13 Desember 2012

Penanggulangan HIV/AIDS di Jakarta dengan Menyebarkan Stiker ke RW

* Program gagal yang sudah dilakukan sejak awal epidemi

Tanggapan Berita (14/12-2012) – “ …. Basuki (Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama-pen.) juga meminta KPAP (Komisi Penanggulagnan AIDS Prov DKI Jakarta-pen.) untuk membuka saluran konseling 24 jam. Para tenaga konselornya direkrut dari kalangan profesional, akademisi, ataupun relawan yang telah dibina.” (Sosialisasi HIV AIDS Rp 14 M, Basuki Larang Iklan di TV, kompas.com, 13/12-2012).

Itulah bagian dari ‘cara’ Basuki menekan penularan virus HIV di Ibu Kota.

Ternyata Basuki tidak memahami HIV/AIDS secara akurat. Konseling adalah bagian di hilir karena yang membutuhkan konseling biasanya orang yang sudah melakukan perilaku berisiko tertular HIV, seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung.

Laporan Kemenkes RI menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta per 30 Juni 2012 mencapai 25.893 yang terdiri atas  20.775 HIV dan 5.118 AIDS. Angka ini menempatkan Jakarta pada peringkat pertama jumlah kasus terbanyak di Indonesia.

Di Jakarta, terutama di Jakarta Barat, banyak tempat hiburan, seperti panti pijat dan hiburan malam, yang juga tempat transaksi seks. Itu artinya ada laki-laki dewasa penduduk Jakarta yang melakukan hubungan seksual dengan perempuan di tempat-tempat hiburan tsb. Maka, yang diperlukan adalah program yang konkret yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual di tempat-tempat hiburan malam.

Memang, Basuki mengatakan kunci sukses menekan HIV AIDS adalah kesiapan pemerintah dalam menyiapkan sebuah program dan dukungan biaya yang memadai.

Tapi, Basuki sama sekali tidak menyebutkan program apa yang (akan) disiapkan pemerintah, dalam hal ini KPA Prov Jakarta.

Disebutkan bahwa “informasi mengenai bahaya AIDS dapat lebih optimal saat langsung disampaikan pada masyarakat, atau menempelkan stiker informasi sampai ke tiap RW.”

Duh, sosialisasi melalui stiker, brosur, leaflet, dll. sudah lama dilakukan tapi hasilnya nol besar karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dalam stiker hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, disebutkan mencegah HIV “jangan melakukan hubungan seksual sebelum menikah”, “jangan melakukan hubungan seksual dengan bukan pasangan sah”, dll.

Biar pun sosialisasi melalui berbagai cara sudah digencarkan, tapi pertanyaan dari masyarakat jika ada diskusi, seminar, talk show di radio, dll. Menunjukkan informasi HIV/AIDS yang mereka terima tidak konkret. Pertanyaan yang diterima penulis melalui e-mail, telepon, dan SMS membuktikan hal itu. Sebagian pertanyaan dimuat di situs ini.

Dikabarkan KPA Jakarta akan menerima dana Rp 14 miliar dari Rp 25 miliar yang diminta KPA.

Biar pun dana ratusan miliar rupiah kalau tidak ada program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Jakarta akan terus terjadi karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi, al. pada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja hiburan malam dan panti pijat.

Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu hamil menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom, al. dengan pekerja hiburan malam dan panti pijat. Dikabarkan 78 ibu hamil di Jakarta mendapatkan pelayanan program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya (PMTCT) dari Januari hingga September 2012.

Angka itu hanya bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena KPA Jakarta tidak mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.

Disebutkan pula bahwa sosialisasi menekan penularan itu tidak berjalan maksimal karena tidak diimbangi dengan pelaksanaan program yang tepat.

Itu terjadi karena KPA Jakarta memang tidak mempunyai program yang konkret. Lihat saja Perda AIDS Jakarta yang sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS DKI Jakarta – http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-dki-jakarta.html). 

Penyebaran HIV/AIDS di Jakarta al. didorong oleh laki-laki dewasa yang tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.

Biar pun lokalisasi pelacuran, seperti Kramat Tunggak di Jakarta Utara, Boker di Jakarta Timur, Kali Jodo di Jakarta Barat, dll., itu tidak jaminan di Jakarta tidak ada pelacuran. Setelah tempat-tempat pelacuran itu ditutup kegitan pelacuran menyebar ke berbagai tempat, seperti di sekitar Stasiun KA Jatinegara, dll.

Celakanya, tanpa program yang konkret Pemerintah Kota Jakarta Barat sesumbar akan menghentikan penyebaran HIV. Ini tentu saja omong kosong (Lihat: Mustahil Jakarta Barat ’Bebas HIV/AIDS’ Tahun 2015 - http://www.aidsindonesia.com/2012/12/mustahil-jakarta-barat-bebas-hivaids.html).  


Maka, kalau penanggulangan HIV/AIDS hanya dengan menyarluaskan informasi, seperti dengan stiker, maka sudah bisa dipastikan insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang bisa dipantau dari kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga. Pemprov DKI Jakarta tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.