Media Watch (14/11-2012) –
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menerbitkan Peraturan Daerah
(Perda) No 8 Tahun 2011 tanggal 15 Desember 2011 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV/AIDS.
Kasus kumulatif HIV/AIDS per 30
Juni 2012 dilaporkan 194yang terdiri atas 94 HIV dan 100 AIDS.
Apa langkah konkret yang
ditawarkan perda ini untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kalteng?
Tidak ada!
Sama seperti puluhan perda
sejenis yang sudah ada di Indonesia
perda ini pun hanya ‘bekerja’ di tataran norma sehingga pasal-pasal yang ada
pun hanya normatif yang tidak bisa dijalankan secara efektif.
Lihat saja pasal 6 Pencegahan
pada hubungan Seks Beresiko.
Pada ayat (1) disebutkan: “Setiap
orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS atau ODHA atau
orang-orang berpotensi kena HIV/AIDS diwajibkan untuk mencegah penularan
HIV/AIDS kepada pasangannya dan dalam melakukan hubungan seksual beresiko wajib
menggunakan kondom.”
Ayat (1) ini bekerja di hilir
artinya menunggu ada dulu pendudk yang terdeteks mengidap HIV/AIDS baru
ditangani agar tidak menularkan HIV/AIDS kepada pasangannya. Persoalannya
adalah lebih dari 90 persen kasus penularan HIV/AIDS justru tidak disadari.
Ayat (2) disebutkan: “Setiap
pelanggan PSK wajib menggunakan kondom pada saat berhubungan seks.”
Persoalan terkait dengan ayat (2)
ini adalah tidak ada penjelasan di mana hubungan seksual itu terjadi, bagaimana
cara pemantauannya, dll. Selama pelacuran atau prostitusi tidak dilokalisir,
maka selama itu pula kewajiban pelanggan PSK tidak bisa dikontrol.
Pada ayat (3) disebutkan: “Setiap
orang yang berperilaku seks beresiko wajib melakukan pemeriksaan IMS sebulan
sekali dan VCT sesuai prosedur yang berlaku ditempat pemeriksaan yang telah
ditunjuk dinas kesehatan.”
Kendala pada ayat (3) ini adalah tidak
cara, prosedur atau langkah yang efektif untuk menetapkan seseorang berperilaku
seks beresiko.
Di ayat (4) disebutkan: “Setiap
pengelola tempat hiburan, lokalisasi, panti pijat, dan tempat potensial lainnya
wajib aktif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan memantau
serta mewajibkan anak asuhnya untuk melakukan pemeriksaan IMS rutin dan HIV
serta penggunaan Kondom.”
Terkait dengan ayat (4) ini tidak
ada mekanisme yang sistematis untuk pengawasan penggunaan kondom pelanggan PSK.
Satu hal yang luput dari
perhatian adalah rentang waktu pemeriksaan kesehatan, tes IMS dan tes HIV tidak
ada manfaatnya karena sebelum PSK menjalani tes IMS dan tes HIV sudah banyak
laki-laki yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dengan PSK tanpa kondom.
Mewajibkan pelanggan PSK memakai
kondom pada saat berhubungan seks hanya bisa bijalankan dengan efektif jika
pelacuran atau prostitusi dilokalisir. Germo atau mucikari diberikan izin usaha
agar mereka ada dalam genggaman hukum. Cara ini berhasil dilakukan Thailand
yang ditunjukkan dengan penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa.
Secara rutin PSK menjalani tes IMS. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap
IMS itu artinya PSK itu melayani laki-laki yang tidak memakai kondom. Yang
dikenakan sanksi hukum bukan PSK, tapi germo mulai dari peringatan sampai
pencabutan izin usaha.
Di Kab Merauke dan Kab Mimika, dua-duanya di Prov Papua yang dihukum justru
PSK. Padahal, posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat
rendah. Laki-laki bahkan memakai ’tangan’ germo untuk memaksa PSK melayaninya
melakukan hubungan seksual tanpa kondom.
Pada pasal 10 ayat (1) disebutkan: ’Semua darah
donor wajib dilakukan uji saring virus HIV karena potensi penularan HIV melalui
darah sangat tinggi.” dan ayat (2) Penyediaan darah yang akan ditransfusi wajib
telah mendapatkan jaminan dari lembaga resmi yang ditunjuk bahwa telah
dilakukan uji saring virus HIV.
Persoalannya adalah bisa saja terjadi donor mendonorkan
darahnya pada masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga bulan sehingga
infeksi HIV berasa pada masa jendela. Kondisi ini adalah rentang waktu belum
ada antibody HIV di dalam darah. Ini artinya skirining HIV di unit-unit
transfusi darah PMI akan menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam
darah tapi tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi
tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV).
Karena pernah harus membayar denda RM 100 juta untuk ganti rugi seorang
perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi darah di sebuah rumah
sakit, maka Malaysia memakai standar ISO untuk transfusi darah (Lihat:
Perda ini banyak berbiara di hilir, seperti pengobatan, perawatan,
dukungan, stigma, diskriminasi, dll. Ini artinya Pemprov Kalteng menunggu
pnduduk dulu tertular HIV baru ditangani.
Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.
Perda ini kian tidak ada maknya dalam penanggulangan HIV/AIDS jika disimak
pasal 26 tentang peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS, yaitu ayat 1 huruf a dan b, yaitu:
a. berperilaku hidup sehat. Iini mendorong stigma yaitu
cap buruk dan diskriminasi yaitu perlakuan berbeda terhadap orang-orang yang
sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena pasal 6 ayat 1 huruf a ini
mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena tidak berperilaku hidup
sehat. Tentu saja amat menyakitkan bahwa istri-istri yang tertular HIV dari
suaminya, bayi yang tertular dari ibunya, atau orang-orang yang tertular
melalui transfusi darah dan jarum suntik.
b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah
penularan HIV/AIDS. Ini juga mendorong stigma dan diskriminasi terhadap
orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena pasal 6 ayat 1 huruf
b ini mengesakan orang-orang yang tertular HIV karena mereka tidak mempunyai
ketahanan keluarga.
Selama Pemprov Kalteng tetap mengabaikan pelacuran dengan tidak melokalisirnya,
maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena ada
penyebaran HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.
Di masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang
tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat
terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.