Media Watch (3/11-2012) – Pemeritnah
Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) menelurkan Peraturan Daerah
(Perda) No 5 Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan
Infeksi Menular Seksual. Peda ini merupakan perda ke-21 dari 57 perda serupa di
seluruh Nusantara.
Pembuatan
perda-perda AIDS bertolak dari keberhasilan Thailand menunrunkan insiden
infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program 100 persen kondom’. Lalu,
bagaimana sepak terjang Perda AIDS Kaltim dalam ranah penanggulangan epidemi
HIV di Kaltim?
“Program
100 persen kondom” ditujukan kepada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan
seks dengan pekerja seks di lokalisasi dan rumah-rumah bordir di Negeri Gajah
Putih itu. Celakanya, program itu tidak bisa diterapkan di Indonesia karena
beberapa faktor.
Perilaku
Berisiko
Pertama, di Indonesia
tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sehingga mekanisme pengawasan
tidak bisa dilakukan. Thailand mengawasi program itu dengan cara survailans tes
IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.)
terhadap pekerja seks. Kalau ada pekerja seks yang mengidap IMS maka itu
membuktikan ada pekerja seks yang melayani laki-laki ’hidung belang’ tanpa
kondom. Germo atau mucikari pengelola lokalisasi atau rumah bordir akan diberi
peringatan sampai pencabutan izin.
Pada
pasal 5 ayat 3 (c) disebutkan: Dalam rangka penanggulangan penyebaran HIV/AIDS
di Provinsi Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi dan masyarakat Kalimantan
Timur berkewajiban untuk: Melaksanakan penanggulangan penyakit Infeksi Menular
Seksual (IMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat pelaku berisiko
tinggi, termasuk di dalamnya keharusan menggunakan kondom. Karena di Kaltim
tidak ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir maka penanggulangan yang
ditawarkan ini pun tidak akan jelan karena tidak ada pengawasan.
Kedua, di Indonesia
terjadi gelombang penolakan terhadap kondom karena selama ini kondom dikaitkan
dengan norma, moral dan agama. Akibatnya, kondom dianggap sebagai alat untuk
mendorong orang melakukan hubungan seks di luar nikah.
Ketiga, pemahaman
masyarakat terhadap cara-cara pencegahan dengan kondom sangat rendah sehingga
banyak orang yang tidak mau memakai kondom pada hubungan seks yang berisiko
yaitu (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau
di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
pekerja seks.
Tiga
alasan itu merupakan ganjalan terhadap ’program 100 persen kondom’ pada hubungan
seks berisiko. Selain itu program ini merupakan ekor dari serangkaian program
penanggulangan HIV/AIDS yang komprehensif di Thailand. Maka, program kondom
yang ditawarkan di Indonesia mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS
di Thailand.
Materi
dalam perda ini pun tetap dibalut dengan moral. Seperti pada Pasal 4
disebutkan: Penularan HIV/AIDS dan IMS dapat menular kepada orang lain dengan
cara: a. Hubungan seksual tidak aman dan/atau tidak terlindungi sesuai standar
kesehatan. Tidak ada penjelasan tentang pengertian ’terlindungi sesuai standar
kesehatan’. Pasal ini mengambang karena tidak jelas maksudnya. Lagi pula ada
salah kaprah di sini. Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di
dalam atau di luar nikah jika dilakukan tanpa kondom dengan orang yang sudah
tertular HIV (HIV-positif).
Pada
pasal 1 ayat 7 dan 8 disebutkan ’kelompok rawan’ dan ’tempat rawan’. Ini tidak
akurat karena yang rawan terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks
bukan kelompok atau tempat tapi perilaku orang per orang. Seorang pekerja seks
pun bisa perilakunya tidak rawan kalau dia hanya mau meladeni laki-laki yang
memakai kondom.
Sasaran
dan tujuan penanggulangan dalam perda disebutkan pada pasal 2 ditujukan kepada
kelompok rawan dan tempat rawan. Ini tidak pas karena yang berisiko tertular
HIV bukan kelompok rawan, seperti pekerja seks atau pelanggannya saja, tapi
juga setiap orang yang melakukan hubungan seks berisiko di dalam atau di luar
nikah di mana saja di muka bumi ini. Bahkan, pada pasal 3 disebutkan
penanggulangan HIV/AIDS untuk seluruh masyarakat dengan perhatian khusus kepada
populasi masyarakat yang rentan dan berisiko tinggi untuk penularan HIV. Ini
pun tidak tepat sasaran karena banyak laki-laki yang hanya sesekali melakukan
hubungan seks berisiko. Selain itu kegiatan kawin-cerai yang merupakan perilaku
berisiko tidak tersentuh.

Mata Rantai
Padahal,
penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks
(salah satu atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan
karena sifat hubungan seks (zina, melacur, jajan, seks bebas, selingkuh, dan
homoseksual). Di beberapa tempat di Indonesia dikenal ’kawin kontrak’ dan nikah
mut’ah sehingga hubungan sah tapi tetap berisiko tertular HIV karena perempuan
yang menjadi ’istri’ adalah orang yang sering berganti-ganti pasangan.
Salah
satu cara untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar
penduduk adalah dengan mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Soalnya,
kasus HIV yang terdeteksi hanya sebagaian kecil dari kasus yang sebenarnya di
masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, yang
muncul ke permukaan hanya puncak dari sebuah gunung es yang terdapat di bawah
permukaan air laut.
Untuk
mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ’tersembunyi’ di masyarakat perlu dilakukan
skrining yaitu tes HIV dengan konseling dan persetujuan (skrining rutin,
survailans sentinel, dan survai khusus) seperti yang dijalankan di beberapa
negara. Malaysia, misalnya, menjalankan skrining rutin terhadap pasien IMS
(penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO, klamidia,
hepatitis B, dll.), perempuan hamil, pengguna narkoba suntikan, polisi,
narapidana, darah donor, pasien TBC.
Kalau
saja perda-perda AIDS di Indonesia mengedepankan fakta medis tentulah ada pasal
yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika
melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Selanjutnya
untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang berbunyi: Setiap
orang, laki-laki dan perempuan, yang sudah pernah melakukan hubungan seks tanpa
kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.
Selama
penanggulangan HIV/AIDS dibalut dengan moral, maka selama itu pula upaya penanggulangan
tidak akan berhasil karena tidak menyentuh akar persoalan. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.