18 Desember 2012

HIV/AIDS pada Bayi, (Lagi-lagi) Kesalahan Ditimpakan kepada Perempuan


* ”Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS" tanpa program yang konkret

Tanggapan Berita (19/12-2012) – "Diangkat kembali dengan pertimbangan perempuan yang tadinya baru dilahirkan kini menjadi ibu. Pengetahuan mereka tentang HIV/AIDS belum memadai, yang berdampak pada anak, terutama bayi dalam kandungan." Ini pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Sari Gumelar, terkait dengan tema Hari AIDS Sedunia (HAS) 2012 "Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS" (Diharap Melek AIDS, Pemerintah Incar Ibu-ibu, tempo.co, 11/12-2012).

Tanpa disadari pernyataan Linda ini sudah memberikan stigmatisasi (cap buruk) terhadap perempuan karena dikesankan kesalahan ada pada perempuan, dalam hal ini istri, terkait dengan penularan dari-ibu-ke-anak yang dikandungnya.

Sehebat apa pun pengetahuan seorang istri terkait dengan HIV/AIDS dia tidak akan mempunyai posisi tawar yang kuat untuk melindungi diri agar tidak tertular HIV dari suami.

Tidak ada hak seorang istri untuk bertanya kepada suami tentang perilaku suami di luar rumah terkait dengan hubungan seksual berisiko tertular HIV.

Istri pun tidak mempunyai hak untuk meminta suaminya memakai kondom ketika sanggama jika dia merasa tidak aman karena khawatir perilaku suaminya berisiko tertular HIV di luar rumah.

Maka, yang perlu dilakukan Linda adalah merancang program yang konkret dan sistematis untuk mencegah penularan dari suami ke istri dan dari-ibu-ke-anak yang dikandungnya (Lihat Gambar).

Pertama, program yang mewajibkan setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (di lokalisasi atau lokasi pelacuran, tempat hiburan malam, panti pijat, cafĂ©, dll.). Sedangkan dengan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘cewek kafe’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, dan perempuan yang mangkal atau panggilan di losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam) program kondom tidak bisa dijalankan.

Kedua, program skrining rutin terhadap perempuan hamil untuk mendeteksi HIV/AIDS.

Ketiga, program pencegahan HIV dari-ib-ke-bayi yang dikandungnya (PMTCT/prevention- mother-to-child-transmission).

Program ketiga hanya bisa efektif jika program kedua dijalankan dengan regulasi yang sistematis.

Disebutkan oleh Linda bahwa perempuan secara biologis masih rentan.

Linda lupa kalau kerentanan perempuan terhadap HIV/AIDS karena ulah laki-laki yang perilakunya berisiko tertular HIV yang melakukan hubungan seksual dengan pasangannya atau istrinya tanpa kondom.

Disebutkan pula: ” .... kaum perempuan memiliki kapasitas tidak terbatas untuk bisa membantu upaya penanggulangan HIV/AIDS, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, maupun lingkungannya.”

Itu mustahil karena posisi tawar perempuan atau istri yang sangat rendah dalam relasi suami-istri atau PSK-laki-laki ’hidung belang’ untuk memaksa suami atau laki-laki memakai kondom.

Lagi-lagi langkah untuk mewujudkan ”Lindungi Perempuan dan Anak dari HIV dan AIDS" hanya sebatas jargon moral sebagai konsumsi retorika politis. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.