Media Watch (8/11-2012) – Pemerintah
Kota (Pemkot) Banjarmasin, Prov Kalimantan Selatan mengikuti daerah lain untuk
menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengendalian HIV-AIDS di Kota
Banjarmasin melalui Perda No 11Tahun 2012 tanggal 1 Mei 2012. Perda ini
merupakan perda ke-58 dari 63 perda dan peraturan sejenis yang diterbitkan di
Indonesia.
Lagi-lagi
perda ini hanyalah copy-paste dari
perda yang sudah ada dan dirancang dengan pijakan moral sehingga pasal-pasal
yang muncul punya hanya normatif. Sama seperti perda lain perda ini juga hanya
bicar adi awang-awang.
Tujuan
perda ini, seperti disebutkan pada pasal 4 ayat c adalah: “melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan kejadian
yang dapat menimbulkan penularan HIV-AIDS”
Pertanyannya adalah: Apa
langkah konkret yang ditawarkan perda ini melindungi masyarakat agar tidak
tertular HIV?
Di pasal 7 ayat a disebutkan: “HIV-AIDS
dapat menular kepada orang lain melalui cara hubungan Seksual yang tak terlindungi”.
Apa yang dimaksud dengan hubungan Seksual yang tak terlindungi?
Di bagian penjelasan
disebutkan: Yang dimaksud dengan “hubungan seksual yang tak terlindungi” adalah
melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan atau melakukan hubungan
seksual dengan ODHA tanpa menggunakan alat pelindung (kondom).
Pengertian “hubungan seksual
yang tak terlindungi” sebagai melakukan hubungan seksual berganti-ganti
pasangan sebagai penularan HIV tidak akurat karena ‘melakukan hubungan seksual
berganti-ganti pasangan’ adalah perilaku berisiko. Penularan bisa terjadi kalau
salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai
kondom ketika sanggama.
Bertolak dari ‘definisi’ di
atas, maka seorang laki-laki yang mempunyai pasangan tetap berupa seorang
pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung tidak termasuk
sebagai “hubungan seksual yang tak terlindungi” karena laki-laki itu melakukan
hubungan seksual tidak dengan yang berganti-ganti.
Maka, definisi itu menyesatkan
karena tidak akurat.
Perilaku berisiko tertular HIV
adalah:
(a). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Banjarmasin atau di
luar Kota Banjarmasin.
(b) Perempuan dewasa yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang
berganti-ganti tanpa kondom di Kota Banjarmasin atau di luar Kota Banjarmasin.
(c). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti
pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’,
’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’,
’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Kota Banjarmasin atau di luar Kota Banjarmasin.
(d). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
kondom terkait dengan homseksual, yaitu: gay (seks anal) di Kota Banjarmasin atau di luar Kota Banjarmasin.
(e) Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan LSL
(lelaki suka seks lelaki) melalui seks anal di Kota Banjarmasin atau di luar Kota Banjarmasin.
Paling
tidak perilaku-perilaku berisiko di ataslah yang menjadi ‘pintu masuk’ HIV/AIDS
ke Kota Banjarmasin.
Pertanyaannya
kemudian adalah: Apakah dalam perda ada pasal yang konkret sebagai intervensi
terhadap perilaku-perilaku berisko di atas?
Tidak
ada!
Coba
simak pasal 8 ayat 2 huruf a ini: “Pencegahan penyakit
HIV-AIDS dapat dilakukan dengan cara tidak
melakukan hubungan Seksual yang tidak sehat dan menyimpang”.
Apa pula yang dimaksud dengan
hubugnan seksula yang tidak sehat dan menyimpang?
Pada
bagian penjelasan disebutkan: Yang dimaksud
dengan “hubungan seksual yang tidak sehat dan menyimpang” adalah hubungan
seksual yang berganti-ganti pasangan, hubungan sejenis, hubungan seksual
melalui oral dan anal.
Penjelasan
ini menyesatkan.
Pertama, penularan HIV
melalui hubungan seksual bisa terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah
satu mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom pada saat
sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (ganti-ganti pasangan, sejenis,
dll.).
Kedua, tidak ada
hubungan seksual yang menyimpang karena semua cara hubungan seksual merupakan pemenuhan
kebutuhan biologis. Penyimpangan adalah jargon moral. Lagi pula penularan bukan
karena penyimpangan (sifat hubungan seksual).
Ketiga, hubungan
seksual sejenis pun, seperti seks anal, bukan penyebab penularan HIV karena
kalau sepasang laki-laki homoseksual melakukan seks anal risiko tertular HIV
hanya ada jika salah satu dari mereka mengidap HIV/AIDS.
Perda
ini sama sekali tidak memberikan langkah atau cara yang konkret untuk mencegah
dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Lihat
saja di pasal 25 ayat 1: “Masyarakat
bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan HIV-AIDS
serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDA dengan cara:
a. berprilaku hidup sehat.
b. meningkatkan ketahanan
keluarga
a dan b menodorng stigma (cap
buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena dikesankan mereka tertular HIV karena
perilaku hidupnya tidak sehat dan tidak mempunyak ketahanan keluarga.
Bayangkan, seorang istri yang hanya diam di rumah terular HIV dari suaminya:
Apakah perilaku hidupnya tidak sehat? Begitu pula dengan bayi yang tertular HIV
dari ibunya: Apakah selama dikandung perilaku janin itu tidak sehat?
c. mencegah terjadinya stigma
dan diskriminasi terhadap ODHA, OHIDA, dan keluarganya;
Langkah
c ini hanyalah penanggulangan di hilir. Artinya, Pemkot Banjarmasin menunggu
ada dulu penduduk yang terdeteksi HIV/AIDS baru dicegah agar tidak terjadi
stiga dan diskriminasi terhadap mereka.
Di
pasal 26 tentang kewajiban sama sekali tidak konkret karena semua pasal
dirumuskan dengan balutan moral.
Pada
pasal 25 ayat 3 disebutkan: Pekerja tempat
hiburan atau sejenisnya
wajib untuk:
a. melakukan pencegahan
terhadap penularan HIV-AIDS
Tanggapan: Bagaimana pekerja
tempat hiburan melakukan pencegahan agar tidak tertular dan menularkan HIV?
Tidak ada penjabaran yang konkret.
b.
memeriksa kesehatan secara berkala pada unit layanan IMS
yang ditunjuk pemerintah daerah
Tanggapan: Yang menularkan IMS
kepada pekerja tempat hiburan adalah laki-laki dewasa penduduk Kota
Banjarmasin, dan ada pula laki-laki dewasa penduduk Kota Banjarmasin yang
tertular IMS dan pekerja hiburan. Dalam perda tidak ada cara yang konkret untuk
mendeteksi IMS pada laki-laki pelanggan pekerja hiburan.
c.
segera berobat bila terinfeksi IMS dan AIDS serta
bertanggung jawab untuk tidak menularkan kepada orang lain.
Tanggapan:
Sebelum pekerja hiburan berobat dia sudah menularkan IMS dan HIV kepada
laki-laki penduduk Kota Banjarmasin. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari
bisa sebagai seorang suami. Mereka inilah yang menyebarkan HIV/AIDS di
masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Pada
pasal 25 ayat 4 huruf a disebutkan: Pelanggan Tempat
Hiburan atau sejenisnya
wajib untuk melakukan pencegahan terhadap penularan HIV-AIDS.
Tanggapan: Bagaimana mekanisme
pembuktian pelanggan tempat hiburan melakukan pencegahan agar tidak tertular
HIV?
Pasal-pasal pada perda ini
hanya retorika moral yang tidak menyentuh akar masalah. Tanpa langkah yang
konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Banjarmasin yang
kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.