Liputan (21/12-2012) - Tema
Hari AIDS Sedunia (HAS) tahun ini, ”Lindungi Perempuan dan Anak” yang
diperingati 1 Desember ’menyentuh’ nurani perempuan. Istri tertular HIV dari suami, selanjut istri
menularkan HIV pula kepada bayi yang dikandungnya. Padahal, apa salah mereka
sebagai perempuan? Mereka hanyalah ibu rumah tangga yang mengurus suami dan anak.
Tema HAS ini
mengingatkanku pada salah seorang teman yang menangis sesunggukan ketika tahu istrinya
yang baru melahirkan terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Laki-laki itu bergumam:
“Andai saja saya tahu bagaimana penularan HIV dan tahu statusku, saya takkan
pernah menikah. Saya takkan pernah menularkan virusku pada orang lain apalagi
pada perempuan yang sangat kucintai. Tapi, akh …. mengapa status HIV-ku baru
kuketahui justru ketika menjelang ajal menjemput istriku? Ketika anakku yang
baru dilahirkan dalam kondisi lemah dengan jamur di mulut.”
Beberapa laki-laki
lain yang tahu status HIV-nya setelah menikah dan hasil tes istrinya positif,
umumnya mengungkapkan rasa penyesalan dan rasa berdosa. Padahal, tak ada yang
perlu disesalkan. Perasaan berdosa dan bersalah justru menjadi beban yang akan
membuat kondisi kesehatan jelek. Perilaku berisiko, seperti melacur tanpa
kondom atau memakai narkoba dengan jarum suntik bergantian, mereka lakukan
karena tidak mengetahui akibatnya. Ini,
al. terjadi karena informasi HIV/AIDS yang
tidak memasyarakat.
Maka,
belakangan ini kasus HIV dan AIDS di Indonesia justru banyak terdeteksi pada
ibu rumah tangga. Nah, apa yang salah dengan perempuan?
Tidak ada
yang salah. Yang salah adalah ketidak-pedulian suami mereka terkait dengan
perilaku suami-suami yang berisiko. Banyak laki-laki yang beranggapan bahwa HIV
hanya ada pada pekerja seks komersial (PSK), waria dan laki-laki homoseksual.
Laki-laki enggan menggunakan kondonm bila ganta-ganti pasangan seks dan melacur
dengan dalih tidak enak dan tidak jantan. Atau dengan dalih karena sudah membayar
untuk apa pakai kondom.
Ketidak-pedulian
laki-laki terhadap penualaran HIV mungkin juga karena program penanggulangan
HIV dan AIDS selama ini lebih banyak pada PSK, waria dan pengguna narkoba
suntik.
Laki-laki
berisiko, atau pelanggan PSK belum maksimal terjangkau, mereka sangat sulit
untuk dijangkau. Laki-laki kurang peduli terhadap informasi HIV dan AIDS.
Mereka selalu merasa bersih dan tidak mungkin tertular HIV, maka istri dan
anak-anak mereka yang menjadi korban.
Padahal,
dengan ganta-ganti pasangan seksual dan melacur tanpa kondom rentan tertular
HIV. Istri yang setia menunggu di
rumah akan tertular HIV dari suami. Jika
hamil dan melahirkan ada kemungkinan anaknya juga akan tertular HIV. Oleh
karena itu, program HIV dan AIDS bagi laki-laki berisiko sudah sangat perlu
dilakukan jika kita ingin melindungi perempuan dan anak.
Seperti
halnya di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulsel, sejak tahun 2008 sampai Desember
2012 dari 57 kasus HIV dan AIDS, kasus pada PSK dan waria hanya 4, pengguna
narkoba dan pasangan 24, selebihnya penduduk 27 dan 2 anak. Data ini
menunjukkan bahwa yang terinfeksi HIV justru lebih banyak dari kalangan
masyarakat, seperti suami dan istri tertular dari suaminya.
Ketika kondom
ditawarkan untuk mencegah penularan HIV lewat hubungan seksual yang berisiko,
seperti berganti-ganti pasangan dan melacur, masyarakat beranggapan bahwa langkah
itu melegalkan porstitusi. Menyuruh orang melakukan zina. Padahal, hanya dengan
kondomlah penularan HIV bisa dicegah pada hubungan seksual dengan pasangan yang
berganti-ganti atau melacur.
Sayangnya, tidak ada program yang
konkret untuk melindungi perempuan dari risiko tertular HIV. ***[AIDS Watch Indonesia/Santy Syafaat dari Parepare, Sulsel]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.