Dimuat di Newsletter ”HindarAIDS ” No. 16, 1 Maret 1999
Karena tidak ada gejala yang khas
pada diri Odha maka upaya untuk mencegah penularan HIV adalah dengan melindungi
diri sendiri agar tidak terinfeksi HIV. Hal ini dapat dilakukan oleh seseorang
dengan menghindarkan diri dari perilaku yang berisiko tinggi terinfeksi HIV
(seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang
berganti-ganti, melakukan hubungan seksual dengan yang berperilaku berisiko
tinggi tanpa kondom, menerima transfusi darah yang belum diskirining HIV, atau
memakai jarum tindik, jarum akupungtur dan jarum suntik secara bersama-sama,
terutama di kalangan pengguna narkotik).
Penularan HIV melalui hubungan
seksual menjadi persoalan besar karena kita tidak dapat mengetahui atau
memastikan kapan dan bagaimana sebenarnya HIV menular pada saat hubungan
seksual. Biar pun penelitian menunjukkan sekitar 80% penyebaran HIV terjadi
melalui hubungan seksual yang tidak aman, tapi penelitian menunjukkan
probabilitas (kemungkinan) penularan melalui hubungan seksual yang tidak aman
berkisar antara 0,03 dan 5,60 persen. Justru melalui transfusi darah
probabilitasnya mencapai 89,50%, sedangkan dari ibu yang positif HIV kepada
bayi yang dikandungnya antara 15-30%.
Jika dilihat dari probabilitas
risiko infeksi HIV melalui hubungan seksual yang sangat kecil itu tentulah
berpengaruh secara psikologis. Tidak tertutup kemungkinan ada yang akan
melihatnya dengan sebelah mata. Risiko yang kecil itu membuat mereka tidak
berhati-hati. "Angka-angka itu hanya untuk keperluan ilmu
pengetahuan," kata dr. Kartono Mohamad, mantan Ketua IDI ini,
mengingatkan. Kartono membandingkannya dengan pilot yang selalu ekstra
hati-hati dan tetap mengikuti standar prosedur operasi dalam menerbangkan dan mendaratkan
pesawat. Statistik menunjukkan angka kecelakaan pesawat terbang jauh lebih
kecil jika dibandingkan dengan kecelakaan di darat dan di laut.
Jadi, kita tidak bisa melihat
probabilitas itu dengan mata telanjang. Karena kemungkinannya kecil, kita pun
mengabaikannya. Buktinya, jalur penyebaran infeksi HIV yang paling banyak
justru melalui hubungan seksual. Ini terjadi, menurut dr. Zubairi
Djoerban, DSPD, pakar AIDS di Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta, karena setiap
orang melakukan hubungan seksual berkali-kali.
Bahkan, sering pula dengan
pasangan yang berganti-ganti. Inilah yang membuat penyebaran HIV jauh lebih
besar melalui faktor risiko hubungan seksual (heteroseksual dan homoseksual),
daripada melalui transfusi darah biar pun probabilitas penularan melalui transfusi
jauh lebih besar daripada melalui hubungan seksual. Lagipula, jumlah orang yang
menerima transfusi darah jauh lebih sedikit daripada orang yang melakukan
hubungan seksual. Frekuensi transfusi darah terhadap seseorang pun jauh lebih
kecil daripada kegiatan hubungan seksual yang dilakukannya pada kurun waktu
tertentu.
Maka, biar pun risiko penularan
melalui hubungan seksual sangat kecil, tapi "Kita tidak bisa mengetahui
kapan terjadi penularannya," ujar Mas Ton, panggilan akrab Kartono,
lagi-lagi mengingatkan kita. Soalnya, tidak ada alat tes HIV yang cepat dan
langsung bisa mengetahui status HIV seseorang, terutama pada oang yang
perilakunya berisiko tinggi terhadap penularan HIV. Misalnya, kemungkinan
tertular melalui hubungan seksual 1:100. Persoalannya, kita tidak dapat
mengetahui dengan persis pada hubungan seksual yang keberapa penularan itu
(akan) terjadi. Bisa saja terjadi pada kesempatan pertama.
Pengalaman Zubairi menunjukkan
ada Odha yang mengaku baru tujuh kali melakukan hubungan seksual. Jadi, dalam
kasus ini probabilitasnya 1:7. Bisa juga terjadi bagi salah satu dari pasangan
itu baru untuk pertama kali, tapi lawannya sudah yang ke 100, atau sebaliknya.
Atau, bagi salah seorang yang ke-25, tapi bagi pasangannya itu sudah yang
ke-100. Dan seterusnya.
Peringatan Mas Ton itu sangat
beralasan karena epidemi AIDS sudah menjangkau orang di luar yang berperilaku
berisiko tinggi terhadap penularan HIV, seperti anak-anak dan ibu rumah tangga.
Kondisinya kian mengkhawatirkan karena sampai saat ini tidak ada cara
pencegahan yang objektif dan realistis yang dianjurkan ataupun direkomendasikan
di Indonesia.
Bahkan, berbagai anjuran dan
program sama sekali tidak memberikan cara yang objektif dan realistis untuk
melindungi diri agar tidak terinfeksi HIV. Yang dikumandangkan dalam berbagai
kegiatan, seperti penyuluhan dan kampanye, hanyalah slogan yang bermuatan pesan
moral. Padahal, fakta membuktikan pesan moral tidak pernah membawa hasil yang
baik. Buktinya, biar pun ada sanksi dosa bagi pelaku kejahatan, tapi tetap saja
terjadi tindakan yang membuat orang menanggung dosa. Justru law enforcement
jauh lebih berhasil daripada pesan moral.
Untuk itulah Zubairi mengharapkan
agar pemberitaan tentang probabilitas itu selalu dikemas dalam satu paket yang
utuh agar tidak ada yang salah tafsir. Maksud Zubairi, kalau membicarakan
probabilitas dikaitkan pula dengan fakta, seperti jumlah kasus infeksi HIV
melalui hubungan seksual dan faktor yang membuat risiko tertular melalui
hubungan seksual tetap harus diperhitungkan.
Probabilitas yang kecil itu akan
menjadi besar karena seseorang melakukan hubungan seksual berkali-kali, apalagi
kalau hubungan seksual itu dilakukan dengan orang yang tidak diketahui status
HIVnya ataupun dengan orang yang berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan
HIV tanpa menggunakan kondom. Risiko kian meningkat tatkala ada penyakit
menular seksual (PMS) karena infeksi PMS ini (yang hanya dapat dilihat dengan
mikroskop) akan memudahkan HIV memasuki aliran darah seseorang. ***[AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.