* Fakta dari Peluncuran film “HARUS!!”
Liputan (Jakarta, 28/12-2012) – Derita
demi derita rupanya tetap mendera perempuan-perempuan yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS. Selain menerima stigma (cap buruk) dan diskrimnasi (perlakuan
berbeda), akhir-akhir ini Odha (Orang dengan HIV/AIDS) perempuan juga mengalami
perlakuan yang tidak manusia yaitu mereka langsung disterilisasi (dimandulkan)
ketika masih di meja operasi waktu melahirkan.
Hal ini terungkap pada peluncuran film “Harus!!”
yang diproduksi oleh IPPI (Ikatan Perempuan Positif Indonesia) dengan dukungan
UN Women di Jakarta (27/12-2012).
Film itu sendiri dibuat berdasarkan kisah nyata
(true story) Odha perempuan di berbagai daerah di Indonesia. Seperti yang
dikatakan Baby Rivona dari IPPI, film ini diharapkan sebagai upaya memberikan
pemahaman kepada masyarakat agar tidak ada lagi kekerasan yang dialami oleh
perempuan, bukan hanya Odha perempuan.
Baby berharap agar masyarakat tidak salah paham jika
melihat film ini. ”Kami tidak bermaksud mendorong perempuan ’melawan’ kepada
suami,” kata Baby sebelum pemutaran film.
Memang, yang diharapkan adalah meningkatkan posisi
tawar istri terhadap suami yang melakukan kekerasan terkait dengan status istri
sebagai Odha.
Dari penelitian IPPI di lima provinsi terkait
dengan perlakuan yang dialami oleh istri-istri dengan status Odha menunjukkan
mereka menjadi bulan-bulanan suami. Dijadikan sebagai pencari nafkah, al.
memaksa istri jadi tenaga kerja ke luar negeri (TKW), sementara suami
ongkang-ongkang sebagai penangguran yang menghabiskan waktu dan uang di warung untuk
minum-minum miras (minuman keras) dan menjadi pelangganPSK di pelacuran.
Padahal, tidak sedikit di antara istri-istri
dengan status Odha itu yang justru tertular dari suaminya. Tapi, suami-suami
menjadikan status istri sebagai senjata untuk menjadikan istri sebagai objek.
Pemeran utama film ini Ayu Oktarian (Eli) juga
berharap agar ada pemahaman di masyarakat bahwa perempuan, terutama Odha perempuan,
bukanlah pihak yang harus selalu ada di pihak yang jadi korban kekerasan.
Selain stigma dan diskriminasi, Odha perempuan pun
mengalami perlakuan yang tidak manusia di meja operasi ketika melahirkan.
Mereka langsung dimandulkan (disterilisasi) dengan cara tubektomi tanpa melalui
persetujuan (tubektomi adalah pemotongan saluran indung telur atau tuba fallopi sehingga sel telur tidak bisa memasuki rahim untuk dibuahi.
Tubektomi bersifat permanen. Walaupun bisa disambungkan kembali, namun tingkat
fertilitasnya tidak akan kembali seperti sedia kala. Tubektomi adalah salah
satu alternatif KB/keluarga berencana-id.wikipedia.org).
Pemandulan yang dilakukan tenaga medis itu
merupakan bentuk nyata perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia (HAM).
Agaknya, tenaga medis merasa jadi ’pahlawan’ dalam
penanggulangan HIV/AIDS karena dengan menandulkan Odha perempuan maka tidak ada
lagi bayi yang lahir dengan HIV/AIDS.
Tentu saja anggapan tenaga medis itu naif dan
menyesatkan karena penularan HIV dari perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS ke
bayi yang dikandungnya tidak terjadi secara otomatis.
Risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang
dikandungnya antara 15-30 pesern jika masa kehamilan tidak ditangani oleh
dokter. Kalau ditangani oleh dokter maka risiko bisa ditekan sampai nol persen,
al. dengan pemberitan obat antiretroviral (ARV) dengan persalinan melalui
operasi Caesar dan tidak menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Bandingkan dengan penyakit-penyakit genetika (sebuah
kondisi yang disebabkan oleh kelainan oleh satu atau lebih gen yang menyebabkan
sebuah kondisi fenotipe klinis, sekarang ini ada sekitar 4.000 penyakit genetik yang sudah
diidentifikasi -id.wikipedia.org). Beberapa
penyakit genetik yang otomatis
diturunkan dari orang tua ke anak, seperti thalasemia. Dengan angka kelahiran 23 per 1.000 dari 240
juta penduduk Indonesia, maka diperkirakan ada sekitar 3.000 bayi penderita
thalasemia yang lahir tiap tahun (www.beritasatu.com,
2/6-2012).
Tapi, karena pemahaman terhadap HIV/AIDS yang
tidak komprehensif di banyak kalangan, maka dikesankan penularan HIV dari
ibu-ke-bayi yang dikandungnya terjadi otomatis.
Kekerasan yang dialami Odha perempuan merupakan
dampak buruk dari pemahaman yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS di
masyarakat. Ini terjadi karena selama ini informasi HIV/AIDS yang
disebarluaskan melalui brosur, buku, leaflet, ceramah, dan berita di media
massa selalu dibalut dengan moral sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS kabur.
Yang ditangkap oleh masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS,
seperti pekerja seks komersial (PSK) dan ibu rumah tangga, tertular dari
laki-laki.
PSK tertular dari laki-laki ’hidung belang’ yang tidak
mau memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Ibu rumah tangga tertular HIV dari suaminya. Suami
tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan perempuan lain atau dengan PSK, waria serta laki-laki yang dikenal
sebagai LSL/lelaki suka seks lelaki (Lihat: Laki-laki Suka (Seks) Laki-laki (LSL) dalam Epidemi AIDS di Indonesia
- http://www.aidsindonesia.com/2012/11/laki-laki-suka-seks-laki-laki-lsl-dalam.html).
Kembali ke pemahaman yang naif pada tenaga medis
yang melakukan pemandulan mereka mengabaikan fakta empiris bahwa yang
menyebarkan HIV adalah laki-laki. Biar pun perempuan-perempuan yang mengidap
HIV/AIDS dimandulkan selama suami atau pasangan perempuan-perempuan itu tidak
menjalani tes HIV dengan konseling, maka selama itu pula mereka menyebarkan HIV
di masyakarat.
Laporan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi ada ibu
rumah tangga merata dari semua daerah. Ini membuktikan perilaku suami-suami
yang berisiko tertular HIV, al. melacur tanpa kondom dengan PSK langsung atau
PSK tidak langsung, terjadi di masyarakat.
Celakanya, karena primordialisme yang kental di
masyarakat maka yang disalahkan ada kesalahan selalu ada pada perempuan. Ini
pulalah yang dilihat oleh Baby Jim Adytia, aktivis di Partisan, sebagai salah
satu faktor yang membenamkan perempuan pada posisi yang terpuruk di masyarakat.
Kondisi ini diperburuk oleh pemahaman yang tidak
komprehensif terhadap agama sehingga menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat
dari laki-laki.
Selama pemahaman terhadap perempuan tidak memakai
perspektif gender, maka selama itu pula perempuan tetap menjadi objek pelengkap
penderita. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Saya kira, yang kurang dari tulisan ini, fakta bahwa banyak istri tertular dari suami yang narkoba. Menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Jumahnya juga cukup banyak & justru dari kalangan menengah - menengah atas. Suaminya (laki-lakinya) tidak mau disalahkan, tetapi perlakuan diskriminasi & pengucilan tetap terjadi.
BalasHapusSialnya, kelompok masyarakat baik pengadvokasi maupun pengkaji HIV/Aids juga jarang bermain dengan data2. Maka tidak terpetakan secara jernih juga.
Tabik
BJD. Gayatri
@Anonim, terima kasih. Maaf, mengapa harus 'anonim'? Saya memilih persoalan dngan faktor risiko hubungan seksual bukan berarti mengabaikan penularan melaui jarum suntik. Tapi, apakah bias dibuktikan bahwa penyalahguna narkoba dng jarum suntik memang benar terular melalui jarum suntik? Ada di antara mrk yg sdah ngeseks sblm menyuntik dan ada pula yg juga ngesek sepanjang menjadi pemakai narkoba dng suntikan.
BalasHapusterima kasih atas informasi yang anda share. saya hanya ingin bertanya mengenai penelitian IPPI di lima provinsi terkait dengan perlakuan yang dialami oleh istri-istri dengan status Odha tersebut dilakukan pada tahun berapa ? mohon informasi lebih lanjut karena materi tersebut saya akan gunakan sebagai bahan referensi tugas akhir. terima kasih
BalasHapus