Media Watch (4/11-2012) - Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Indramayu, Prov Jawa Barat, menerbitkan Peraturan Daerah
(Perda) No 08 Tahun 2009 tanggal 2 September 2009 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Indramayu. Perda ini urutan ke-43 dari
58 perda sejenis yang ada di Indonesia dan uturan ke-3 dari lima perda yang ada
di Jawa Barat.
Sama
seperti perda-perda yang lain perda ini pun hanya sebatas copy-paste. Tidak ada
pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui
hubungan seksual pada laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK).
Kasus
kumulatif HIV/AIDS di Kab Indramayu dilaporkan per Desember 2011 sebanyak 490 (www.indramayupost.com. 7/12-2011).
Bahkan,
perancang perda ini tidak memperhatikan berita “6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK
di Pulau Batam. Mereka Merasa Menjadi Pahlawan Ekonomi Keluarga” (Harian “Pikiran
Rakyat”, 11 November 2005). Akibatnya, tidak ada pasal yang menyentuh
persoalan tsb.
Pemprov
Riau dan Pemprov Kepulauan Riau memulangkan PSK yang terdeteksi HIV ke daerah
asalnya. Nah, kalau fakta itu disimak oleh perancang perda tentulah ada pasal
dalam perda yang realistis terkait upaya
penanganan perempuan asal Indramayu yang terdeteksi HIV di Riau dan Kepulauan
Riau atau daerah lain ketika mereka akan dipulangkan ke kampung halamannya.
Jika
seorang perempuan yang menjadi, maaf, PSK di Batam mempunyai suami maka jika
perempuan itu tertular HIV di Batam dia pun akan menularkan HIV kepada
suaminya. Karena hubungan seksual dilakukan dengan suami maka suami tidak
memakai kondom sehingga ada risiko tertular HIV. Celakanya, ketika perempuan
itu kembali ke Batam atau daerah lain si suami mencari pasangan seks lain atau
menjadi pelanggan PSK. Di Karawang, Jabar, misalnya, suami TKW banyak yang
menjadi pelanggan PSK.
Batam
sendiri disebutkan sebagai ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS ke seluruh
Nusantara (Lihat: Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi
HIV/AIDS Nasional - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/batam-bisa-jadi-pintu-masuk-epidemi.html
dan
PSK Mudik Lebaran: Ada yang Bawa AIDS
sebagai Oleh-oleh - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/psk-mudik-lebaran-ada-yang-bawa-aids.html).
Begitu
pula dengan TKW yang bekerja di beberapa negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang
besar risiko tertular HIV pun tinggi karena ada di antara mereka yang
diperkosa, dijadikan gundik atau istri simpanan. Tapi, lagi-lagi tidak ada
pasal dalam perda itu yang menukik ke persoalan ini. Soalnya, di beberapa
daerah sudah banyak TKW yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Ya,
lagi-lagi perda ini pun tidak berbeda denga perda lain. Perda ini merupakan
perda ke-42 dari 50 perda AIDS yang ada di Indonesia mulai dari tingkat
provinsi, kabupaten dan kota. Perda-perda AIDS hanya copy-paste dari
perda lain.
Melindungi
masyarakat dari risiko tertular HIV adalah dengan memberikan informasi yang
akurat tentang cara-cara mencegah penularan HIV. Tapi, dalam perda ini justru
moral yang dijadikan alat untuk melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV.
Lihat
saja di pasal 4 ayat 1: “Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara: meningkatkan promosi perilaku
hidup bersih dan sehat.”
Tidak
ada kaitan lansung antara ‘perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan penularan
HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar
nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV
dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama (kondisi hubungan seksual).
Pasal
ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan
diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap odha (orang dengan HIV/AIDS) karena
dikesankan orang-orang yang tertular HIV karena perlikuanya tidak sehat dan
tidak bersih.
Lebih
dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang
yang sudah mengidap HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya
sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).
Tapi,
di pasal 22 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya
terinfeksi HIV dan AIDS: (1) wajib melindungi pasangan seksualnya dengan
melakukan upaya pencegahan, (2) dilarang mendonorkan darah, produk darah,
cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain.
Fakta
menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV melalui cara yang sesuai dengan
standar prosedur operasi tes HIV yang baku sudah berjanji bahwa penularan HIV
akan dihentikan mulai dari dirinya.
Salah
satu cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam
dan di luar nikah, dengan orang yang sudah mengidap HIV. Persoalannya adalah
orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak bisa dikenali. Maka, melalukan
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK,
berisiko tertular HIV.
Maka,
setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib memakai kondom,
seperti diatur di pasal 25: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual
beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Persoalannya adalah tidak ada
mekanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki yang
melakukan hubungan seksual berisiko.
Terkait
dengan (praktek) pelacuran di wilayah Kab Indramayu juga tidak muncul dalam
perda ini. Ya, bisa saja pelacuran dianggap tidak ada di Kab Indramayu karena
tidak ada lokalisasi pelacuran yang kasat mata. Tapi, apakah ada jaminan di Kab
Indramayu sama sekali tidak ada praktek pelacuran?
Kalau
tidak ada jaminan maka perlu menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi
laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pelanggan PSK.
Di pasal 44 disebutkan:
”Pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
diarahkan untuk: (1) meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sehingga
mampu mencegah dan atau mengurangi penularan HIV dan AIDS.”
Mencegah penularan HIV tidak
ada kaitannya dengan secara langsung dengan derajat kesehatan masyarakat.
Bahkan, dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka kemampuan untuk
melakukan hubungan seksual pun ikut pula meningkat.
Pada kondisi kemampuan seksual
meningkat tentulah diperlukan penyaluran berupa hubungan seksual. Nah, kalau
hubungan seksual dilakukan dengan berisiko maka ada risiko tertular HIV.
Untuk itulah diperlukan
regulasi (peraturan) yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, bukan
sekedar mengedepankan moral sehingga pasal-pasal yang muncul hanya bersifat
normatif. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.