Media Watch (24/11-2012) - Kepanikan
menanggapi epidemi HIV yang kian tidak terkendali di Indonesia mendorong beberapa daerah
untuk membuat peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS. Sudah 28 daerah,
mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menerbitkan Perda. Kabupaten
Jembrana, Prov. Bali, juga sudah menerbitkan Perda No 1 Tahun 2008 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 10 Oktober 2008. Perda ini merupakan yang
ke-32 secara nasional dan yang ke-6 dari tujuh perda AIDS di Bali.
Dari semua perda yang ada
ternyata pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV tidak menyentuh akar
persoalan. Bahkan, perda-perda itu hanya mengedepankan norma, moral dan agama
sebagai ’senjata’ untuk menanggulangi AIDS. Perda-perda itu hanya saling meng-copy-paste satu sama lain.
Maka, tidak mengherankan kalau
kemudian 11 anggota TNI yang ikut pada Pasukan Perdamaian PBB di Kamboja
tertular HIV. Dikhawatirkan tentara kita bertolak ke Kamboja dengan bekal
wejangan (baca: moral) dan bedil. Sedangkan tentara Belanda yang juga menjadi
bagian dari pasukan perdamaian tidak ada yang tertular HIV. Koq, bisa?
Ya, iyalah. Selain membawa bedil tentara Belanda dibekali pula dengan kondom
sebagai ’senjata’ untuk melindungi ’si buyung’.
Setelah HIV diidentifkasi
sebagai penyebab AIDS dan diakui oleh WHO (1986) maka cara-cara penularan dan
pencegahan HIV sudah diketahui. Penularan dan pencegahan HIV dapat dilakukan
dengan cara-cara yang rasional karena HIV dan AIDS adalah fakta medis. Artinya,
HIV dan AIDS dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi, karena selama ini HIV dan
AIDS selalu dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama maka fakta medis
tentang HIV dan AIDS pun digulung mitos (anggapan yang salah). Akibatnya, banyak
orang yang tidak (mau) menyadari perilakunya berisiko tertular HIV. Akhirnya,
penyebaran HIV pun terus terjadi tanpa disadari.
Perempuan Hamil
Lihatlah pasal 7 dan 8 pada
perda ini. Pencegahan yang ditawarkan adalah larangan bagi orang-orang yang sudah
mengetahui dirinya tertular HIV untuk tidak menularkannya kepada orang
lain. Padahal, fakta menunjukkan lebih dari 90 pesen orang-orang yang sudah
tertular HIV justru tidak menyadarinya.
Di pasal 8 ayat 1 dan 3
disebutkan larangan bagi yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV untuk
mendonorkan cairan sperma. Yang didonorkan adalah sperma bukan cairan
sperma atau air mani. Di sperma tidak ada HIV. Selain itu di Indonesia tidak
ada bank sperma. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri sudah mengeluarkan fatwa
bahwa donor sperma haram hukumnya.
Tentang larangan bagi yang
sudah mengetahui dirinya tertular HIV untuk mendonorkan darah juga tidak
jeminan darah di PMI seratus persen bebas HIV. Soalnya, jika orang-orang yang
merasa dirinya tidak tertular HIV, sedangkan ada di antara mereka yang
perilakunya berisiko tertular HIV, mendonorkan darah pada masa jendela
(tertular HIV di bawah tiga bulan) maka skrining yang dilakukan PMI terhadap
darah donor bisa menghasilkan negatif palsu. Artinya, sudah ada HIV di dalam
darah tapi tidak terdeteksi. Ini jauh lebih berbahaya daripada darah donor yang
terdeteksi positif palsu karena darah ini tidak dipakai, sedangkan darah dengan
hasil skrining negatif palsu justru ditransfusikan.
Pasal 8 ayat 4 ada larangan
bagi yang sudah mengetahui dirinya tertular HIV untuk memberikan air susu ibu
(ASI) miliknya. Persoalannya adalah idak ada mekanisme untuk mendeteksi HIV di
kalangan perempuan hamil. Kita bisa menoleh ke Malaysia yang mempunyai
mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan perempuan hamil yaitu melalui
survailans rutin. Dalam perda ini tidak ada mekanisme untuk mendeteksi
perempuan hamil yang mengidap HIV.
Salah satu faktor yang
mendorong penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah perilaku
berisiko tertular dan menularkan HIV, yaitu: (a) pernah atau sering melakakukan
hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif,
dan (b) pernah atau sering melakakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam
atau di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan karena ada
kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif, seperti pekerja seks
komersial/PSK langsung (PSK di lokasi, jalanan, losmen, hotel, dll.) atau PSK
tidak langsung (karyawan bar, ’cewek sekolahan’, ’cewek kampus’, dll.), serta
pelaku kawin cerai.
Fakta di atas diabaikan dalam
pasal-pasal pencegahan dan penanggulangan AIDS dalam perda-perda AIDS. Seperti
pada Perda Jembrana ini. Pada pasal 9 disebutkan: ”Setiap orang yang melakukan
hubungan seksual yang berisiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Ini normatif
karena memakai kata-kata yang konotatif. Pertama, selama ini ada kesan
bahwa hubungan seksual yang berisiko hanya sanggama yang dilakukan di luar
nikah, zina, pelacuran, selingkuh, ’jajan’, ’seks bebas’, ’kumpul kebo’, dan
homoseksual. Kedua, pencegahan bisa sebagai konotasi karena mengandung
banyak arti. Kata ini tidak deskriptif sehingga tidak bersifat denotasi.
Kalau saja perda ini tidak
dibalut dengan moral maka pasal ini berbunyi: ”Setiap orang, laki-laki dan
perempuan yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, di
wilayah Kabupaten Jembrana atau di luar Kab Jembrana serta di luar negeri,
dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti
pasangan wajib memakai kondom.”
Perda-perda AIDS di Indonesia
’diilhami’ keberhasilan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi baru HIV pada
laki-laki dewasa melalui program ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan
seksual di lokasi pelacuran atau rumah bordir. ’Angin surga’ itu pun bertiup
kencang ke negeri ini. Perda pertama lahir Januari 2003 di Kab Nabire, Papua,
terakhir perda di Prov. Sulawesi Selatan (April 2010).
Satu hal yang luput dari
pemrakarsa perda AIDS di Indonesia adalah program kodnom itu ternyata ekor dari
rangkaian program penanggulangan berskala nasional di Thailand. Maka,
perda-perda kita pun mengekor ke ekor program Thailand. Perda-perda AIDS di
Indonesia pun bagaikan enclave di Nusantara sehingga ada peluang untuk
melanggarnya di daerah lain atau bahkan di luar negeri.
Program tsb. bisa jalan di
Thailand karena ada mekanisme yang konkret dalam memantau program yaitu
survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, klamidia,
hepatitis B, dll.) terhadap PSK secara rutin. Jika ada PSK yang terdeteksi
mengidap IMS maka pengelola lokasi pelacuran, rumah bordir, atau germo
diberikan sanksi berupa teguran sampai pencabutan izin usaha.
Celakanya, di Indonesia,
termasuk Kab. Jembrana, tidak ada izin usaha resmi bagi pengelola lokasi
pelacuran, rempat-tempat yang dijadikan lokasi pelacuran, atau germo sehingga
mekanisme pemantauan tidak bisa dilakukan. Upaya penerapan program itu pun kian
rancu. Di pasal 11 disebutkan ‘pemilik dan atau pengelola tempat-tempat
hiburan’. Ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara tempat
hiburan dengan penularan HIV karena tidak ada hubungan seks di tempat-tempat
hiburan.
Penyebatan ‘tempat hiburan’ pun
konotatif karena tidak jelas apa yang dimaksud ‘tempat hiburan’ dalam perda
ini. Ini membuat masyarakat menilai negatif tempat-tempat
hiburan. Padahal, perilaku berisiko bisa terjadi oleh siapa saja, di mana saja
dan kapan saja. Celakanya, polisi dan Satpol PP di negeri ini hanya bernyali
merazia rumah kontrakan, losmen dan hotel melati. Apakah di apartemen dan
hotel-hotel berbintang tidak ada praktek pelacuran (baca: zina)?
Upaya pemantauan yang konkret
di Thailand dijabarkan secara implisit di perda ini. Pada pasal 11 ayat 3
disebutkan: ”Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan yang rentan
terhadap penularan HIV & AIDS wajib memeriksakan karyawan yang menjadi
tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disediakan
Pemerintah, Lembaga Nirlaba dan/atau swasta yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan
dan Kesejahteraan Sosial.” Ini tidak nalar. Apakah pengusaha biliar, karaoke, music
house, diskotek, dan bioskop harus melakukannya? Apakah di tempat-tempat
ini terjadi hubungan seksual? Dengan cara ini maka tidak akan tercapai
penurunan kasus infeksi baru di kalangan dewasa melalui hubungan seksual karena
hubungan seksual berisiko tidak dilakukan di tempat-tempat hiburan itu.
Dukungan pemerintah, dalam hal
ini Pemkab Jembrana, dalam menangulangi epidemi HIV sangat diperlukan. Sayang,
dukungan yang dijanjikan Pemkab pada pasal 12 tidak menyentuh akar persoalan
secara realistis.
Standar ISO
Pada ayat a, misalnya,
disebutkan: ”Pemerintah Kabupaten menyediakan sarana prasarana skrining HIV
pada semua darah, produk darah, cairan sperma, organ, dan/atau jaringan yang
didonorkan.” Seperti yang dijelaskan di atas skrining teradap darah donor bisa
enghasilkan negatif palsu. Kita bisa melihat langkah konkret yang dilakukan
Malaysia dalam meningkatkan keamanan darah untuk transfusi yaitu menerapkan
standar ISO (International Organization for Standardization) melalui
standar ISO/ICE 17025:1999 (general requirements for the competence of
testing and calibration laboratories) (Lihat: Hak Bebas HIV melalui Transfusi Darah - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/hak-bebas-hiv-melalui-transfusi-darah.html).
Pada ayat c, disebutkan:
”Pemerintah Kabupaten menyediakan sarana prasarana layanan untuk pencegahan
dari ibu hamil yang positif HIV kepada bayi yang dikandungnya.” Ini juga tidak
jalan karena tidak ada mekanisme yang konkret dalam mendeteksi HIV di kalangan
perempuan hamil. Perempuan yang sudah terdeteksi HIV, terutama yang ditangani oleh
LSM, sudah otomatis menerapkan pencegahan penularan dari-ibu-ke-bayi yang
dikandungnya.
Sejak HIV diidentikasi sebagai
virus penyebab (kondisi) AIDS sudah terbukti HIV dan AIDS adalah fakta medis.
Tapi, tetap saja ada pandangan moralistis terhadap HIV dan AIDS sehingga fakta
hilang dan mitos yang mencuat.
Pada baigan peran serta
masyarakat pada perda ini, misalnya, di pasal 21 ayat 1 butir a disebutkan:
”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam kegiatan
penanggulangan HIV & AIDS dengan cara berprilaku hidup sehat.” Ini tidak
konkret karena tidak ada kaitan langsung antara perilaku hidup sehat dengan
penularan HIV. Pasal ini juga mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi
(membeda-bedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang tertular HIV karena
mengesankan mereka sebagai orang yang perilakunya tidah hidup sehat.
Di butir b disebutkan:
”Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperanserta dalam kegiatan
penanggulangan HIV & AIDS dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga untuk
mencegah penularan HIV & AIDS.” Lagi-lagi ini mitos karena tidak ada kaitan
langsung antara ’ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV. Lagi pula, apa, sih,
yang dimaksud dengan ketahanan keluarga terkait dengan epidemi HIV? Ini juga
mendorong masyarakat untuk melakukan stigma dan diskriminasi terhadap
orang-orang yang tertular HIV.
Ancaman pidana terhadap
pelanggaran terhadap perda ini tidak akan berguna karena penyebaran HIV jauh
lebih besar terjadi tanpa disadari.
Selama cara pandang yang dipakai
dalam menanggulangi epidemi HIV tetap berpijak pada moral maka selama itu pula
penyebaran HIV akan terus terjadi. Sudah saatnya kita mengubah sudut pandang
yang moralistis dengan paradigma (kerangka berpikir) yang konkret dalam
menanggulangi epidemi HIV. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.