Tanggapan Berita (23/12-2012) – “ ….
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Sosial, bahwa
prostitusi itu terkait dengan masalah kemiskinan.” Ini pernyataan Menteri
Sosial (Mensos), Salim Segaf Al-Jufri (Mensos: Prostitusi Pucuk Disebabkan Kemiskinan, metrojambi, 16/12-2012).
Pernyataan Mensos ini terkait dengan lokalisasi
pelacuran ”Payo Sigadung” lebih dikenal sebagai ”Pucuk” yang sulit dipindahkan.
Pernyataan Mensos ini menunjukkan bias
gender yang hanya melihat kesalahan pada perempuan, dalam hal ini pekerja seks,
yang mangkal di lokalisasi itu.
Kalau pekerja seks ’praktek’ di
lokalisasi, lalu apa alasan laki-laki ’hidung belang’, bahkan ada yang sudah
beristri’ melacur ke ’Pucuk’? Sayang, wartawan tidak bertanya sehingga tidak
ada jawaban Mensos.
Padahal, laki-laki ’hidung belang’ yang
melacur ke ’Pucuk’ menjadi jembatan penyebaran IMS ((infeksi menular seksual
yaitu penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam
dan di luar nikah dari yang mengidap IMS kepada pasangannya, seperti
sifilis/raja singa, GO/kencing nanah, virus hepatitis B, klamidia, jengger
ayam, dll.) atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari masyarakat ke pekerja seks
atau sebaliknya.
Dengan 703 kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Jambi, yang
terdiri atas 362 HIV dan 341 AIDS dengan
123 kematinan tentulah langkah yang pas bukan menutup lokalisasi tsb., tapi
menjalankan program yang bisa mencegah penularan HIV dari laki-laki ke pekerja
seks dan sebaliknya.
Ini pernyataan Mensos: "Lokalisasi
itu tidak ada relokasi atau pemindahan, cara menyelesaikannya lakukanlah
lokakarya yang dihadiri oleh dinas terkait, dan hadirkan juga tokoh masyarakat
dan para ulama."
Pak Mensos lupa atau pura-pura lupa
kalau pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Biar pun lokalisasi ’Pucuk’ ditutup itu tidak berarti praktek pelacuran
berhenti di Kota Jambi.
Praktek pelacuran menyebar ke banyak
tempat, seperti penginapan, losmen, hotel melati sampai hotel berbintang
sehingga program penanggulangan IMS dan HIV tidak bisa dijalankan karena
pelacuran tidak bisa dijangkau.
Masih pernyataan Mensos: Dan untuk
memanusiakan mereka kembali dilakukan langkah-langkah secara bertahap, yakni
siapkan rumah yang sederhana untuk mereka, dan anak-anaknya bisa tumbuh sehat
dan bersekolah, serta siapkan lapangan kerja bagi mereka.
Pertanyaan untuk Pak Mensos: Bagaimana
’memanusiakan’ laki-laki ’hidung belang’ agar tidak mencari-cari pekerja seks
biar pun kelak ’Pucuk’ ditutup?
Nah, ini juga tidak ditanya wartawan
sehingga dikesankan kalau ’Pucuk’ ditutup maka pelacuran berhenti dan pekerja
seks ’pulang kampung’ menjalani hidup yang ’lempang’.
Itulah yang diperkirakan Mensos akan
terjadi: "Saya yakin, mereka pasti akan meninggalkan perilaku yang seperti
itu." pungkasnya.
Lagi-lagi Pak Mensos lupa kalau program
rehabilitasi dan resosialisasi pekerja seks sudah dijalanan pemerintah semasa
rezim Orba, tapi hasilnya nol besar (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) -
http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).
Pelacuran adalah fenomena sosial yang tidak akan terpecahkan karena di sana ada hukum pasar: ada permintaan terhadap pekerja seks (laki-laki ’hidung belang’) dan ada pula pasokan pekerja seks (germo).
Kalau saja Pak Mensos membalik paradigma
berpikirnya yaitu dengan mengajak laki-laki agar tidak ada lagi yang melacur,
maka ’Pucuk’ dan pelacuran lain di negeri ini akan tutup dengan sendirinya
tanpa harus seminar dengan membuang-buang uang rakyat yang juga tidak akan ada
hasilnya.
Sayang, Pak Mensos ternyata tetap
memakai cara berpikir lama yang sudah terbukti tidak berhasil. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.