. Dan, dari aspek epidemiologis laki-lakilah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV. Laki-laki, baik penduduk local maupun pendatang, yang mengidap
HIV akan menularkan HIV kepada pekerja seks. Selanjutnya, laki-laki yang
melakukan hubungan seks dengan pekerja seks yang sudah tertular HIV berisiko
pula tertular HIV. Tapi, fakta ini selalu ditutup-tutupi karena kita melihatnya
dari sudut moral bukan dari fakta empiris.
Selama akar masalah penularan HIV tidak
disentuh maka selama itu pula penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk
akan terus terjadi. Ini akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan
datang.
Apakah kita (akan) menunggu ledakan
baru bertindak dengan nalar dalam menanggulangi epidemi HIV? Semua terpulang
kepada kita. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.