Media Watch (22/11-2012) - Jumlah
perempuan yang tertular HIV/AIDS di Prov Jawa Barat (Jabar) diperkirakan
mencapai 1.548. Dari jumlah ini 663 adalah ibu rumah tangga (Odha
Perempuan Alami Peningkatan, republika.co.id, 13/6-2012).
Jumlah
ibu rumah tangga yang tertular HIV/AIDS dari suaminya akan terus bertambah
seiring dengan perilaku sebagian laki-laki beristri di Jabar yang melacur tanpa
kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK).
Sampai Agustus 2012 terdeteksi 2.819 kasus HIV/AIDS di Kota Bandung. Dari
jumlah ini 10,54 persen terdeteksi pada ibu rumah tangga (pikiran-rakyat.com,
1/10-2012). Sedangkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Barat dilaporkan oleh Dinkes
Jabar 14.194 yang terdiri atas 4.646 HIV dan 9.548 AIDS. Sedangkan KPA Jabar
melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak 10.385 (pikiran-rakyat.com, 25/10-2012).
Karena ada risiko penularan HIV/AIDS
secara vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya, maka diperlukan mekanisme
yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Tentu saja hal
ini harus melalui regulasi agar berkekuatan hukum.
Sayang,
dalam Peraturan Daerah (Perda) No 12 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 11 Juni 2012 tidak ada pasal yang
konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Di
pasal 13 tentang Pencegahan Penularan dari Ibu ke anak pada ayat a disebutkan:
“optimalisasi dukungan sosial dan medis bagi perempuan positif HIV agar dapat
merencanakan kehamilan, sehingga dapat mencegah penularan dari ibu ke anak yang
dikandungnya sejak dini”.
Bagi
perempuan yang sudah terdeteksi HIV/AIDS mereka sudah disiapkan dan
mempersiapkan diri untuk menikah, hamil dan melahirkan karena hal itu adalah
bagian yang menyatu pada konseling (bimbingan) ketika hendak menjalani tes HIV
yaitu konseling sebelum dan sesudah tes HIV.
Yang
jadi persoalan adalah perempuan atau ibu rumah tangga atau istri yang tidak
menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS yang kemudian hamil.
Selama
ini pendeteksian HIV/AIDS pada ibu-ibu hamil tidak dilakukan secara sistematis
sehingga yang terdeteksi hanya secara insidentil. Umumnya mereka terdeteksi
ketika sudah hamil tua atau ketika hendak persalinan.
Kalau
saja pada pasal itu ada ayat yang berbunyi: “Setiap perempuan hamil wajib
mengikuti survailans tes HIV”, maka upaya untuk menjalankan program pencegahan
dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya akan efektif. Brunei
Darussalam dan Malaysia (sejak tahun 1998), menerapkan skirining rutin terhadap
perempuan hamil.
Mengapa tidak wajib tes HIV? Tes HIV
tidak boleh diwajibkan karena merupakan hak seseorang untuk menjalani tes HIV.
Tes wajib tidak bisa dilakukan karena HIV/AIDS bukan wabah (penyakit yang mudah
dan cepat menular, misalnya melalui udara dan air).
Ketika ada perempuan hamil yang
menjalani survailans tes HIV terdeteksi reaktif, maka mereka dikonseling lagi
agar mereka mau menjalani tes HIV. Melalui konseling mereka dihadapkan kepada
risiko jika tidak tes HIV, sehingga konseling tsb. akan membuka mata hati
mereka agar mau tes HIV.
Kemudian
ada pula ayat lain yang berbunyi: “Pasangan atau suami dari perempuan hamil
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS” diwajibkan menjalani konseling pasangan”.
Ini untuk menjaring kasus HIV/AIDS pada laki-laki. Soalnya, selama ini kalau
ada istri yang terdeteksi HIV/AIDS suaminya justru mengelak untuk tes HIV.
Di
pasal 13 tentang Pencegahan Penularan dari Ibu ke anak pada ayat b disebutkan:
“penyediaan dan pemberian obat antiretroviral pada ibu hamil dengan HIV dan
AIDS”.
Pemberian obat pada ibu hamil merupakan
penanganan di hilir. Artinya, ditunggu dulu ada perempuan hamil yang tertular
HIV kemudian terdeteksi baru diberikan obat. Mekanisme untuk mendeteksi
perempuan hamil tidak ada dalam perda ini sehingga tidak ada cara yang
sistematis untuk menceteksi HIV pada perempuan hamil.
Langkah yang lebih elegan untuk
mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil adalah dalam Perda ada pasal yang
berbunyi: ”Setiap perempuan hamil wajib mengikuti konseling tes HIV bersama
pasangan atau suami.” Cara ini akan menjadi pintu masuk untuk mendeteksi
HIV/AIDS pada perempuan hamil khususnya dan pada pasangan umumnya.
Sebelum Perda AIDS Jabar
disahkan sudah ada Pergub No 78/2010 tentang
Penanggulangan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 18/11-2010. Kalau di daerah lain
yang dibuat perda dulu baru pergub, tapi di Jabar sebaliknya. Tapi, sama sama
perda-perda yang sudah ada pergubnya pun sama sekali tidak memberikan langkah
yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS.
Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Jawa Barat tidak melokalisir pelacuran sehingga dikesankan tidak ada pelacuran atau prostitusi. Tapi, dalam perda ini secara implisit ada pengakuan terhadap pelacuran. Hal ini dapat dilihat pada pasal 9 ayat c yaitu: Pemerintah Daerah melakukan pencegahan penularan HIV dan AIDS melalui transmisi seksual.
Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Jawa Barat tidak melokalisir pelacuran sehingga dikesankan tidak ada pelacuran atau prostitusi. Tapi, dalam perda ini secara implisit ada pengakuan terhadap pelacuran. Hal ini dapat dilihat pada pasal 9 ayat c yaitu: Pemerintah Daerah melakukan pencegahan penularan HIV dan AIDS melalui transmisi seksual.
Kalau di Jabar tidak ada praktek
pelacuran tentulah pasal ini tidak perlu ada karena tidak ada penduduk Jabar,
terutama laki-laki dewasa, yang berisiko tertular HIV dengan faktor risiko
hubungan seksual melalui pelacuran.
Tapi, kesan yang implisit tentang
praktek pelacuran itu malah dikuatkan sehingga eksplisit melalui pasal 12 yaitu: Pencegahan melalui transmisi seksual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dilaksanakan melalui:
a. peningkatan peran pemangku kepentingan dalam
menciptakan lingkungan yang kondusif untuk perubahan perilaku berisiko pada
individu dan kelompok, melalui transformasi tatanan sosial;
b. penjangkauan dan pendampingan secara aktif untuk
perubahan perilaku dan pemberdayaan populasi dan jejaring sosial;
c. penyuluhan, pemberdayaan, dan penyediaan informasi
kepada populasi umum yang rentan tertular HIV dan AIDS;
d. pengadaan dan distribusi kondom di puskesmas, rumah
sakit, Unit Pelayanan Kesehatan, dan tempat keberadaan populasi kunci, sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. pengendalian infeksi menular seksual secara
komprehensif dan terpadu.
Lalu, bagaimana penanggulangan yang
ditawarkan Perda ini?
Melalui pasal 30 ayat 1 disebutkan: Masyarakat berperan
secara aktif dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS, sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Masyarakat yang dimaksud pada pasal 30
ayat 1 meliputi perseorangan (ayat 2).
Tapi, apa yang ditawarkan Perda ini
bagi perseorangan untuk berperan dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS?
Pada pasal 30 disebutkan:
(3) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk meningkatkan penyebarluasan informasi HIV dan AIDS,
pendampingan dan penjangkauan serta upaya peniadaan diskriminasi dan
stigmatisasi terhadap ODHA dan OHIDHA.
(4) Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS oleh
masyarakat dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi, yang dilakukan
berdasarkan prinsip transparansi, partisipatif dan akuntabel, serta
memperhatikan nilai agama dan budaya.
Diskriminasi dan stigmatisasi terhadap
Odha dan Ohida terjadi di hilir. Artinya, hal itu terjadi pada orang-orang yang
sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Nah, agaknya ditunggu dulu ada penduduk
yang tertular HIV dan terdeteksi baru pasal 30 ayat 3 ini bisa jalan.
Padahal, risiko tertular HIV, terutama
melalui hubungan seksual, erat kaitannya dengan perilaku seks seseorang. Maka,
yang perlu diatur dalam Perda adalah menyiapkan perangkat hukum agar insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa bisa diturunkan, yaitu melalui program
yang konkret, al. mewajibkan laki-laki memakai kondom kalau melacur, atau
melarang laki-laki dewasa melacur di Jabar atau di luar Jabar.
Hal lain yang tidak muncul dalam Perda
ini adalah penanganan terhadap perempuan asal Jabar yang menjadi TKI/TKW yang
terdeteksi mengidap HIV ketika kembali dari luar negeri. Soalnya, prevalensi
HIV/AIDS di beberapa negara tujuan TKI/TKW tinggi, sehingga jika TKI/TKW
diperkosa atau dinikahi ada risiko tertular HIV/AIDS.
Selain itu ada pula perempuan Jabar
yang menjadi pekerja seks di luar Jabar (6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di
Pulau Batam, Harian “Pikiran Rakyat”, 11 November 2005). Jika mereka
pulang kampung tentulah ada risiko penyebaran HIV kalau mereka tertular di luar
daerah (Lihat: - Batam bisa Jadi ”Pintu
Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/batam-bisa-jadi-pintu-masuk-epidemi.html
dan PSK Mudik Lebaran: Ada yang Bawa
AIDS sebagai Oleh-oleh - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/psk-mudik-lebaran-ada-yang-bawa-aids.html).
Tapi, begitulah sama dengan perda-perda
yang lain yang ada hanyalah pasal-pasal normatif yang tidak membumi sehingga
jauh dari langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di
masyarakat, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Satu demi satu kasus baru terdeteksi,
pada saat yang sama satu demi satu insiden infeksi HIV baru pun terus terjadi,
terutama melalui praktek pelacuran dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak
penyebaran HIV/AIDS di Jawa Barat akan bermuara para ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.