Tanggapan Berita (27/12-2012)
– "Kalau saat ini data yang kami pegang penderita HIV/AIDS di Kabupaten
Maros mencapai 42 orang. Angka itu kami perkirakan masih bertambah. Karena tidak menutup kemungkinan masih ada
penderita yang enggan melapor dan berobat." Ini pernyataan Ketua Badan
Narkotika Kabupaten (BNK) Maros, Sulsel, A Harmil Mattotorang, dalam berita ”42
orang di Maros positif HIV/AIDS” di sindonews.com
(23/12-2012).
Pernyataan Harmil ini terkait
dengan data kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Maros yang disebutkan berjumlah 42.
Yang jadi persoalan besar asalah pernyataan yang menyebutkan ” tidak
menutup kemungkinan masih ada penderita yang enggan melapor dan berobat”. Ini
naif. Soalnya, semua orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS pasti
tercatat karena ada prosedur administrasi pada saat ters HIV dilakukan.
Maka, tidak ada penderita HIV/AIDS yang tidak tercatat sepanjang ybs.
menjalani tes HIV sesuai dengan standar baku.
Yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah
tertular HIV karena tidak ada tanda atau gejala yang khas AIDS pada fisik
mereka. Tidak ada pula keluhan kesehatan terkait dengan HIV/AIDS. Gejala baru
akan muncul pada masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15 tahun.
Penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya,
jumlah kasus yang terdeteksi (42) digambarkan sebagai puncak gunung es yang
muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan
sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Disebutkan pula oleh Harnil bahwa penderita HIV/AIDS enggan melapor karena
faktor lingkungan. Apa lagi
pandangan masyarakat terhadap penderita sangat jelek. Umumnya masyarakat, masih
menjauhi mereka yang terkena penyakit HIV/AIDS.
Lagi-lagi pernyataan ini tidak akurat karena orang-orang yang sudah
menjalani tes HIV akan tercatat di dinas kesehatan yang selanjutnya diberitahu
ke Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) setempat. Maka, tidak ada kasus HIV/AIDS
yang sudah terdeteksi melalui tes HIV yang tidak tercatat.
Lagi pula kalau pengidap HIV/AIDS yang sudah terdeteksi tidak menjalni
kontak dengan dinas kesehatan, LSM atau KPA mereka akan rugi karena tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang gratis, seperti tes CD4 dan obat
antiretroviral (ARV).
Pernyataan Harmil ini bisa menjadi faktor yang menyebabkan angka laporan di Maros tidak bertambah yaitu: umumnya penderita HIV/AIDS banyak yang memilih memeriksakan diri ke Makassar, ketimbang di RS Salewangang.
Pernyataan Harmil ini bisa menjadi faktor yang menyebabkan angka laporan di Maros tidak bertambah yaitu: umumnya penderita HIV/AIDS banyak yang memilih memeriksakan diri ke Makassar, ketimbang di RS Salewangang.
Kalau seorang penduduk Maros tes HIV di Makassar, maka dia tercatat di sana
dan fasilitas pun bisa diperoleh di sana.
Pertanyaan untuk Harnil: Apakah di RS Salewangan ada tes HIV dengan standar
baku dan obat ARV?
Jika jawabannya tidak, maka amatlah masuk akal mereka memilih Makassar
karena yang dibutuhkan ada di sana.
Disebutkan oleh Harmil, berdasarkan survei yang dilakukan, kebanyakan
penderita HIV/AIDS berasal dari Kecamatan Camba dan Mallawa. Karena dua wilayah tersebut merupakan
perbatasan dengan daerah lain.
Pernyataan ini merupakan penyangkalan karena daerah yang berbatasan itu pun
akan mengatakan hal yang sama terhadap Maros. Lagi pula bisa saja penduduk
Maros di dua kecamatan itu tertular di daerah lain yang sama sekali tidak
berbatasan dengan Maros.
Disebutkan lagi oleh Harnil: "Kita Akan membentuk kelompok siswa peduli aids dan narkotika. Mereka dibentuk untuk membantu sosialisasi, setidaknya berawal dari kalangan pelajar saja dulu."
Yang di0perlukan adalah langkah yang konkret untuk menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja
seks.
Mungkin Harnil sesumbar: Di daerah kami tidak ada pelacuran.
Harnil benar, tapi tunggu dulu karena yang dimaksud tidak ada ’kan lokalisasi
pelacuran. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan
sembarang waktu.
Remaja, terutama putra, membutuhkan penyaluran dorongan hasrat seksual.
Penyaluran ini tidak bisa diganti (disubstitusi) dengan kegiatan selain
hubungan seksual. Maka, yang perlu dilakukan adalah memberikan informasi yang
akurat tentang cara-cara mencegah penularan HIV, terutama melalui hubungan
seksual.
Tanpa program penanggulangan yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di
Maros akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.