Media Watch (9/11-2012) - Setelah
Kabupaten Tasikmalaya (2007) dan Kota Tasikmalaya (2008), keduanya di Jawa
Barat, Kota Cirebon, juga di Jawa Barat, pun menelurkan peraturan daerah (perda)
penanggulangan AIDS. Kemudian Kab Indramayu (2009) dan Kota Bekasi (2009) serta Pemprov menerbitkan pergub.
Melalui
Perda No 1 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, Pemkot
Cirebon akan menanggulangi epidemi HIV di ‘Kota Udang’ ini.
Akankah
perda ini bisa menanggulangi penyebaran HIV di Kota Cirebon?
Perda
AIDS Kota Cirebon ini merupakan perda ke-44 dari 62 perda mulai dari tingkat
provinsi, kabupaten dan kota yang sudah dibuat di Indonesia.
Kalau
saja Pemkot Cirebon dan DPRD Kota Cirebon mencermati perda-perda AIDS yang
sudah ada tentulah perda yang dihasilkan tidak hanya bersifat copy-paste
dari perda-perda yang sudah ada.
‘Perlombaan’
membuat perda didorong oleh publikasi keberhasilan Thailand menurunkan kasus
infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program yang
dijalankan adalah ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi
pelacuran dan rumah bordir. Maka,
perda-perda AIDS nasional pun mengadopsi program Thailand itu.
Mata Rantai
Perda AIDS Kota
Cirebon, misalnya, pencegahan dikaitkan dengan pemutusan mata rantai penularan.
Pada pasal 17 ayat 2 yaitu: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya
terinfeksi HIV–AIDS wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya
pencegahan dengan menggunakan kondom.
Pasal ini tidak
jalan akan bisa dijalankan karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya
sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS
pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 15
tahun setelah tertular HIV). Itulah sebabnya lebih dari 90 persen kasus
penularan HIV terjadi tanpa disadari.
Di pasal 20
disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib
melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom.
Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan hubungan seksual beresiko.
Dalam ketentuan umum di pasal 1 ayat 32 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak
Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.
Tidak jelas apakah hubungan seksual beresiko sama dengan perilaku
seksual tidak aman.
Terkait dengan
upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dalam perda ini dilakukan melalui
pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Beberapa pasal yang terkait dengan upaya
ini tidak akan jalan karena tidak menyentuh akar persoalan yaitu penyebaran HIV
secara horizontal yang terjadi tanpa disadari. Risiko tertular dan menularkan
HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau
salah satu atau dua-duanya mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak
memakai kondom setiap kali sanggama.
Yang mendorong
penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat adalah perilaku berisiko tinggi
yaitu: (a). melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina)
tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki
dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau
di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan
yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti pekerja seks.
Untuk memutus
mata rantai penyebaran HIV dari penduduk (baca: laki-laki ‘hidung belang’) ke
pekerja seks dan sebaliknya dari pekerja seks kepada laki-laki ’hidung belang’
maka perlu ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan,
wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah,
dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering
berganti-ganti pasangan. Untuk ‘menjaring’ orang-orang yang sudah tetular
HIV maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan
perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di
dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang
yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.
Biar pun sudah
terdeteksi 435 kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat
karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampai di
permukaan yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang
tersembunyi. Kasus-kasus yang tersembunyi itulah yang bisa menjadi bumerang
karena merupakan ‘bom waktu’ yang kelak akan menjadi ledakan AIDS. Soalnya,
kasus-kasus yang tersembunyi itu menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa
mereka sadari.
Tempat Hiburan
Di pasal 25
tentang perawatan dan dukungan di sebutkan: Perawatan dan dukungan terhadap
ODHA (yang benar adalah Odha karena bukan akronim tapi kata yang mengacu ke
orang yang hidup dengan HIV/AIDS-pen.) dilakukan melalui pendekatan: (a) medis;
(b) agama; (c) psikologis; (d) sosial dan ekonomi. Urut-urutan dukungan ini
menggambarkan pemahaman terhadap HIV/AIDS dilakukan dengan kaca mata moral.
Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat
dilakukan dengan cara yang konkret dengan teknologi kedokteran.
Seorang Odha
akan memerlukan pertolongan medis untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam
darah yaitu dengan meminum obat antiretroviral (ARV). Jika sudah mencapai masa
AIDS maka diperlukan pula pengobatan penyakit-penyakit yang muncul yang dikenal
sebagai infeksi oportunistik. Maka langkah kedua yang diperlukan adalah
dukungan ekonomi untuk membeli obat-obatan dan biaya perawatan. Pendekatan
norma, moral dan agama seyogyanya dilakukan sebelum seseorang tertular HIV
yaitu melalui penyuluhan.
Seperti yang
dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa
adalah dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan
rumah bordir. Celakanya, lokalisasi dan rumah bordir tidak ada di Cirebon
sehingga program itu tidak bisa dijalankan.
Dalam perda ini
justru ada pasal yang terkait dengan tempat hiburan. Sayang, dalam ketentuan
umum tidak ada penjelasan tentang tempat hiburan. Karena tidak ada penjelasan
maka tempat hiburan akan mendapat stitma karena dianggap sebagai biang keladi
penyebaran HIV. Apalagi di pasal 34 disebutkan: Setiap pemilik dan/atau
pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi
tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disedikan
pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh SKPD.
Tidak ada kaitan langsung
antara tempat hiburan dengan penularan HIV. Tidak semua tempat hiburan
menyediakan pekerja seks dan tempat untuk hubungan seks. Risiko tertular HIV
bukan karena tempat tapi karena perilaku seks orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak
berisiko jika dia hanya mau meladeni laki-laki pelanggan, suami atau pacarnya
yang selalu memakai kondom jika sanggama.
Apakah Perda
AIDS Kota Cirebon ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan perda-perda
AIDS yang sudah ada yang hanya sebagai ‘macan kertas’? ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.