Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) di
Prov Nusa Tenggara Timur (NTT) menelurkan Peraturan Daerah Kabupaten Timor
Tengah Selatan, No 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
AIDS tanggal 14 April 2009. Perda ini merupakan perda
yang ke-31 dari 46 perda yang ada di Indonesia.
Untuk tingkat provinsi sendiri Pemprov
NTT sudah menelerukan Perda No 3 Tahun 2007 yang merupakan Perda ke-17 di
Indonesia. Tapi, seperti halnya perda-perda yang ada perda ini pun tidak bisa
mengendalikan penyebaran HIV karena hanya mengandalkan moral (Lihat: Mengukur Peran Perda Penanggulangan AIDS
NTT - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/mengukur-peran-perda-penanggulangan.html).
Di pasal 1 ayat 18 disebtukan:
Pencegahan adalah upaya-upaya agar seseorang tidak tertular HIV/AIDS dan tidak
menularkannya kepada orang lain, dan di ayat 19 disebutkan Penanggulangan
adalah upaya-upaya menekan laju penularan HIV/AIDS.
Sedangkan di Pasal 3 disebutkan:
Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS bertujuan untuk menghindari
mengurangi penularan HIV, meningkatkan kualitas hidup ODHA serta mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan
masyarakat.
Celakanya, dalam Perda ini sama sekali
tidak ada cara-cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV.
Di pasal 9 ayat 3 disebutkan:
Penanggulangan HIV dan AIDS terintegrasi dengan nilai-nilai agama, moral dan
sosial budaya.
HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya,
HIV/AIDS bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga
cara-cara penularan dan pencegahan pun dapat diketahui secara empiris. Maka,
pencegahan pun dapat dilkukan secara medis.
Maka, tidak jelas penanggulangan macam
apa yang harus diintegrasikan dengan nilai-nilai agama, moral dan sosial budaya
Kab TTS.
Pada bagian penjelasan disebutkan ada
aktor-faktor penyebab potensi penyebaran HIV dan AIDS di Kab Timor Tengah
Selatan di antaranya adalah:
1. Faktor geografis, yaitu letaknya
yang diapit oleh Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara serta Belu
yang merupakan jalur lintas Negara Timor Leste-Kupang (Ibu Kota Prov Nusa
Tenggara Timur)
2. Faktor ekonomi, di mana tingkat
pendapatan perkapita masih rendah sehingga berpotensi terjadinya praktek
prostitusi terselubung.
3. Meningkatnya jumlah PSK.
4. Meningkatnya penyalahgunaan NAPZA
dengan jarum suntik.
5. Faktor budaya yaitu adanya praktek
sifon pada sunat tradisional.
Tanggapan untuk point 1. Risiko
seseorang tertular HIV tidak ada kaitannya secara langsung dengan letak
geografis karena tergantung kepada perilaku seksual orang per orang. Pemkab
Kupang dan Pemkab TTU juga akan mengatakan potensi penyebaran HIV/AIDS di
daerah mereka karena letak geografis dekat dengan TTS.
Tanggapan untuk point 2. Praktek
prostitusi bisa menjadi faktor pendorong risiko penularan HIV jika tidak daa
kewajiban memakai kondom bagi laki-laki ‘hidung belang’ ketika sanggama dengan
pekerja seks komersial (PSK).
Tanggapan untuk point 3. Ada atau tidak
ada PSK di TTS tidak ada kaitan langsung dengan risiko penduduk tertular HIV
karena bisa saja penduduk TTS melacur di luar daerah atau di luar negeri.
Tanggapan untuk point 4. Risiko
penularan HIV melalui penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya)
terjadi jika narkoba dipakai dengan jarum suntik secara bergantian.
Tanggapan untuk point 5. Praktek sifon
berisiko tertular HIV jika laki-laki tidak memakai kondom. Di pasal 1 ayat 17
disebutkan: Sifon adalah usaha memecahkan kaulili (benjolan atau lepuhan) di
sekitar penis akibat sunat tradisonal melalui hubungan seksual dengan beberapa
perempuan.
Untuk mencegah penularan HIV pada
praktek sifon yang perlu dilakukan adalah mewajibkan laki-laki memakai kondom.
Sayang, dalam perda ini tidak ada pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom
pada praktek sifon. Yang ada di pasal 14 ayat 2 huruf b hanya keterangan
tentang SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Kecamatan
mempunyai tugas menginformasikan kepada KPAD tentang adanya kegiatan-kegiatan
yang berpotensi penularan HIV dan AIDS seperti praktek prostitusi/pelacuran
terselubung, kegiatan sunat tradisional dan sifon yang terjadi dalam
wilayahnya.
Pasal 14 ayat 3 huruf b disebutkan:
SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Desa dan Kelurahan
mempunyai tugas menginformasikan kepada KPAD tentang adanya kegiatan-kegiatan
yang berpotensi penularan HIV dan AIDS seperti praktek prostitusi/pelacuran
terselubung, kegiatan sunat tradisional dan sifon yang terjadi dalam
wilayahnya.
Pasal 23 ayat 2 disebutkan: Setiap
orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga
bahwa dirinya dan/atau pasangannya mengidap HIV wajib melindungi diri dan/atau
pasangannya dengan menggunakan kondom atau menerapkan seks yang aman.
Pasal 23 ayat 1 disebutkan: Setiap
orang yang telah mengetahui dirinya telah terinfeksi HIV wajib mencegah orang
lain terpapar langsung dengan cairan darah, cairan sperma dan cairan vaginanya.
Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen
insiden penularan HIV justru terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang
sudah mengidap HIV tidak menyadarinya. Maka, pasal 23 ayat 1 itu tidak
menyentuh akar persoalan terkait dengan penyebaran HIV, terutama secara horizontal
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pasal 14 ayat 3 huruf c disebutkan:
SATGAS Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS tingkat Desa dan Kelurahan
mempunyai tugas memprakarsai pembentukan Peraturan Desa tentang larangan sifon.
Selanjutnya di pasal 24 ayat 5 disebutkan: Setiap orang yang menggunakan jasa
sunat tradisional maupun sunat sehat dilarang melakukan sifon.
Sifon adalah budaya sehingga merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat di tatanan sosial. Maka, budaya ini tidak bisa
dilarang karena akan menimbulkan friksi sosial. Yang bisa dilakukan adalah
memberikan cara menjalankan sifon yang tidak berisiko tertular IMS dan
HIV/AIDS, yaitu memakai kondom. Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak
ada cara yang konkret untuk mencegah penularan IMS dan HIV melalui sifon.
Pasal-pasal dalam perda ini hanya di
awang-awang karena memakai ‘bahasa dewa’ yang tidak membumi bahkan mendorong
stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap Odha
(Orang dengan HIV/AIDS).
Di bagian peran serta masyarakat,
misanya, di pasal 19 ayat 1 disebutkan: Dalam rangka Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS masyarakat turut bertanggung jawab dengan cara: (a)
Berperilaku hidup sehat, dan (b) Meningkatkan Ketahanan Keluarga dengan cara
setia kepada pasangannya.
Tidak dijelaskan apa ukuran atau
takaran perilaku hidup sehat yang bisa mencegah dan menanggulangi penularan
HIV. Lalu, siapa pula yang berkompeten mengukur atau menakar perilaku seseorang
sehingga bisa mencegah penularan HIV. Pasal 19 ayat 1 huruf a akan mendorong
masyarakat melakukan stigma terhadap orang-orang yang tertular HIV karena
dianggap perilakunya tidak sehat.
Begitu pula dengan pasal 19 ayat 1
huruf b juga tidak akurat karena apa ukuran dan takaran ketahanan keluarga yang
bisa mencegah penularan HIV. Ini juga mendorong masyarakat memberikan stigma
dan diskriminasi terhadap Odha karena mereka dianggap tidak mempunyai ketahanan
keluarga sehingga tertular HIV.
Di pasal 24 ayat 6 disebutkan: “Setiap
hotel dan sarana penginapan lainnya dilarang menyediakan atau mengijinkan
praktek prostitusi/pelacuran.”
Padahal, Thailand berhasil menurunkan
insiden penularan HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual
dengan PSK di lokalisasi pelacuran. Maka, akan lebih efektif dalam
menanggulangi penyebaran HIV kalau penginapan, losmen, motel dan hotel
diwajibkan menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’.
Praktek pelacuran yang tidak
dilokalisir akan sulit dipantau karena PSK yang bekerja di sana juga tidak bisa
dilihat dengan kasat mata. Mereka dikenal sebagai PSK tidak langsung, al.
‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu
rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll. Mereka melayani laki-laki ‘hidung belang’
melalui kontak telepon, kurir, sopir taksi, atau karyawan hotel, dll.
Karena tidak ada pasal yang konkret
untuk mencegah penularan HIV dan menaggulangi epidemi HIV/AIDS, maka penyebaran
HIV akan terus terjadi di TTS. Pemkab TTS tinggal menunggu ‘panen AIDS’ karena
kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ‘bom waktu’
ledakan AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
http://paulsinlaeloe.blogspot.com/2012/12/menggugat-perda-prov-ntt-nomor-3-tahun.html
BalasHapusSEMOGA TULISAN INI BERMANFAAT BAGI KAWAN-KAWAN "JOTHI" YANG LAGI BERJUANG UNTUK MEREVISI PERDA PROV. NTT TERKAIT HIV/AIDS..