Menguji Perda AIDS
Bulukumba, Sulawesi Selatan
Catatan. Dimuat di Harian “Swara Kita“, Manado, 15 Juli 2009
BERITA SKH “Swara Kita”
(12/6-2009) menyebutkan ranperda HIV/AIDS Sulut ditunda. Penundaan terjadi
karena ada pasal yang mengesankan legitimasi lokalisasi pelacuran. Ini
lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terha-dap epidemi HIV dari
aspek medis.
Sampai sekarang sudah 28 daerah
di Indonesia, mulai dari
tingkat provinsi, kabupaten sam-pai kota
yang menelurkan Perda AIDS. Salah satu perda yaitu Perda Kabupaten Bulukumba,
Provinsi Sulawesi Selatan, No 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV/AIDS yang
diundangkan tanggal 23/6-2008 merupakan perda yang ke-20 dari 28 perda yang
sudah ada. Ini bisa menjadi acuan bagi ranperda AIDS Sulut.
Apakah perda ini bisa menurunkan
infeksi HIV baru di Bulukumba? Pertanyaan itulah yang muncul setiap kali kita
membaca Perda AIDS.
Di Tanah Papua, misalnya, ada
tujuh perda penanggulangan AIDS. Tapi,
apa yang terjadi di di sana? Kasus HIV/AIDS menempati peringkat keempat secara
nasional. Sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 2.382 kasus AIDS dari 16.110
kasus secara nasional. Sedangkan Sulawesi Selatan menempati peringkat ke-16
dengan 143 kasus AIDS. Di Bulukumba sampai Desember 2008 sudah dilaporkan 45
kasus HIV/AIDS, 15 di antaranya sudah meninggal. Kabupaten Bulukumba pun tidak masuk dalam daftar
105 kabupaten dan kota yang masuk dalam kategori akselerasi.
Perda ini sendiri merupakan upaya untuk menanggulangi HIV/AIDS di Bulukumba
yang diatur pada pasal 4, 5, dan 6. Pada pasal 4 disebutkan “Penanggulangan
HIV/AIDS dilakukan melalui: a. promosi; b. pencegahan; c. pelayanan; dan d.
pengobatan.”
HUBUNGAN SEKS
Perihal promosi dijelaskan pada
pasal 5 “Kegiatan promosi yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam
rangka menumbuhkan sikap dan perilaku hidup bersih, ehat dan gaya hidup yang bertanggung jawab
dilaksanakan oleh Pemerintah dengan melibatkan peranserta masyarakat, dan
sektor swasta.”
Pasal ini menyuburkan stigma (cap
buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) karena timbul kesan mereka tertular disebabkan oleh perilaku hidup
mereka tidak bersih dan tidak bertanggung jawab. Penularan HIV tidak ada kaitannya secara langsung
degan perilaku hidup sehat dan bertanggung jawab.
Penularan melalui transfusi darah sama sekali bukan salah orang yang
menerima transfusi tapi penyedia layanan transfusi. Di Malaysia seorang ibu
rumah tangga guru mengaji tertular HIV melalui transfusi darah di rumah sakit. Perempuan ini menggugat Kerajaan Malaysia
100 juta ringgit (sekitar Rp 250 miliar).
Begitu pula dengan ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya dan
anak-anak yang tertular dari ibunya. Tidak ada kaitan langsung antara perilaku
hidup sehat pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak itu dengan penularan HIV
pada mereka.
Stigma terhadap Odha kian kental karena di pasal 13 disebutkan masyarakat
bertang-gung jawab dalam pencegahan dan penanggulangan HIV dengan cara: a.
berperilaku hidup sehat dan gaya hidup bertang-gung jawab; b. Meningkatkan
ketahanan keluarga. Ini
mengesankan Odha tertular HIV karena gaya hidupnya tidak sehat dan ketahanan
keluarganya rendah. Lagi pula tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV
dengan hidup sehat dan gaya hidup bertanggung jawab.
Selanjut pada ayat c disebutkan ‘mencegah terjadinya diskri-minasi terhadap
ODHA, OHIDHA, dan keluarganya’. Pe-nelitian menunjukkan diskrimnasi terhadap
Odha justru banyak terjadi sarana-sarana pelayanan kesehatan, seperti rumah
sakit.
Sedangkan upaya pencegahan dalam perda pada pasal 6 disebukan dilakukan
secara komprehensif, integratif, partisipatif melalui: a. penyelenggaraan
kewaspadaan umum dalam rangka mencegah terjadinya penularan HIV/AIDS dalam
kegiatan pelayanan kesehatan; b. pemeriksaan HIV/AIDS terhadap semua darah,
produk darah, cairan mani, organ dan jaringan tubuh yang didonorkan; dan c.
Melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan berisiko
tinggi.
Perda ini sama sekali tidak akan bisa meredam laju pertambahan infeks HIV
baru di kalangan dewasa karena tidak menyentuh masalah penularan dan penyebaran
HIV.
Pertama, penyebaran HIV banyak terjadi melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam
atau di luar nikah, dan penggunaan jarum suntik secara bersama dengan
bergantian pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Tapi,
dalam perda yang diatur justru risiko penularan di pelayanan kesehatan. Tanpa perda pun pelayanan kesehatan
otomatis menerapkan kewaspadaan umum.
MATA RANTAI
Kedua, skrining terhadap darah donor sudah dilakukan sejak tahun 1992
berdasarkan Keputusan Menkes RI No 622/1992 yang mewajibkan pemeriksaan HIV
pada darah donor sehingga tidak perlu lagi diatur. Hal yang menarik pada perda ini adalah skrining terhadap
air mani. Apakah di Bulukumba sudah ada bank sperma?
Ketiga, `melaksanakan pemeriksaan tes HIV/AIDS terhadap kelompok rawan dan
berisiko tinggi’ tidak akan menyelesaikan masalah. Jika yang dimaksud kelompok
rawan dan berisiko adalah pekerja seks komersial (PSK), maka ada fakta yang
luput dari perhatian pembuat perda ini. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah
laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar,
duda atau lajang yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasisa, pelajar,
petani, nelayan, dll. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV
antar penduduk. Mereka ini lolos dari tes HIV karena tidak ada mekanisme yang
‘menjerat’ laki-laki yang perilakunya berisiko.
Terkait dengan Ranperda AIDS Sulut ditunda karena pada pasal 13 ayat 2
disebutkan ‘ada kewajiban dari pemilik/pengelola yang terkesan melegitimasi
lokalisasi’. Ini sebuah paradoks. Penanggulangan epidemi HIV, khusunya terkait
dengan perda-perda AIDS, justru mengekor ke Thailand yang dikabarkan berhasil
menekan laju infeksi baru di kalangan laki-laki dewasa melalui program ‘wajib
kondom 100 pesen’ pada hubungan seks di lokasi dan lokalisasi pelacuran. Jika
Perda AIDS Sulut kelak memasukkan program ini maka kalau lokasi dan lokalisasi
pelacuran tidak ada maka program itu tidak bisa dijalankan.
Tanpa ada ‘lokasi atau lokaliasi pelacuran’ pun praktek pelacuran terus
terjadi setiap hari di rumah, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan di
tempat-tempat lain. Praktek pelacuran yang terselubung inilah salah satu mata
rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk. Maka, kalua ditilik
dari aspek kesehatan masyarakat melokalisir pelacuran merupakan salah satu
langkah untuk memutus ‘jembatan’ penyebaran HIV ke masyarakat karena kegiatan
pekerja seks terpantau dan kewajiban memakai kondom dapat diterapkan.
Malaysia lebih maju karena negeri jiran itu menerapkan skrining rutin
terhadap pasien IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melului hubungan seks,
seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.), pengguna narkoba
suntikan, perempuan hamil, polisi, narapidana, dan pasien TB. Skrining khusus
dilakukan terhadap pekerja seks, homoseksual, pelajar dan mahasiswa. Maka,
tidak mengherankan kalau kasus yang sudah terdeteksi di Malaysia mendekat angka
ril. Sedangkan di Indonesia kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil karena
para ahli memperkirakan kasus HIV/AIDS di Indonesia berkisar antara
90.000-120.000.
Menanggulangi penyebaran HIV adalah dengan memutus mata rantai penyebaran
HIV yaitu dengan cara membuat pasal yang berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba
wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah
dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba atau di luar Bulukumba.”
Selanjutnya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV ada pula pasal yang
berbunyi: “Setiap penduduk Bulukumba yang pernah melakukan hubungan seks tanpa
kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK, di Bulukumba
atau di luar Bulukumba wajib menjalani tes HIV.”
Kalau Pemprov Sulut ingin menekan laku pertambahan kasus HIV baru maka
dalam perda kelak harus ada dua pasal itu. (Penulis adalah pemerhati masalah
kesehatan, sekalgius kontributor SKH Swara Kita di Jakarta) ***[AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.