* ”Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS" tanpa program yang
konkret
Tanggapan Berita (19/12-2012) –
"Diangkat kembali dengan pertimbangan perempuan yang tadinya baru
dilahirkan kini menjadi ibu. Pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS belum memadai, yang
berdampak pada anak, terutama bayi dalam kandungan." Ini pernyataan
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Sari Gumelar,
terkait dengan tema Hari AIDS Sedunia (HAS) 2012 "Lindungi Perempuan dan
Anak dari HIV dan AIDS" (Diharap
Melek AIDS, Pemerintah Incar Ibu-ibu, tempo.co,
11/12-2012).
Tanpa
disadari pernyataan Linda ini sudah memberikan stigmatisasi (cap buruk) terhadap
perempuan karena dikesankan kesalahan ada pada perempuan, dalam hal ini istri,
terkait dengan penularan dari-ibu-ke-anak yang dikandungnya.
Sehebat
apa pun pengetahuan seorang istri terkait dengan HIV/AIDS dia tidak akan
mempunyai posisi tawar yang kuat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV
dari suami.
Tidak
ada hak seorang istri untuk bertanya kepada suami tentang perilaku suami di
luar rumah terkait dengan hubungan seksual berisiko tertular HIV.
Istri
pun tidak mempunyai hak untuk meminta suaminya memakai kondom ketika sanggama
jika dia merasa tidak aman karena khawatir perilaku suaminya berisiko tertular
HIV di luar rumah.
Maka,
yang perlu dilakukan Linda adalah merancang program yang konkret dan sistematis
untuk mencegah penularan dari suami ke istri dan dari-ibu-ke-anak yang dikandungnya
(Lihat Gambar).
Pertama, program yang
mewajibkan setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan
seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (di lokalisasi atau lokasi
pelacuran, tempat hiburan malam, panti pijat, café, dll.). Sedangkan dengan PSK
tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘cewek kafe’, ‘anak sekolah’,
‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, dan perempuan yang mangkal
atau panggilan di losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat
hiburan malam) program kondom tidak bisa dijalankan.
Kedua, program skrining rutin
terhadap perempuan hamil untuk mendeteksi HIV/AIDS.
Ketiga, program pencegahan HIV
dari-ib-ke-bayi yang dikandungnya (PMTCT/prevention-
mother-to-child-transmission).
Program
ketiga hanya bisa efektif jika program kedua dijalankan dengan regulasi yang
sistematis.
Disebutkan oleh Linda bahwa perempuan
secara biologis masih rentan.
Linda lupa kalau kerentanan perempuan
terhadap HIV/AIDS karena ulah laki-laki yang perilakunya berisiko tertular HIV
yang melakukan hubungan seksual dengan pasangannya atau istrinya tanpa kondom.
Disebutkan pula: ” .... kaum perempuan
memiliki kapasitas tidak terbatas untuk bisa membantu upaya penanggulangan
HIV/AIDS, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun lingkungannya.”
Itu mustahil karena posisi tawar
perempuan atau istri yang sangat rendah dalam relasi suami-istri atau
PSK-laki-laki ’hidung belang’ untuk memaksa suami atau laki-laki memakai
kondom.
Lagi-lagi langkah untuk mewujudkan
”Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS" hanya sebatas jargon moral
sebagai konsumsi retorika politis. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.