03 November 2012

Perda AIDS Kabupaten Indramayu, Jawa Barat



Media Watch (4/11-2012) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Indramayu, Prov Jawa Barat, menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 08  Tahun 2009 tanggal 2 September 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Indramayu. Perda ini urutan ke-43 dari 58 perda sejenis yang ada di Indonesia dan uturan ke-3 dari lima perda yang ada di Jawa Barat.

Sama seperti perda-perda yang lain perda ini pun hanya sebatas copy-paste. Tidak ada pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual pada laki-laki dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Indramayu dilaporkan per Desember 2011 sebanyak 490 (www.indramayupost.com. 7/12-2011).

Bahkan, perancang perda ini tidak memperhatikan berita “6.300 Wanita Indramayu Jadi PSK di Pulau Batam. Mereka Merasa Menjadi Pahlawan Ekonomi Keluarga” (Harian “Pikiran Rakyat”, 11 November 2005). Akibatnya, tidak ada pasal yang menyentuh persoalan tsb.

Pemprov Riau dan Pemprov Kepulauan Riau memulangkan PSK yang terdeteksi HIV ke daerah asalnya. Nah, kalau fakta itu disimak oleh perancang perda tentulah ada pasal dalam perda yang realistis terkait  upaya penanganan perempuan asal Indramayu yang terdeteksi HIV di Riau dan Kepulauan Riau atau daerah lain ketika mereka akan dipulangkan ke kampung halamannya.

Jika seorang perempuan yang menjadi, maaf, PSK di Batam mempunyai suami maka jika perempuan itu tertular HIV di Batam dia pun akan menularkan HIV kepada suaminya. Karena hubungan seksual dilakukan dengan suami maka suami tidak memakai kondom sehingga ada risiko tertular HIV. Celakanya, ketika perempuan itu kembali ke Batam atau daerah lain si suami mencari pasangan seks lain atau menjadi pelanggan PSK. Di Karawang, Jabar, misalnya, suami TKW banyak yang menjadi pelanggan PSK.

Batam sendiri disebutkan sebagai ‘pintu masuk’ penyebaran HIV/AIDS ke seluruh Nusantara (Lihat: Batam bisa Jadi ”Pintu Masuk” Epidemi HIV/AIDS Nasional -  http://www.aidsindonesia.com/2012/08/batam-bisa-jadi-pintu-masuk-epidemi.html   dan PSK Mudik Lebaran: Ada yang Bawa AIDS sebagai Oleh-oleh - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/psk-mudik-lebaran-ada-yang-bawa-aids.html).  

Begitu pula dengan TKW yang bekerja di beberapa negara dengan prevalensi HIV/AIDS yang besar risiko tertular HIV pun tinggi karena ada di antara mereka yang diperkosa, dijadikan gundik atau istri simpanan. Tapi, lagi-lagi tidak ada pasal dalam perda itu yang menukik ke persoalan ini. Soalnya, di beberapa daerah sudah banyak TKW yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Ya, lagi-lagi perda ini pun tidak berbeda denga perda lain. Perda ini merupakan perda ke-42 dari 50 perda AIDS yang ada di Indonesia mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota. Perda-perda AIDS hanya copy-paste dari perda lain.

Melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV adalah dengan memberikan informasi yang akurat tentang cara-cara mencegah penularan HIV. Tapi, dalam perda ini justru moral yang dijadikan alat untuk melindungi masyarakat dari risiko tertular HIV.

Lihat saja di pasal 4 ayat 1: “Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya HIV dan AIDS dengan cara: meningkatkan promosi perilaku hidup bersih dan sehat.”

Tidak ada kaitan lansung antara ‘perilaku hidup bersih dan sehat’ dengan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama (kondisi hubungan seksual).

Pasal ini justru mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap odha (orang dengan HIV/AIDS) karena dikesankan orang-orang yang tertular HIV karena perlikuanya tidak sehat dan tidak bersih.

Lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV).

Tapi, di pasal 22 disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS: (1) wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan, (2) dilarang mendonorkan darah, produk darah, cairan sperma, organ dan atau jaringan tubuhnya kepada orang lain.

Fakta menunjukkan orang-orang yang terdeteksi HIV melalui cara yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sudah berjanji bahwa penularan HIV akan dihentikan mulai dari dirinya.

Salah satu cara penularan HIV adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan orang yang sudah mengidap HIV. Persoalannya adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak bisa dikenali. Maka, melalukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, berisiko tertular HIV.

Maka, setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib memakai kondom, seperti diatur di pasal 25: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan.” Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang konkret untuk memantau pemakaian kondom pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko.

Terkait dengan (praktek) pelacuran di wilayah Kab Indramayu juga tidak muncul dalam perda ini. Ya, bisa saja pelacuran dianggap tidak ada di Kab Indramayu karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang kasat mata. Tapi, apakah ada jaminan di Kab Indramayu sama sekali tidak ada praktek pelacuran?

Kalau tidak ada jaminan maka perlu menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ yang menjadi pelanggan PSK.

Di pasal 44 disebutkan: ”Pembinaan, pengendalian dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diarahkan untuk: (1) meningkatkan  derajat kesehatan masyarakat sehingga mampu mencegah dan atau mengurangi penularan HIV dan AIDS.”

Mencegah penularan HIV tidak ada kaitannya dengan secara langsung dengan derajat kesehatan masyarakat. Bahkan, dengan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, maka kemampuan untuk melakukan hubungan seksual pun ikut pula meningkat.

Pada kondisi kemampuan seksual meningkat tentulah diperlukan penyaluran berupa hubungan seksual. Nah, kalau hubungan seksual dilakukan dengan berisiko maka ada risiko tertular HIV.

Untuk itulah diperlukan regulasi (peraturan) yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, bukan sekedar mengedepankan moral sehingga pasal-pasal yang muncul hanya bersifat normatif. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.