Tanggapan Berita (29/11-2012) –
Perbincangan melalui talk show di Radio 101.1 RockFM Jayapura, Papua,
terkait dengan rencana penutupan lokalisasi Tanjung ‘turki’ Elmo di tepi Danau
Sentani di jalur jalan raya Kota Jayapura – Bandara Sentani menunjukkan betapa
pemahaman terhadap penyebaran HIV/AIDS tetap berpijak pada moral.
Di
negara-negara yang menjadikan agama dan kitab suci sebagai UU sehingga tidak
ada hiburan malam dan pelacuran pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Arab Saudi,
misalnya, sudah melaporkan lebih dari 16.000 kasus AIDS.
Koq
bisa?
Ya,
iyalah bisa. Ada laki-laki penduduk negara-negara tsb. yang tertular HIV/AIDS
di luar negaranya. Ketika dia kembali ke negaranya maka dia pun menjadi mata
rantai penyebaran HIV, al. melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kalau
realitas itu kita tarik ke Kab Jayapura, Papua, maka menutup Tanjung Elmo bukan
kunci penanggulangan HIV/AIDS di Kab Jayapura.
Yang
bisa dilakukan hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang
melacur ke Tanjung Elmo yaitu melalui program wajib kondom. Program ini ada di
dalam Perda AIDS Kab Jayapura tapi tidak ada mekanisme yang konkret untuk
menerapkannya (Lihat: Perda AIDS
Kabupaten Jayapura - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kabupaten-jayapura.html).
Menutup
Tanjung Elmo sama sekali tidak menyelesaikan masalah, bahkan menimbulkan
masalah baru karena praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat (Lihat: Untung Rugi Menutup Lokalisasi Pelacuran
Tanjung ‘Turki’ Elmo di Kab Jayapura, Papua - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/untung-rugi-menutup-lokalisasi.html).
Dalam
talk show di RockFM pagi ini ada kesan jika Tanjung Elmo ditutup, maka pekerja
seks di sana perlu diberikan pekerjaan. Ini sudah lama dilakukan di era rezim
Orba, tapi tetap saja tidak menyelesaikan masalah (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) -
http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).
Pertama, pelacuran
merupakan pilihan kerja bagi sebagian pekerja seks sehingga apa pun pekerjaan
yang ditawarkan kepada mereka tidak akan bisa mengajak mereka ke pekerjaan yang
ditawarkan.
Kedua, penutupan
Tanjung Elmo membuat pekerja seks akan mencari tempat untuk melakukan praktek
pelacuran. Bisa di rumah kontrakan, kos-kosan, penginapan, losmen, hotel melati
dan hotel berbintang.
Maka,
kuncinya ada pada laki-laki. Kalau saja Pemkab Jayapura dengan tokoh masyarakat
dan tokoh agama mengajak laki-laki penduduk Kab Jayapura agar tidak melacur
merupakan langkah yang arif dan bijaksana. Jika ini berjalan, maka semerta
Tanjung Elmo akan bubar karena tidak ada lagi laki-laki yang melacur.
Sekarang
pun ketika lokalisasi pelacuran Tanjung Elmo ada tetap saja ada laki-laki yang
menjadikan pekerja seks (langsung dan tidak langsung) menjadi istri simpanan di
Jayapura dan di luar Jayapura, bahkan di Makassar dan Jakarta. Celakanya,
pekerja seks yang mereka jadikan ‘istri’ itu tidak selamanya bersama mereka
sehingga kalau suami tidak ada si ‘istri’ juga akan menjalankan pekerjaannya
sebagai pekerja seks.
Yang
perlu dilakukan Pemkab Jayapura adalah membuat program berupa regulasi untuk
mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil dengan konsekuensi konseling pasangan.
Artinya, suami perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS harus menjalani
konseling sebagai pintu ke tes HIV.
Kalau
hanya dengan menutup lokalisasi pelacuran Tanjung Elmo bukan langkah yang pas
untuk menanggulangi HIV/AIDS, tapi membuka persoalan baru karena pekerja seks
akan mencari tempat-tempat baru untuk melakukan praktek pelacuran.
Karena
penjangkauan tidak bisa dilakukan terhadap pelacuran, maka laki-laki pun tidak
memakai kondom ketika melacur. Inilah biang keladi penyebaran HIV/AIDS yang
kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.