Opini (31/12-2012) –
Ketika banyak negara di berbagai belahan dunia panik karena publikasi kasus
AIDS pertama dipublikasikan di San Francisco, AS, tahun 1981, (pemerintah)
Indonesia, dalam hal ini menteri kesehatan, justru sesumbar: Indonesia tidak
akan kemasukan HIV/AIDS karena bangsa berbudaya dan beragama!
Biar
pun kasus-kasus terkait AIDS, disebut ARC (AIDS related complex), sudah
ditemukan di Jakarta tahun 1983, tapi pemerintah tetap tidak bergeming.
Bantahan terus mengalir dari departemen kesehatan.
Bahkan,
informasi tentang HIV/AIDS pun dibumbui dengan moral sehingga yang tumbuh subur
hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya, disebutkan bahwa AIDS adalah
penyakit homoseksual, AIDS adalah penyakit orang Barat, AIDS akibat berzina,
dll.
Sampai
akhirnya tahun 1987 barulah pemerintah mengakui ada AIDS di Indonesia ketika
ada wisatawan laki-laki gay asal Belanda yang meninggal di RS Sanglah Denpasar,
Bali, karena penyakit terkait AIDS. Tapi, ini pun politis untuk mendukung
pernyataan yang sudah dimasyarakatkan yaitu: AIDS penyakit gay dan AIDS
penyakit orang Barat.
Mitos
itu terus berkembang sampai sekarang. Padahal, setahun kemudian (1988) ada
penduduk warga asli Indonesia yang juga meninggal karena penyakit terkait AIDS
di RS Sanglah. Tapi, kasus ini tidak dikaitkan dengan epidemi HIV/AIDS.
Sejak
pemerintah mengakui ada AIDS di Indonesia sama sekali tidak ada program
penanggulangan yang konkret, terutama pada hubungan seksual dengan pekerja seks
komesial (PSK) dengan kondom.
Di
banyak negara kondom diandalkan untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki yang melacur, di Indonesia pemerintah sendiri dengan tegas menolak
sosialisasi kondom.
Maka,
penanggulangan HIV/AIDS pun hanya dilakukan dengan jargon-jargon moral sebagai
bahan retorika politis.
Tidaklah
mengherankan kemudian kalau kasus kumulatif HIV/AIDS per 30 September 2012
mencapai 131.685 yang terdiri atas 92.251
HIV
dan 39.434 AIDS dengan 7.293
kamatian.
Satu
masalah baru adalah kasus AIDS mulai banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga.
Dilaporkan sampai tahun 2012 tercatat 2.298 kasus AIDS terdeteksi pada ibu
rumah tangga.
Data
kasus AIDS pada ibu rumah tangga membuktikan suami mereka mengidap HIV, al.
terular karena melacur tanpa kondom.
Celakanya,
pemerintah menutup mata karena menganggap tidak ada pelacuran hanya karena
tidak ada lokalisasi pelacuran.
Pemerintah
provinsi, kabupaten dan kota pun berlomba-lomba membuat peraturan daerah
(perda) penanggulangan HIV/AIDS. Tercatat sudah 68 perda AIDS di Indonesia,
tapi satu pun tidak ada yang menukik ke akar persoalan.
Penyebarluasan
informasi HIV/AIDS pun sangat rendah karena media massa tidak menjadikan
HIV/AIDS sebagai salah satu isu utama dalam program pemberitaan mereka.
Celakanya, pemerintah pun tidak menggandeng media massa dengan alas an dana
yang dikeluakan besar sedangkan hasilnya tidak bisa diukur (dengan angka).
Jika
dibandingkan dengan Thailand yang menjadikan sosialisasi informasi melalui
media massa sebagai program pertama dari lima program berskala nasional yang
dijalankan serentak, maka Indonesia jelas tertinggal jauh. Kondom di Thailand
adalah program kelima.
Nah,
Indonesia mengekor ke Thailand, tapi dimulai dari ekor. Maka, program
penanggulangan dengan sosialisasi kondom adalah mengekor ke ekor program
Thailand. Maka, jangan heran kalau penolakan terhadap kondom sangat kuat karena
masyarakat belum memahaminya dengan baik.
Belakangan
dengan dukungan ‘sedekah’ dari donor asing sarana tes, disebut klinik VCT, pun
dibangun di banyak daerah. Kehadiran klinik ini menambah kasus baru.
Tapi,
klinik ini adalah langkah penanggulangan di hilir. Artinya, pemerintah menunggu
ada dulu penduduk yang tertular HIV baru dites di klinik.
Salah
satu mata rantai penyebar HIV/AIDS adalah laki-laki ‘hidung belang’, tapi
pemerintah tidak mempunyai program yang konkret untuk memaksa laki-laki ‘hidung
belang’ memakai kondom setiap kali melacur.
Pemerintah
daerah pun ramai-ramai menutup lokasi dan lokalisasi pelacuran. Program kondom
pun tidak perlu lagi karena: Di daerah kami tidak ada pelacuran!
Tapi,
tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokasi dan lokalisasi pelacuran, sedangkan
praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Selama
tidak ada program konkret berupa intervensi agar laki-laki ‘hidung belang’
memakai kondom jika melacur, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan
terus terjadi. Tinggal menghitung hari saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.