Tanggapan Berita (26/12-2012)
– “Jumlah penderita Human immunodeficiency virus infection (HIV) di kawasan
eks-lokalisasi Kabupaten Kediri berjumlah sekitar 47 orang. Dari sejumlah
wanita pekerja seks (WPS) yang menjadi penderita tersebut, rata-rata berasal
dari wilayah luar Kabupaten Kediri.” Ini lead pada berita “WPS Pengidap HIV Di Eks-lokalisasi Di Kabupaten
Kediri 47 Orang” di www.adakita.com (22/12-2012).
Ada pertanyaan yang sangat
mendasar terkait dengan data 47 pekerja seks yang disebutkan pengidap HIV,
yaitu: Apakah tes HIV terhadap 47 pekerja seks itu sudah dilakukan tes
konfirmasi?
Soalnya, standar baku tes HIV
menyaratkan setiap tes harus dikonfirmasi dengan tes lain.
Jika dilihat dari objek tes HIV
yaitu pekerja seks, maka tes HIV yang dilakukan adalah survailans bukan
diagnosis. Survailans tes HIV adalah untuk mengetahui angka prevalensi yaitu
perbandingan antara yang HIV-positif dan HIV-negatif pada kalangan tertentu dan
pada kurun waktu tertentu pula.
Dalam hal ini survailans
dilakukan terhadap pekerja seks di bekas lokalisasi pelacuran di Kab Kediri,
Jawa Timur, yaitu di Gedangsewu Kota Pare, Bolodewo Kec Wates, Gurah, Dadapan Kec Ngasem, Kandangan, Kriyan Kec
Ngadiluwih, dan Butuh, Kec Kras.
Berita ini pun lagi-lagi tidak
memberikan pencerahan kepada masyarakat karena yang dipersoalkan hanya kasus
HIV/AIDS yang terdeteksi pada pekerja seks melalui survailans.
Persoalan besar adalah: ada
laki-laki dewasa penduduk Kab Kediri yang mengidap HIV/AIDS yaitu yang
menularkan HIV kepada pekerja seks, kemudian ada pula laki-laki dewasa penduduk
Kab Kediri yang tertular HIV dari pekerja seks.
Di masyarakat laki-laki yang
menularkan HIV kepada pekerja seks dan laki-laki yang tertular HIV dari pekerja
seks menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kalau saja narasumber dan
wartawan memahami epidemi HIV/AIDS secara akurat, maka pemberitaan dikembangkan
ke realitas sosial yaitu perilaku laki-laki dewasa ‘hidung belang’ yang menjadi
pelanggan pekerja seks.
Pernyataan yang menyebutkan “Dari
sejumlah wanita pekerja seks (WPS) yang menjadi penderita tersebut, rata-rata
berasal dari wilayah luar Kabupaten Kediri” merupakan bentuk penyangkalan. Secara sosiologis pekeja seks dari Kab
Kediri akan ‘praktek’ di luar Kab Kediri.
Lagi pula biar pun pekerja seks yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu
berasal dari luar Kab Kediri yang jelas pelanggannya adalah laki-laki dewasa
penduduk Kab Kediri. Ada yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan ada pula
yang tertular HIV dari pekerja seks.
Ini pernyataan Ruki, pendamping lapangan (PL) HIV/AIDS dari Suar Kediri:
“Tidak jarang, ketika dirinya tahu terinfeksi HIV malah balas dendam dengan
menyebarkan pada orang lain. Inilah perlunya penyadaran bagi mereka.”
Pernyataan Ruki ini mendorong
masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda)
terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena dikesankan mereka
akan balasan dendam dengan menularkan
HIV yang ada pada diri mereka.
Tentu saja Ruki salah besar
karena salah satu syarat tes HIV adalah kesediaan untuk menghentikan penyebaran
HIV mulai dari dirinya jika terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Disebutkan berbagai upaya yang
dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan Komisi Penanggulangan Aid
Daerah (KPID) Kab Kediri al. melakukan pendampingan terhadap para penderita.
Dengan pendampingan tersebut para penderita diberikan pemahaman terhadap HIV
secara benar sebagai langkah pencegahan penularan terhadap orang lain.
Lagi-lagi sudut pandang yang
dipakai adalah moral yaitu hanya melihat dari sisi penderita HIV/AIDS, dalam
hal ini pekerja seks.
Padahal, persoalan ada pada
laki-laki dewasa penduduk Kab Kediri yang melacur tanpa kondom, al. dengan
pekerja seks.
Seperti apa pun pendampingan
terhadap pekerja seks tidak akan berhasl karena posisi tawar pekerja seks untuk
memaksa laki-laki memakai kondom ketika sanggama sangat rendah.
Maka, yang diperlukan adalah
program yang konkret untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ memakai kondom
jika melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks.
Jika Pemkab Kediri tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret, terutama pada pelacuran, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]
Jika Pemkab Kediri tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret, terutama pada pelacuran, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]
tulisan ini SALAH..... pemeriksaan yg dilakukan di ex lokalisasi, bkn serro survey.... tp pemeriksaan diagnosis (dg 3 reagen).... mhn itu unt dpt dimengerti...... JANGAN NULIS KLO TDK TAHU PASTI.... BISA BLUNDER....tks....
BalasHapus@Anonim, terima kasih. Supaya dipahami yg saya lakukan adalah selisik media (media watch) yaitu menanggapi berita berdasarkan jurnalistik dng pijakan HIV/AIDS sebagai kritik thp wartawan atau narasumber. Dalam berita tdk ada penjelasan bahwa yg dilakukan thp PSK adalah tes diagnosis. Cara Anda mengomentari juga tdk etis. Kritik saja bagian dari tulisan ini yg tidak pas dan bandingkan dng berita yang diselisik.
Hapus