13 November 2012

Perda AIDS Prov Kalimantan Tengah



Media Watch (14/11-2012) – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2011 tanggal 15 Desember 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS.

Kasus kumulatif HIV/AIDS per 30 Juni 2012 dilaporkan 194yang terdiri atas 94 HIV dan 100 AIDS.

Apa langkah konkret yang ditawarkan perda ini untuk menanggulangi HIV/AIDS di Kalteng?

Tidak ada!

Sama seperti puluhan perda sejenis yang sudah ada di Indonesia perda ini pun hanya ‘bekerja’ di tataran norma sehingga pasal-pasal yang ada pun hanya normatif yang tidak bisa dijalankan secara efektif.

Lihat saja pasal 6 Pencegahan pada hubungan Seks Beresiko.

Pada ayat (1) disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS atau ODHA atau orang-orang berpotensi kena HIV/AIDS diwajibkan untuk mencegah penularan HIV/AIDS kepada pasangannya dan dalam melakukan hubungan seksual beresiko wajib menggunakan kondom.”

Ayat (1) ini bekerja di hilir artinya menunggu ada dulu pendudk yang terdeteks mengidap HIV/AIDS baru ditangani agar tidak menularkan HIV/AIDS kepada pasangannya. Persoalannya adalah lebih dari 90 persen kasus penularan HIV/AIDS justru tidak disadari.

Ayat (2) disebutkan: “Setiap pelanggan PSK wajib menggunakan kondom pada saat berhubungan seks.”

Persoalan terkait dengan ayat (2) ini adalah tidak ada penjelasan di mana hubungan seksual itu terjadi, bagaimana cara pemantauannya, dll. Selama pelacuran atau prostitusi tidak dilokalisir, maka selama itu pula kewajiban pelanggan PSK tidak bisa dikontrol.

Pada ayat (3) disebutkan: “Setiap orang yang berperilaku seks beresiko wajib melakukan pemeriksaan IMS sebulan sekali dan VCT sesuai prosedur yang berlaku ditempat pemeriksaan yang telah ditunjuk dinas kesehatan.”

Kendala pada ayat (3) ini adalah tidak cara, prosedur atau langkah yang efektif untuk menetapkan seseorang berperilaku seks beresiko.

Di ayat (4) disebutkan: “Setiap pengelola tempat hiburan, lokalisasi, panti pijat, dan tempat potensial lainnya wajib aktif dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dengan memantau serta mewajibkan anak asuhnya untuk melakukan pemeriksaan IMS rutin dan HIV serta penggunaan Kondom.”
Terkait dengan ayat (4) ini tidak ada mekanisme yang sistematis untuk pengawasan penggunaan kondom pelanggan PSK.

Satu hal yang luput dari perhatian adalah rentang waktu pemeriksaan kesehatan, tes IMS dan tes HIV tidak ada manfaatnya karena sebelum PSK menjalani tes IMS dan tes HIV sudah banyak laki-laki yang berisiko tertular HIV yaitu laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.

Mewajibkan pelanggan PSK memakai kondom pada saat berhubungan seks hanya bisa bijalankan dengan efektif jika pelacuran atau prostitusi dilokalisir. Germo atau mucikari diberikan izin usaha agar mereka ada dalam genggaman hukum. Cara ini berhasil dilakukan Thailand yang ditunjukkan dengan penurunan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa.

Secara rutin PSK menjalani tes IMS. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya PSK itu melayani laki-laki yang tidak memakai kondom. Yang dikenakan sanksi hukum bukan PSK, tapi germo mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha.

Di Kab Merauke dan Kab Mimika, dua-duanya di Prov Papua yang dihukum justru PSK. Padahal, posisi tawar PSK untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah. Laki-laki bahkan memakai ’tangan’ germo untuk memaksa PSK melayaninya melakukan hubungan seksual tanpa kondom.

Pada pasal 10 ayat (1) disebutkan: ’Semua darah donor wajib dilakukan uji saring virus HIV karena potensi penularan HIV melalui darah sangat tinggi.” dan ayat (2) Penyediaan darah yang akan ditransfusi wajib telah mendapatkan jaminan dari lembaga resmi yang ditunjuk bahwa telah dilakukan uji saring virus HIV.

Persoalannya adalah bisa saja terjadi donor mendonorkan darahnya pada masa jendela yaitu tertular HIV di bawah tiga bulan sehingga infeksi HIV berasa pada masa jendela. Kondisi ini adalah rentang waktu belum ada antibody HIV di dalam darah. Ini artinya skirining HIV di unit-unit transfusi darah PMI akan menghasilkan positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi tes reaktif) atau negatif palsu (HIV sudah ada dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV).

Karena pernah harus membayar denda RM 100 juta untuk ganti rugi seorang perempuan guru mengaji yang tertular HIV dari transfusi darah di sebuah rumah sakit, maka Malaysia memakai standar ISO untuk transfusi darah (Lihat:

Perda ini banyak berbiara di hilir, seperti pengobatan, perawatan, dukungan, stigma, diskriminasi, dll. Ini artinya Pemprov Kalteng menunggu pnduduk dulu tertular HIV baru ditangani.

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Perda ini kian tidak ada maknya dalam penanggulangan HIV/AIDS jika disimak pasal 26 tentang peran serta masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, yaitu ayat 1 huruf a dan b, yaitu:

a. berperilaku hidup sehat. Iini mendorong stigma yaitu cap buruk dan diskriminasi yaitu perlakuan berbeda terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena pasal 6 ayat 1 huruf a ini mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena tidak berperilaku hidup sehat. Tentu saja amat menyakitkan bahwa istri-istri yang tertular HIV dari suaminya, bayi yang tertular dari ibunya, atau orang-orang yang tertular melalui transfusi darah dan jarum suntik.

b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS. Ini juga mendorong stigma dan diskriminasi terhadap orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena pasal 6 ayat 1 huruf b ini mengesakan orang-orang yang tertular HIV karena mereka tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Selama Pemprov Kalteng tetap mengabaikan pelacuran dengan tidak melokalisirnya, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena ada penyebaran HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya dari PSK ke laki-laki.

Di masyarakat laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.