Tanggapan Berita (23/12-2012) – “Dinkes
Lamongan Klaim Hanya Satu Kecamatan Bebas HIV/AIDS.” Ini judul berita di detikSurabaya (19/12-2012)
Judul ini tidak akurat karena:
(1) Tidak ada daerah, kota, kabupaten
bahkan negara yang bebas HIV/AIDS karena orang-orang yang sudah mengidap
HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya.
(2) Jika disebut satu daerah disebut
’bebas HIV/AIDS’ tentu semua penduduk harus menjalani tes HIV.
(3) Kondisi ’bebas HIV/AIDS’ jika semua
penduduk sudah menjalani tes HIV pun hanya sementara. Artinya, kondisi itu
hanya ketika darah diambil untuk dites. Soalnya, setelah tes HIV bisa saja ada
yang tertular HIV melalui perilaku berisiko.
Nah, pertanyaan untuk Pemkab Lamongan,
Jatim: Apakah semua penduduk di Kecamatan Sukorame tsb. sudah menjalani tes
HIV?
Kalau jawabannya tidak, maka kecamatan
itu bukan ’bebas HIV/AIDS’, tapi belum ada penduduk kecamatan itu yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Kabid Pencegahan Penanggulangan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2PLP) Dinkes Lamongan, Chaidir
Annas, menjelaskan dari temuan per tahun diketahui jika angka penderita
HIV/AIDS di Lamongan menunjukkan grafik peningkatan.
Rupanya Chaidir tidak memahami cara
pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia
dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu
seterusnya. Maka, biar pun pengidap HIV/AIDS banyak yang meninggal angka
HIV/AIDS tidak akan pernah turun atau berkurang.
Disebutkan: "Bila tahun 2011
ditemukan jumlah penderita sebanyak 73 orang maka tahun 2012 tercatat ditemukan
113 orang penderita."
Yang meningkat atau bertambah adalah
kasus baru yang terdeteksi. Ini tidak menunjukkan terjadi infeksi HIV baru
karena bisa saja yang terdeteksi di tahun 2012 terdeteksi beberapa tahun
sebelumnya.
Disebutkan pula: "Saat penderita
ditemukan mereka sudah stadium positif AIDS." Ini kutipan pernyataan Chaidir. Lagi-lagi
pernyataan ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS.
Bukan ’stadium positif AIDS’, tapi pada
masa AIDS. Artinya, terdeteksi di masa AIDS yaitu setelah tertular antara 5-15
tahun sebelumnya.
Menurut Chaidir, sebagai langkah agar
penyebaran HIV/AIDS tidak semakin merebak diperlukan komitmen semua pihak agar
penyuluhan bisa menyentuh semua desa di Lamongan.
Yang diperlukan tidak sekedar
penyuluhan, tapi langkah konkret dari Pemkab Lamongan untuk menanggulangi
insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki dewasa melalui pelacuran.
Pertanyaannya adalah: Apakah di Kab
Lamongan ada pelacuran?
Tentu saja Chaidir mengatakan: Tidak
ada!
Chaidir benar. Tapi, tunggu dulu. Yang
apa yang tidak ada?
Yang tidak ada adalah lokalisasi
’resmi’ pelacuran, tapi praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan
sembarang waktu.
Jika Pemkab Lamongan tidak mempunyai
program yang konkret untuk memaksa laki-laki dewasa memakai kondom ketika
melacur, maka penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat akan terus
terjadi.
Pemkab Lamongan tinggal menunggu waktu
saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.