Pemerintah
Provinsi Bali akhirnya menelurkan peraturan daerah (Perda) untuk menganggulangi
penyebaran HIV/AIDS di “Pulau Dewata” itu. Melalui Perda No 3 Tahun 2006
tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang disahkan tanggal 28 Maret 2006. Perda AIDS
Bali merupakan perda ke-7 dari 64 perda sejenis yang ada di Indonesia.
Pemprov
Bali berharap bisa menekan laju penyebaran HIV/AIDS. Tapi, apakah perda itu
berhasil menekan laju penyebaran HIV di Bali?
Sampai
tanggal 30 Juni 2012 Depkes melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali mencapai
8.147 yang terdiri atas 5.392 HIV dan 2.755 AIDS. Dengan jumlah ini Bali berada pada peringkat ke-5 secara nasional.
Ada dua kemungkinan
terkait dengan kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi setelah Perda ini
diberlakukan.
Pertama, kasus yang
terdeteksi merupakan kasus lama yang terjadi sebelum Perda. Hal ini terjadi
karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Soalnya,
tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas pada fisik seseorang yang
sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular).
Kasus yang terdeteksi bisa sebagai HIV-positif (belum mencapai masa AIDS) dan
kasus AIDS (sudah menunjukkan gejala berupa penyakit yang disebut infeksi
oportunistik, seperti sariawan, diare, TB, dll.). Mereka terdeteksi ketika
berobat ke rumah sakit, puskesmas atau klinik. Ada juga yang terdeteksi ketika menjalani tes
HIV sukarela di fasilitas VCT (voluntary
counseling and testing). Kasus AIDS yang terdeteksi setelah Perda disahkan
merupakan kasus penularan yang terjadi jauh sebelum Perda.
Kedua, kasus yang
terdeteksi setelah Perda disahkan merupakan kasus infeksi baru. Karena Perda
baru berumur dua tahun maka kasus-kasus yang terdeteksi adalah pada kondisi
HIV-positif yang belum mencapai masa AIDS. Namun, kita tidak harus menunggu
sampai lima atau sepuluh tahun untuk mengukur keberhasilan Perda karena dalam
prakteknya Perda itu tidak ’memaksa’ penduduk Bali untuk melindungi diri agar
tidak tertular HIV.
Temuan
kasus baru pun perlu dilihat dari kegiatan survailans (tes HIV yang dilakukan
pada kalangan tertentu dan pada kurun waktu tertentu pula), jumlah klien yang
datang ke klinik VCT (tes gratis secara sukarela dengan konseling), laporan
dari praktek pribadi dokter, rumah sakit pemerintah dan swasta, serta klinik.
Jika setelah perda kegiatan-kegiatan ini mandeg maka bukan penyebaran yang
berhenti atau berkurang tapi penemuan kasus yang rendah.
Kondisi bukan
Sifat
Dalam
Perda ini tidak ada ditawarkan cara-cara pencegahan HIV/AIDS yang realistis.
Pencegahan yang disebutkan dalam Perda ini hanya menyangkut penularan yang
disengaja oleh seseorang yang diketahui atau mengetahui dirinya sudah mengidap
HIV/AIDS (Odha-orang dengan HIV/AIDS). Padahal, fakta menunjukkan lebih dari 90
penularan HIV terjadi tanpa disadari. Inilah yang membuat epidemi HIV menjadi
persoalan besar karena penularan terjadi secara diam-diam tanpa disadari oleh
orang yang menularkan dan yang tertular.
Bahkan,
banyak orang yang menyangkal dirinya berisiko tertular HIV karena mereka merasa
tidak melakukan zina dan ’penyimpangan seks’. Soalnya, selama ini HIV/AIDS
selalu dikait-kaitkan dengan zina, pelacuran, ’jajan’, selingkuh, seks
pranikah, waria, dan homoseksual. Seseorang berisiko tinggi tertular HIV jika pernah
atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah
dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), di lokalisasi
atau di luar lokalisasi.
Pada
pasal 9 disebutkan ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib
melakukan upaya pencegahan.” Dalam pasal ini tidak tegas disebutkan apa, dengan
siapa, kapan, di mana, dan bagaimana hubungan seksual berisiko.
Pasal
ini sarat dengan pesan moral karena dalam penjelasan disebutkan hubungan
seksual berisiko adalah setiap hubungan seksual yang dilakukan antar orang
dalam kelompok rentan, kelompok berisiko, dan kelompok tertular. Penjelasan ini
menyuburkan stigma terhadap Odha yang pada akhirnya akan menimbulkan
diskriminasi.
Apakah
risiko penularan HIV hanya (bisa) terjadi di kalangan kelompok-kelompok yang
disebutkan itu? Tentu saja tidak karena penularan HIV melalui hubungan seks
bisa terjadi karena kondisi hubungan seks (dilakukan dengan seseorang yang
sudah HIV-positif dan setiap kali melakukan hubungan seks laki-laki tidak
memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seks (zina, melacur, di luar nikah,
jajan, selingkuh, seks menyimpang, waria, homoseksual).
Mitos
(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang terjadi selama ini memicu
penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Ada anggapan hubungan seks yang berisko hanya
terjadi jika dilakukan dengan PSK di lokalisasi. Padahal, kawin-cerai pun
merupakan perilaku berisiko karena melakukan hubungan seks dengan pasangan yang
berganti-ganti.
PSK
selalu menjadi ’kambing hitam’ dalam penyebaran HIV/AIDS. Akibatnya, banyak
daerah di negeri ini yang menutup lokalisasi pelacuran. Ada anggapan penyebaran HIV/AIDS dapat
diatasi dengan menutup lokalisasi. Ini kesalahan besar karena yang menjadi
media penyebaran HIV/AIDS bukan PSK dan lokalisasi tapi kegiatan-kegiatan
(perilaku) yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Kegiatan yang berisiko
tertular HIV/AIDS bisa terjadi di luar lokalisasi, di rumah, indekos,
kontrakan, losmen, hotel melati, hotel berbintang, taman, hutan, dll.
Wajib Kondom
Fakta
lain yang sering luput dari perhatian adalah PSK yang terdeteksi HIV-positif
tertular dari pelanggannya (laki-laki). Laki-laki ini, yang sering disebut ’hidung
belang’ dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar,
selingkuhan, lajang, atau duda. Mereka ini bisa sebagai pegawai, karyawan,
pelajar, mahasiswa, pengusaha, sopir, nelayan, rampok, dll. Laki-laki inilah
yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.
PSK
sendiri bisa jadi sebelum beroperasi di Bali
sudah mengidap HIV. Jika ini yang terjadi maka laki-laki penduduk Bali yang melakukan hubungan seks dengan PSK tanpa kondom
berisiko tertular HIV. Laki-laki, penduduk lokal atau pendatang (wisatawan
nusantara atau wisatawan asing), yang tertular dari PSK akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV pula.
Bisa
juga terjadi PSK yang beroperasi di Bali tertular HIV ketika praktek di Bali. PSK ini bisa saja ditulari oleh penduduk lokal atau
pendatang. Jika ini yang terjadi maka di kalangan masyarakat sudah ada yang
HIV-positif. Tanpa disadarinya dia sudah menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Selanjutnya, penduduk lokal atau pendatang yang kemudian tertular dari PSK pun
akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula.
Dalam
kaitan inilah upaya penanggulangan HIV/AIDS terkait dengan pasal 9 diperbaiki.
Bunyi pasal ini yang bermakna pencegahan adalah: ”Setiap orang yang melakukan
hubungan seksual di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti
atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di Bali atau di luar Bali wajib memakai kondom.”
Untuk
memutus mata rantai penyebaran HIV perlu pula ada pasal yang mengaturnya.
Bunyinya ”Setiap orang yang pernah melakukan hubungan seksual di dalam atau di
luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang
sering berganti-ganti pasangan tidak memakai kondom wajib menjalani tes HIV.”
Kian
banyak penduduk yang terdeteksi HIV-positif maka semakin banyak pula mata
rantai penyebaran HIV yang diputuskan. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.