Media Watch (10/11-2012) – Kalau
saja yang merancang Perda AIDS Prov Sumatera Selatan (Sumsel) membaca Perda
AIDS Kota Palembang tentulah perda yang mereka hasilkan akan jauh lebih baik.
Tapi, perda itu pun tidak berbeda dengan perda-perda lain yang hanya sebatas
copy-paste.
Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Sumatera Selatan (Sumsel) menjadi daerah yang ke-55 dari 64
daerah yang menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Melalui
Perda No 15 Tahun 2011 tanggal 2 November 2011 tentang Penanggulangan HIV dan
AIDS Pemrov Sumsel menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Apakah
perda itu menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?
Tidak!
Sama
seperti perda-perda lain semua hanya menawarkan penanggulangan di awang-awang
dengan ‘bahasa dewa’ yang sarat moral.
Kasus
kumulatif HIV/AIDS di Sumsel yang dilaporkan sampai 30 Juni 2012 adalah 1.406 yang terdiri atas 1.084 HIV dan 322. Tapi, perlu dingat bahwa angka ini semu karena tidak
menggambarkan kasus yang sebearnya di masyarakat. Penyebaran HIV/AIDS erat katanyanya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (1.406) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan laut (Lihat Gambar).
Selain itu Perda AIDS Sumsel
ini pun mengabaikan Perda AIDS Kota Palembang No 16 Tahun 2007. Kalau saja
Pemprov Sumsel berkaca ke Perda Kota Palembang itu tentulah perda yang
dihasilkan tidak sama jeleknya, bahkan lebih jelek (Lihat: Menyoal Kiprah Perda AIDS Kota Palembang* - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/menyoal-kiprah-perda-aids-kota-palembang.html).
Salah satu faktor risiko (mode
of transmission) penularan HIV adalah melalui hubungan seksual terutama
pada hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti dan
dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK) dan waria.
PSK yang dimaksud ada dua kategori
yaitu: (1) PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel
melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan (2) PSK
tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek
SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).
Kegiatan hubungan seksual yang
berisiko yang melibatkan PSK langsung terjadi di lokasi atau lokalisasi
pelacuran. Tapi,
dalam perda dikesankan di Sumsel tidak ada tempat atau lokasi yang memungkin
terjadi hubungan seksual dengan PSK. Ini merupakan penyangkalan terkait dengan
kegiatan pelacuran di Sumsel.
Hal yang sama juga terjadi
terhadap PSK tidak langsung. Apakah di Sumsel tidak ada PSK tidak langsung?
Hanya penyangkalan dan
kemunafikan yang mengatakan bahwa di Sumsel tidak ada praktek pelacuran yang
melibatkan PSK tidak langsung.
Tidak ada penjelasan tentang
PSK langsung dan PSK tidak lansung dalam perda ini. Yang ada adalah peyebutan
’populasi berperilaku resiko tinggi’, seperti yang ada di pasal 1 ayat 11: Populasi
Berperilaku Resiko Tinggi adalah kelompok masyarakat yang mempunyai perilaku
risiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu pekerja seks komersial,
pelanggan penjaja seks, pasangan tetap penjaja seks, pengguna narkoba suntik,
pasangan pengguna narkoba suntik, laki-laki seks dengan laki-laki, waria,
narapidana, dan anak jalanan.
Perilaku yang berisiko tertular
dan menularkan HIV bukan ada pada populasi atau kelompok, tapi orang per orang.
Seorang PSK sekalipun bisa tidak berisiko kalau dia hanya
meladeni laki-laki yang memakai kondom dan dengan pacar atau suaminya pun dia
selalu memakai kondom.
Laki-laki ‘hidung belang’ yang
sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung
berisiko tinggi tertular HIV jika tidak memakai kondom ketika sanggama.
Celakanya, dalam perda ini sama
sekali tidak ada pasal yang mengatur kewajiban memakai kondom. Bahkan, kata
kondom pun tidak ada dalam perda ini.
Di pasal 1 ayat 29 disebutkan:
Alat pencegah adalah sarung karet (lateks) yang pada penggunaannya dipasang
pada alat kelamin laki-laki atau perempuan pada waktu melakukan hubungan
seksual dengan maksud untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual
maupun pencegahan kehamilan.
’Alat pencegah’ merupakan kata
yang konotatif. Kata yang denotatif adalah kondom. Pengabaian kondom
menunjukkan moralitas semu yang mengaburkan makna.
Tidak ada ’penyakit akibat
hubungan seksual’. Yang ada adalah infeksi menular seksual (IMS), yaitu
penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual, di dalam dan di
luar nikah, jika laki-laki tidak memakai kondom, yaitu: sifilis, GO, virus
hepatitis B, klamidia, dll.
Penanggulangan HIV/AIDS yang
’ditawarkan’ dalam perda ini pun hanya di hilir, yaitu melalui kegiatan
konseling dan tes HIV, pengobatan, serta perawatan dan dukungan. Artinya,
Pemprov Sumsel menunggu penduduk tertular HIV dulu (hulu) baru ditangani
(hilir).
Sangat masuk akal kalau Perda
AIDS Sumsel ini tidak membumi karena cara-cara penularan yang disampaikan pun
tidak komprhensif.
Lihat saja di pasal 6.
Disebutkan: Penularan HIV dan AIDS dapat menular kepada orang lain dengan cara:
(a) Hubungan seksual yang tidak aman dan/atau tidak terlindungi sesuai standar
kesehatan, dan (b) Alat suntik yang tidak steril dan transfusi darah yang terkontaminasi
HIV/AIDS dan IMS.
Cara penularan yang disebutkan
perda ini jelas tidak konkret. Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa
terjadi di dalam dan di luar nikah kalau salah satu dari pasangan itu mengidap
HIV dan laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom ketika sanggama.
Apa yang dimaksud dnegan ’tidak
terlindungi sesuai standar kesehatan’? Tidak jelas apa makna pernyataan itu.
Kunci utama risiko penularan melalui hubungan seksual adalah salah satu harus
mengidap HIV.
Tidak semua alat suntik yang
tidak steril mengandung HIV, maka yang benar adalah: jarum suntik yang
menyimpan darah yang mengandung HIV.
Amat masuk akal kalau
pencegahan tidak komprehensif karena cara-cara penularan yang disampaikan dalam
perda ini juga tidak akurat.
Lihat saja di bagian
pencegahan. Pada pasal 9 ayat 1 huruf d disebutkan: Kegiatan pencegahan
dilakukan secara komprehensif, integratif, partisiaptif, dan berkelanjutan,
yang meliputi ‘melaksanakan penanggulangan IMS secara terpadu dan berkala di
tempat-tempat perilaku berisiko tinggi’.
Kegiatan yang ditawarkan ini
tidak membumi. Tidak jelas apa yang dimaksud dnegan ’tempat-tempat perilaku
berisiko tinggi’. Secara implisit perda ini mengakui ada lokasi atau lokalisasi
praktek pelacuran baik yang melibatkan PSK langsung maupun PSK tidak langsung.
Mobilitas PSK langsung dan PSK
tidak langsung sangat tinggi sehingga penanggulangan IMS secara berkala tidak
ada manfaatnya karena PSK silih berganti.
Selain itu perda ini
mengabaikan laki-laki dewasa penduduk Sumsel yang menularkan IMS dan HIV atau
dua-duanya sekaligus kepada PSK langsung dan PSK tidak langsung, serta
laki-laki dewasa penduduk Sumsel yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya
sekaligus dari PSK langsung atau PSK tidak langsung (Lihat Gambar 1).
Di masyarakat Sumsel laki-laki
yang menularkan IMS dan HIV serta laki-laki yang tertular IMS dan HIV menjadi
mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Masih di pasal 9 ayat 1 huruf e
disebutkan: Kegiatan pencegahan dilakukan secara komprehensif, integratif,
partisiaptif, dan berkelanjutan, yang meliputi ’mendorong dan melaksanakan tes
dan konseling HIV secara sukarela kepada populasi resiko tinggi’.
Ini benar-benar naif. Yang menularkan
HIV kepada PSK langsung dan PSK tidak langsung adalah laki-laki dewasa. Mereka
inilah yang menyebarkan HIV, tapi luput dari perhatian sehingga tidak masuk
dalam perda ini.
Kalau saja perda ini dirancang
dengan nalar tentulah penanggulangan yang ditawarkan adalah pencegahan yang
konkret.
Langkah yang perlu dilakukan
Pemprov Sumsel adalah interventi terhadap (perilaku) laki-laki dewasa (Lihat
Gambar 2).
Pertama, mewajibkan pemakaian kondom bagi laki-laki dewasa jika
melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, dengan PSK langsung
atau PSK tidak langsung di Sumsel, di luar Sumsel atau di luar negeri.
Kedua, jika langka pertama tidak bisa dilakukan maka langkah
berikutnya dalah mewajibkan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan istrinya
kalau dia pernah melakukan hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah,
dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di Sumsel, di luar Sumsel atau di
luar negeri.
Ketiga, kalau langkah kedua tidak bisa diberlakukan maka
langkah berikutnya adalah anjuran bagi perempuan hamil untuk menjalani tes HIV.
Cara ini akan menyelematkan bayi dari risiko tertular HIV dan memutus mata
rantai penyebaran HIV melalui istri dan suami.
Sama seperti perda-perda lain
karena sarat dengan moral maka yang dikedepankan pun tidak konkret. Lihat saja
peran serta masyarakat yang diharapkan dalam penanggulangan HIV/AIDS juga
normatif. Bahkan, mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan
berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV.
Pada pasal 19 huruf disebutkan:
Pemerintah Provinsi memberi ruang dan kesempatan yang sama bagi masyarakat dan
dunia usaha untuk berperan dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan
cara: (a) berperilaku hidup sehat, dan (b) Meningkatkan ketahanan hidup
keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.
Tidak ada kaitan langsung
antara ’hidup sehat’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan
seksual justru bisa terjadi kalau dalam kondisi sehat. Risiko penularan terjadi
karena salah satu mengidap HIV dan pasangan itu tidak memakai kondom ketika
sanggama.
Penularan HIV pun tidak ada
kaitannya secara langsung dengan ’ketahanan hidup keluarga’. Penularan HIV juga
terjadi melalui upaya mempertahankan kehidupan keluarga, seperti melalui
transfusi darah yang terkontaminasi HIV.
Padal 19 ayat a dan b ini
mengesankan orang-orang yang tertular HIV adalah orang yang perilakunya tidak
sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.
Ini menghujat, mengihana,
mengejek, mencaci dan menghina istri-istri yang tertular HIV dari suaminya dan anak-anak
yang tertular HIV dari ibunya serta orang-orang yang tertular HIV melalui
transfusi darah, jarum suntik serta alat-alat kesehatan.
Bertolak dari penanggulagan
semu dalam perda ini, maka penyebaran HIV di Sumsel akan terus terjadi. Pemprov
Sumsel tinggal menunggu waktu untuk ’panen AIDS’ karena kasus-kasus HIV/AIDS
yang ada akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.