Tanggapan Berita (21/11-2012) – “Selain
sosialisasi HIV/AIDS kepada masyarakat umum, kami sasaran juga ke tempat-tempat
hiburan malam, yang dianggap berisiko terjadinya penularan virus tersebut.” Ini
pernyataan Ketua Karang Taruna Peduli AIDS Kota Denpasar, Bali,
Ketut Ngurah Aryawan pada berita “Denpasar,
Tertinggi Kasus HIV/AIDS Se-Bali” di www.sehatnews.com, (19/11-2012).
Pernyataan Ketut ini mengesankan
di tempat-tempat hiburan malam ada transaksi seks berupa praktek pelacuran atau
prostitusi.
Kalau itu yang terjadi, maka yang
perlu ditangani adalah laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur di tempat-tempat
hiburan malam tsb.
Transaski seks di tempat-tempat
hiburan malam itu merupakan ironi dari sikap Pemprov Bali serta pemerintah kota dan kabupaten di Bali
yang menutup semua lokasi pelacuran.
Karena
ada praktek pelacuran, maka yang diperlukan bukan sosialisasi terhadap
perempuan, seperti pekerja pelayan dan pemandu lagu, tapi program yang konkret
berupa intervensi untuk memaksa laki-laki memakai kondom jika melacur di
tempat-tempat hiburan malam.
Sayangnya,
dalam Perda AIDS Bali sama sekali tidak ada pasal yang mengatur tentang program
‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melacur, baik dengan pekerja seks
komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung, seperti pekerja hiburan malam
dan pemandu karaoke (Lihat: Perda AIDS
Provinsi Bali - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-provinsi-bali.html).
Dikabarkan
kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bali mencapai 5.917, sedangkan di Kota
Denpasar 2.408 atau sekitar 40,7 persen dari kasus di Bali.
Disebutkan
bahwa “Karang Taruna Peduli AIDS Kota Denpasar terus melakukan sosialisasi
tentang bahaya HIV/AIDS ke tempat hiburan malam.”
Apakah
ada jaminan tidak ada anggota karang taruna, terutama laki-laki dewasa, yang
pernah melacur dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung?
Kalau
jawabannya bisa dijamin, tidak ada masalah bagi anggota kararang taruna. Tapi,
kalau jawabannya tidak bisa, maka ada persoalan pada anggota karang taruna
karena mereka berisiko tertular HIV.
Sosialisasi
dilakukan untuk memberi pengertian para pemandu lagu (waitress) yang bekerja di
tempat hiburan malam, karena ditempat ini berisiko dengan terjadinya penularan
penyakit tersebut.
Langkah
itu sendiri bias gender karena sama sekali tidak melihat fakta yaitu hubungan
seksual atau praktek pelacuran justru (bisa) terjadi karena ada laki-laki
‘hidung belang’ yang membeli seks kepada perempuan-perempuan di tempat hiburan
malam tsb.
Dalam
berita tidak ada penjelasan mengapa yang mendapat sosialisasi hanya perempuan,
sedangkan laki-laki ‘hidung belang’ yang datang ke tempat-tempat hiburan malam
itu lolos dari sosialisasi.
Disebutkan
bahwa berbagai respon dari raut muka para pelayan karaoke setelah melihat
foto-foto pengidap HIV/AIDS.
Ini
perlu dipertanyakan: Foto-foto pengidap HIV/AIDS yang bagaimana yang
diperlihatkan kepada pelayan karaoke itu?
Soalnya,
secara fisik tidak ada beda orang yang mengidap HIV/AIDS dengan orang yang
tidak mengidap HIV/AIDS. Tidak ada pula tanda-tanda khas AIDS pada fisik
orang-orang yang mengidap HIV/AIDS.
Disebutkan
bahwa Bella, seorang pelayan karaoke, yang mengaku kaget dengan dampak yang
disebabkan virus HIV/AIDS tersebut.
Bertolak
dari pengakuan Bella itu dikhawatirkan aktivis Karang Taruna menunjukkan
foto-foto orang sekarat yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan HIV/AIDS.
Cara-cara seperti itu tidak ada manfaatnya bagi penyuluhan HIV/AIDS. Sudah
tidak saatnya lagi menakut-nakuti, apalagi dengan foto-foto yang sama sekali
tidak menggambarkan HIV/AIDS secara faktual.
Kabid
Bina Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Denpasar,
Ida Bagus Gede Ekaputra, mengatakan bahwa sosialisasi tentang HIV/AIDS sangat
penting kepada masyarakat, karena setiap tahun terjadi peningkatan orang yang
tertular HIV.
Kalau
hanya sebatas sosialisasi tidak ada manfaatnya, apalagi yang dilakukan Karang
Taruna itu hanya kepada perempuan pelayuan. Sedangkan laki-laki ‘hidung belang’
sama sekali tidak disentuh oleh karang taruna.
Lagi
pula, apakah Ekaputra bisa menjamin sosialisasi akan otomatis membuat laki-laki
‘hidung belang’ memakai kondom jika melacur?
Disebutkan
oleh Ekaputra: “Dengan kita menjelaskan dampak dan risiko jika tertular HIV,
maka akan menggugah hati para ’Waitress’ untuk ikut menjaga diri dari kegiatan
yang berisiko tertular virus tersebut.”
Berbagai
studi menunjukkan posisi tawar perempuan, seperti PSK atau waitress, sangat
rendah dalam memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual. Maka, yang diperlukan adalah intervensi yang konkret untuk memaksa
laki-laki memakai kondom ketika melacur.
Jika
tidak ada program yang konkret untuk menjalankan program ‘wajib kondom 100
persen’ bagi laki-laki yang melacur dengan PSK langsung atau PSK tidak
langsung, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota
Denpasar khususnya dan di P Bali umumnya. Semua akan bermuara pada ‘ledakan
AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.