Media Watch (27/11-2012) –
Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, Prov Kalimantan Timur (Kaltim), menerbitkan
Peraturan Daerah (Perda) No 3 Tahun 2009 tanggal 3 Juni 2009 tentang Pencegahan
dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Samarinda.
Perda
tsb. merupakan perda yang ke-37 secara nasional dari 65 perda sejenis dan perda
ke-3 di Kaltim setelah Perda Prov Kaltim (2007), dan Perda Kota Tarakan (2007).
Adakah perda ini menawarkan pasal-pasal
yang konkret dalam penanggulangan HIV/AIDS?
Tidak ada!
Di pasal 1 ayat 19 disebutkan:
“Pencegahan adalah upaya memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS pada
masyarakat.”
Memutus mata rantai berarti harus ada
dulu penduduk yang tertular HIV. Melalui orang-orang yang mengidap HIV itulah
mata rantai penyebaran HIV diputus. Celakanya, tidak semua orang atau penduduk
yang sudah mengidap HIV bisa dikenali dengan mata telanjang. Akibatnya,
penyebaran HIV terus terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah
mengidap HIV tidak menyadari diri mereka sudah tertular HIV.
Padahal, pencegahan adalah mencegah
agar tidak ada lagi penduduk yang tertular HIV. Sayang dalam perda ini tidak
ada satu pasal pun yang memberikan cara mencegah agar seseorang tidak tertular
HIV.
Yang ada adalah penanggulangan, tapi
lagi-lagi tidak realistis sehingga tentu saja tidak konkret. Di pasal 10 ayat 1
disebutkan: Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan dengan prinsip:
(a) Tidak melakukan hubungan seks. Ini
tentu saja tidak akurat karena tidak semua hubungan seksual berisiko menularkan
HIV. Lagi pula, siapa yang tidak boleh melakkan hubungan seks? Hubungan seksual
adalah hak dasar manusia sebagai pemenuhan kebutuhan biologis. Lalu, apakah
semua orang yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sudah tertular HIV?
(b) Bersikap saling setia dengan
pasangan. Nah, kalau satu atau kedua-dua pasangan tsb. mengidap HIV tetap saja
ada risiko penularan HIV kalau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
sanggama. Selain itu bisa saja sebelum satu pasangan saling setia mereka juga
pernah saling setia dengan pasangan masing-masing. Bisa saja ada yang
berkali-kali mempunyai pasangan yang juga saling setia. Ada laki-laki ‘hidung
belang’ yang selalu setia dengan seorang pekerja seks komersial (PSK). Apakah
ini tidak berisiko? Kalau bertolak dari huruf (b) ini maka tentu tidak ada
risiko. Padahal, PSK itu adalah orang yang berisiko tertular HIV karena sering
berganti-ganti pasangan (laki-laki).
(c) Cegah penularan dengan memakai
Kondom. Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi
tanpa disadari. Maka, kapan harus memakai kondom? Siapa yang harus memakai
kondom?
(d) Jangan menggunakan narkoba suntik.
Orang-orang yang menjalani operasi (pembedahan) memakai narkoba dengan suntikan
sebagai obat anestesi. Apakah mereka berisiko tertular HIV? Risiko penularan
HIV melalui narkoba bisa terjadi pada penyalahgunaan narkoba yang memakai jarum
suntik secara bersama-sama dengan bergantian karena ada kemungkinan salah satu
dari mereka mengidap HIV. Kalau memakai narkoba suntik sendiri atau dengan
jarum yang selalu steril maka tidak ada risiko penularan HIV.
Di pasal 12 ayat 1 disebutkan: “Setiap
perempuan yang mengetahui dirinya terinfeksi HIV bila ingin hamil, wajib
mengikuti program untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak, agar bayinya
terhindar dari HIV.” Fakta menunjukkan banyak perempuan terutama istri yang
tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dari suaminya. Fakta
lain menunjukkan banyak perempuan terdeteksi HIV pada masa kehamilan. Lalu,
bagaimana cara mendeteksi HIV pada perempuan? Sayang, dalam perda ini tidak ada
mekanisme untuk mendeteksi HIV pada perempuan, khususnya perempuan hamil,
Pada pasal 4 ayat b disebutkan: “Tujuan
Pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS adalah pencegahan penularan HIV dan
AIDS melalui hubungan seksual.”
Penularan HIV melalui hubungan seksual
bisa terjadi pada perilaku yang berisiko yaitu: (a) pernah atau sering
melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di laur nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti, dan (b) pernah atau sering melakukan hubungan
seksual tanpa kondom, di dalam dan di laur nikah, dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), yaitu PSK
langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung
(‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu
rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta perempuan pelaku kawin cerai.
Celakanya, tidak ada satu pun pasal
yang mengatur kewajiban memakai kondom bagi penduduk yang perilakunya berisko
terkait dengan PSK langsung dan PSK tidak langsung. Padahal, di Kota Samarinda
sendiri ada lokasi pelacuran.
Pertanyaannya adalah: Apakah Pemkot
Samarinda bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Samarinda,
asli atau pendatang, yang melakkan perilaku berisiko di wilayah Kota Samarinda
atau di luar Kota Samarinda? Kasus HIV/AIDS di Kota Samarinda tercatat 728
sehingga “Kota Tepian” itu menempati peringkat pertama pengidap HIV tertinggi
di Kaltim.
Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada
persoalan penyebaran HIV di Kota Samarinda dengan faktor risiko (mode of
transmission) hubungan seksual. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada
penyebaran HIV yang akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS jika tidak
ditanggulangi dengan cara-cara yang konkret.
Celakanya, peran serta masyarakat yang
diharapkan melakui perda ini pun hanya sebatas mitos (anggapan yang salah).
Coba simak pasal 31 ayat 1: Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara:
a. berperilaku hidup sehat.
Pertanyaannya adalah: (a) Apa yang
dimaksud dengan perilaku hidup sehat?, (b) Apa kaitan langsung antara perilaku
hibup sehat dan penularan HIV? (c) Apa ukuran atau parameter perilaku hidup
sehat yang bisa mencegah penularan HIV?
b. meningkatkan ketahanan keluarga
untuk mencegah penularan HIV dan AIDS.
Pertanaannya adalah: (a) Apa alat ukur
atau paremater ketahanan keluarga yang bisa mencegah penularan HIV? (b) Siapa
yang berkompeten mengakar ketahanan keluarga? (c) Apa kaitan langsung antara
ketahanan keluarga dan penularan HIV?
Pasal 31 ayat 1 hurus a dan b ini
justru mendorong masyarakat melakukan stigma (cap negatif) dan diskriminasi
(perbedaan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena mereka
dianggap tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan ketahanan keluarganya
tidak kuat.
Ya, lagi-lagi perda ini tidak lebih
baik dari perda yang sudah ada karena hanya merupakan copy-paste dari perda lain. Perda AIDS Prov
Kalimantan Timur pun tidak menawarkan cara-cara penanggulangan dan pencegahan
HIV/AIDS yang konkret (Lihat:
Begitu juga dengan Perda AIDS Kota
Tarakan setali tiga uang. Tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi
HIV/AIDS (Lihat:
Jika Kota Samarinda tetap menutup mata
terhadap (praktek) pelacuran dan perilaku berisiko penduduk laki-laki, maka
penyebaran HIV di kota ini akan terus terjadi. Pemkot Samarinda tinggal
menunggu ‘panen’ ledakan AIDS. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.