07 Desember 2012

Membaca Probabilitas Penularan HIV Melalui Hubungan Seksual


Oleh Syaiful W. Harahap

Dimuat di Newsletter HindarAIDS ” No. 16, 1 Maret 1999

Karena tidak ada gejala yang khas pada diri Odha maka upaya untuk mencegah penularan HIV adalah dengan melindungi diri sendiri agar tidak terinfeksi HIV. Hal ini dapat dilakukan oleh seseorang dengan menghindarkan diri dari perilaku yang berisiko tinggi terinfeksi HIV (seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti, melakukan hubungan seksual dengan yang berperilaku berisiko tinggi tanpa kondom, menerima transfusi darah yang belum diskirining HIV, atau memakai jarum tindik, jarum akupungtur dan jarum suntik secara bersama-sama, terutama di kalangan pengguna narkotik).

Penularan HIV melalui hubungan seksual menjadi persoalan besar karena kita tidak dapat mengetahui atau memastikan kapan dan bagaimana sebenarnya HIV menular pada saat hubungan seksual. Biar pun penelitian menunjukkan sekitar 80% penyebaran HIV terjadi melalui hubungan seksual yang tidak aman, tapi penelitian menunjukkan probabilitas (kemungkinan) penularan melalui hubungan seksual yang tidak aman berkisar antara 0,03 dan 5,60 persen. Justru melalui transfusi darah probabilitasnya mencapai 89,50%, sedangkan dari ibu yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya antara 15-30%.

Jika dilihat dari probabilitas risiko infeksi HIV melalui hubungan seksual yang sangat kecil itu tentulah berpengaruh secara psikologis. Tidak tertutup kemungkinan ada yang akan melihatnya dengan sebelah mata. Risiko yang kecil itu membuat mereka tidak berhati-hati. "Angka-angka itu hanya untuk keperluan ilmu pengetahuan," kata dr. Kartono Mohamad, mantan Ketua IDI ini, mengingatkan. Kartono membandingkannya dengan pilot yang selalu ekstra hati-hati dan tetap mengikuti standar prosedur operasi dalam menerbangkan dan mendaratkan pesawat. Statistik menunjukkan angka kecelakaan pesawat terbang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan kecelakaan di darat dan di laut.

Jadi, kita tidak bisa melihat probabilitas itu dengan mata telanjang. Karena kemungkinannya kecil, kita pun mengabaikannya. Buktinya, jalur penyebaran infeksi HIV yang paling banyak justru melalui hubungan seksual. Ini terjadi, menurut dr. Zubairi Djoerban, DSPD, pakar AIDS di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta, karena setiap orang melakukan hubungan seksual berkali-kali. 

Bahkan, sering pula dengan pasangan yang berganti-ganti. Inilah yang membuat penyebaran HIV jauh lebih besar melalui faktor risiko hubungan seksual (heteroseksual dan homoseksual), daripada melalui transfusi darah biar pun probabilitas penularan melalui transfusi jauh lebih besar daripada melalui hubungan seksual. Lagipula, jumlah orang yang menerima transfusi darah jauh lebih sedikit daripada orang yang melakukan hubungan seksual. Frekuensi transfusi darah terhadap seseorang pun jauh lebih kecil daripada kegiatan hubungan seksual yang dilakukannya pada kurun waktu tertentu.

Maka, biar pun risiko penularan melalui hubungan seksual sangat kecil, tapi "Kita tidak bisa mengetahui kapan terjadi penularannya," ujar Mas Ton, panggilan akrab Kartono, lagi-lagi mengingatkan kita. Soalnya, tidak ada alat tes HIV yang cepat dan langsung bisa mengetahui status HIV seseorang, terutama pada oang yang perilakunya berisiko tinggi terhadap penularan HIV. Misalnya, kemungkinan tertular melalui hubungan seksual 1:100. Persoalannya, kita tidak dapat mengetahui dengan persis pada hubungan seksual yang keberapa penularan itu (akan) terjadi. Bisa saja terjadi pada kesempatan pertama.

Pengalaman Zubairi menunjukkan ada Odha yang mengaku baru tujuh kali melakukan hubungan seksual. Jadi, dalam kasus ini probabilitasnya 1:7. Bisa juga terjadi bagi salah satu dari pasangan itu baru untuk pertama kali, tapi lawannya sudah yang ke 100, atau sebaliknya. Atau, bagi salah seorang yang ke-25, tapi bagi pasangannya itu sudah yang ke-100. Dan seterusnya.

Peringatan Mas Ton itu sangat beralasan karena epidemi AIDS sudah menjangkau orang di luar yang berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV, seperti anak-anak dan ibu rumah tangga. Kondisinya kian mengkhawatirkan karena sampai saat ini tidak ada cara pencegahan yang objektif dan realistis yang dianjurkan ataupun direkomendasikan di Indonesia.

Bahkan, berbagai anjuran dan program sama sekali tidak memberikan cara yang objektif dan realistis untuk melindungi diri agar tidak terinfeksi HIV. Yang dikumandangkan dalam berbagai kegiatan, seperti penyuluhan dan kampanye, hanyalah slogan yang bermuatan pesan moral. Padahal, fakta membuktikan pesan moral tidak pernah membawa hasil yang baik. Buktinya, biar pun ada sanksi dosa bagi pelaku kejahatan, tapi tetap saja terjadi tindakan yang membuat orang menanggung dosa. Justru law enforcement jauh lebih berhasil daripada pesan moral.

Untuk itulah Zubairi mengharapkan agar pemberitaan tentang probabilitas itu selalu dikemas dalam satu paket yang utuh agar tidak ada yang salah tafsir. Maksud Zubairi, kalau membicarakan probabilitas dikaitkan pula dengan fakta, seperti jumlah kasus infeksi HIV melalui hubungan seksual dan faktor yang membuat risiko tertular melalui hubungan seksual tetap harus diperhitungkan.

Probabilitas yang kecil itu akan menjadi besar karena seseorang melakukan hubungan seksual berkali-kali, apalagi kalau hubungan seksual itu dilakukan dengan orang yang tidak diketahui status HIVnya ataupun dengan orang yang berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV tanpa menggunakan kondom. Risiko kian meningkat tatkala ada penyakit menular seksual (PMS) karena infeksi PMS ini (yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop) akan memudahkan HIV memasuki aliran darah seseorang. ***[AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.