Di
saat kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di banyak negara kita seakan terlena karena dari
tahun ke tahun sejak kasus AIDS ‘pertama’ dipublikasikan tahun 1987 kasus AIDS
yang dilaporkan hanya hitungan jari. Inilah yang selalu dijadikan pemerintah
sebagai pembenaran terhadap ketidakmungkinan kasus HIV/AIDS ‘merebak’ di
Indonesia.
‘Bak
kebakaran jenggot’ menghadapi epidemi HIV yang kian nyata di depan mata beberap
daerah di Indonesia menanggapinya dengan membuat peraturan daerah (Perda). Kab
Puncak Jaya, Papua, pun tidak mau ketinggalan. Pemkab Puncak Jaya, Papua,
menelurkan Perda No. 14 Tahun 2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV/AIDS dan IMS yang disahkan di Mulia tanggal 22 Juni 2005. Apakah
pasal-pasal di perda ini menukik ke akar persoalan?
Moral vs Fakta
Publikasi
kasus AIDS pertama ini pun bernuansa moral karena kasus kematian terkait AIDS
terjadi pada orang bule (WN Belanda) di RS Sanglah, Denpasar, Bali, sehingga
anggapan AIDS ‘hanya’ di luar negeri menjadi kuat. Setahun kemudian, 1988,
kasus kematian terkait AIDS juga terjadi di RS Sanglah, Denpasar, yang menimpa
seorang penduduk asli Indonesia. Kalau diamati penduduk tadi sudah tertular HIV
antara tahun 1978 dan 1983 jauh sebelum WN Belanda tadi datang ke Bali.
Ada
beberapa kejadian lain yang menyuburkan mitos bahwa ‘AIDS penyakit orang luar’.
Misalnya, salah satu pertanyaan bagi calon donor di UTD-PMI adalah “Kapan Anda
terakhir ke luar negeri?” Pertanyaan ini menunjukkan bahwa (risiko) AIDS hanya
ada di luar negeri.
Pada
Konferensi AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI tahun 2001 di Melbourne,
Australia, Dr. Peter Piot, Direktur Eksekutif UNAIDS, sudah mengingatkan
Indonesia terkait dengan peningkatan kasus HIV/AIDS. Tapi, lagi-lagi pemerintah
berpangku tangan.
Namun,
apa yang terjadi lima tahun kemudian? Kita melihat kasus HIV/AIDS mulai
bermunculan dari berbagai daerah.
Celakanya,
epidmei HIV bukan ditanggapi dengan ‘kepala dingin’ yaitu bertolak dari
penanggulangan yang realistis, tapi dengan reaksi yang berlebihan dan tidak
realistis bahkan irrasional.
Moral
dan agama digenjot sehingga HIV/AIDS sebagai fakta medis pun tenggelam dan
HIV/AIDS menjadi bagian dari mitos (anggapan yang salah). Berbagai jargon moral
dan agama dimasukkan ke materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi)
HIV/AIDS.
Bahkan,
di peraturan daerah (Perda) terkait AIDS juga sarat dengan atuaran moral dan
agama yang sama sekali tidak terkait langsung dengan pandemi HIV. Penekanan
aspek norma, moral, dan agama pada HIV/AIDS akan menimbulkan dampak yang
merugikan, menyudutkan, menyuburkan stigma dan diskriminasi terhadap
orang-orang yang tertular HIV.
Perda
AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah HIV adalah dengan
meningkatkan ‘iman dan taqwa’. Ini jargon agama Islam. Bagaimana dengan
penduduk yang beragama lain?
Lalu,
kalau ada orang yang tertular HIV, apakah karena mereka tidak beriman dan tidak
bertaqwa? Akibatnya, orang pun akan menuding orang-orang yang tertular HIV
sebagai orang yang tidak beriman dan tidak bertaqwa. Padahal, banyak orang yang
tertular HIV karena tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang akurat yang juga
terjadi karena KIE tentang HIV/AIDS dibalut moral dan agama. Apakah ini yang
kita harapkan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS?
Di
saat kita terlena dan mengedepankan norma, moral, dan agama dalam
penanggulangan HIV/AIDS, apa yang terjadi? Kasus demi kasus terdeteksi karena
masyarakat tidak memahami cara-cara pencegahan yang masuk akal karena penularan
HIV dikaitkan dengan moral dan agama. Misalnya, penularan HIV disebutkan karena
zina, pelacuran, jajan, selingkuh, waria, dan homoseksual.
Seks Menyimpang
Seorang
wartawan di Denpasar, Bali, misalnya, tetap pada pendiriannya bahwa dua
laki-laki yang HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka melakukan anal seks
(terjadi pada pelatihan wartawan untuk penulisan AIDS oleh PPPKMI Jakarta
dengan dukungan Global Fund, Oktober 2005). Di beberapa pelatihan serupa juga
selalu terungkap bahwa tetap ada wartawan yang yakin bahwa laki-laki dan
perempuan yang dua-duanya HIV-negatif akan ‘kena AIDS’ kalau mereka berzina,
selingkuh, seks pranikah, jajan, dan melacur.
Fakta
ini menggambarkan pemahaman masyarakat terhadap HIV/AIDS hanya berdasarkan
mitos. Ini semua terjadi karena selama ini materi KIE tentang HIV/AIDS selalu
dibalut dengan moral dan agama.
Hal
yang sama terdapat pada Perda Puncak Jaya ini. Pada pasal 5 ayat 1 disebutkan
“Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalu cara (a) Tidak melakukan hubungan
seksual secara menyimpang dan berganti-ganti pasangan seks.” Ini jelas ‘cara
moral’ yang sama sekali tidak terkait dengan pencegahan penularan HIV yang
akurat. ‘Penyimpangan’ dalam seks merupakan sudut pandang moral dan agama.
Penularan
HIV dan IMS melalui hubungan seksual, di dalam atau di luar nikah, bisa terjadi
kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif atau mengidap IMS dan
laki-laki atau perempuan tidak memakai kondom setiap melakukan hubungan
seksual. Sebaliknya, kalau dua-duanya HIV-negatif dan tidak mengidap IMS maka
tidak ada penularan HIV dan IMS biar pun mereka berzina, melacur, selingkuh,
jajan, menyimpang, homoseksual, dll.
Maka,
penularan HIV dan IMS melalui hubungan seksual tergantung kepada KONDISI
HUBUNGAN SEKSUAL bukan SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL. Artinya, biar pun di dalam
ikatan pernikahan yang sah (sifat) ada risiko penularan HIV kalau salah satu
atau dua-duanya HIV-positif (kondisi). Sebaliknya, biar pun di luar nikah,
jajan, selingkuh, me-lacur, waria, atau homo-seksual (sifaf) kalau dua-duanya
HIV-negatif (kondisi) maka tidak ada penularan HIV.
Pada
pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara
(b) Setia pada satu pasangan tetap.” Ini juga moralistik karena bisa saja
terjadi kesetiaan kepada satu pasangan yang berganti-ganti. Pada kurun waktu
tertentu seorang laki-laki setiap pada seorang perempuan. Tapi, bisa saja
terjadi sebelum mereka saling setia mereka juga pernah saling setia dengan
pasangan lain. Begitu seterusnya.
Pada
pasal 4 disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui: (a) Hubungan
seksual yang tak terlindung.” Ini tidak akurat karena penularan HIV melalui
hubungan seksual di dalam atau di luar nikah (bisa) terjadi kalau salah satu
atau dua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali
melakukan hubungan seksual. Kalau dua-duanya HIV-negatif terlindung atau tidak,
sah atau tidak, maka tidak ada penularan HIV.
Pada
pasal 4 ayat b disebutkan “HIV dapat menular kepada orang lain melalui:
Jarum/alat suntik yang sekali pakai dibuang.” Ini tidak jelas maksudnya.
Cara-cara
pencegahan yang ‘ditawarkan’ selalu bersifat moralistik padahal pencegahan HIV
dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran yang realistis.
Pada
pasal 5 ayat 1 disebutkan “Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dilakukan melalui cara
(c) Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang beresiko tertular virus
HIV dan IMS.” Lho, bagaimana kontak seksual yang beresiko? Pada padal 1 ayat 11
disebutkan “Perilaku seksual beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan
seksual tanpa menggunakan kondom.”
Penjaja Seks
Yang
terjadi adalah banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang merasa tidak
berganti-ganti pasangan karena dia selalu ‘memakai’ pekerja seks komersial
(PSK) yang sama setiap kali melepas hasrat seksual. Bahkan, ada yang menjadikan
hubungan mereka pada taraf ‘pacar’ dan ‘suami’. Lagi-lagi penegasan tidak
akurat karena dibalut dengan moral.
Perilaku
berisiko melalui hubungan seksual bisa terjadi kalau melakukan hubungan seksual
di dalam atau di luar nikah serta homoseksual tanpa kondom dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti PSK. langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran), PSK tidak
langsung (‘cewek bar’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘ibu-ibu rumah tangga’,
WIL, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, waria pekerja seks, dll.)
serta pelaku kawin-cerai.
Selama
materi KIE tetap dibalut dengan moral dan agama maka selama itu pula yang
ditangkap masyarakat hanya mitos. Inilah yang mencelakakan masyarakat.
Di
beberapa negara kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan
grafik yang mendatar. Tapi, mengapa di kawasan Asia Pasifik justru sebaliknya?
Ya,
lagi-lagi terjadi karena mitos. Di banyak negara masyarakat sudah memahami
cara-cara pencegahan yang realistis melalui hubungan seksual yang memakai
kondom pada hubungan seksual yang berisiko. Sebaliknya, di kawasan Asia Pasifik
yang terjadi justru ‘debat kusir’ soal kondom dengan mempertentangkan aspek
kesehatan masyarakat dengan moral dan agama.
Perda
ini lagi-lagi merendahkan harkat dan martabat PSK sebagai manusia dengan
menyebut mereka sebagai penjaja seks komersial. Penjaja berarti orang
yang menjajakan atau menawarkan sesuatu dengan berkeliling.
Pertanyaannya
adalah: apakah PSK menjajakan diri dengan berkeliling? Fakta menunjukkan PSK
menunggu di tempat. Yang datang ‘membeli’ justru laki-laki. Dan, perlu diingat
laki-laki pulalah yang menularkan HIV atau IMS atau dua-duanya sekaligus kepada
PSK. Fakta ini selalu ditutup-tutupi sehingga mengesankan PSK-lah yang menjadi
biang keladi penyebaran HIV dan IMS. Penggelapan fakta ini selain bias gender
juga menyesatkan masyarakat.
Celakanya,
ketika ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS yang dipersoalkan
hanya PSK itu. Padahal, ada fakta lain yang merupakan realitas sosial yang
digelapkan yaitu ada laki-laki yang menularkan dan tertular. Laki-laki inilah
yang merupakan mata rantai penyebaran HIV dan IMS. Mereka menjadi jembatan dari
PSK ke populasi.
Lagi-lagi
fakta ini luput atau memang sengaja diluputkan agar PSK dikesankan tidak
bermoral, sedangkan laki-laki ‘hidung belang’, bahkan ada yang beristri, yang
gemar melacur lebih bermoral. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.