Media Watch (25/11-2012) - Pemerintah
Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, menerbitkan peraturan daerah (perda) tentang
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS melalui Perda No 4 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS tanggal 22 April
2010.
Di wilayah Jawa Timur sendiri
sebelum Perda AIDS Pasuran ini sudah ada Perda AIDS Prov Jawa Timur (No
5/2004), Kota Probolinggo (No 9/2005), Kab Banyuwangi (No 6/2007), Kab Malang
(No 14/2008), dan Kab
Tulungagung (No 25/2010.
Perda-perda itu pun sama sekali
tidak memberikan cara-cara penanggulangan HIV/AIDS yang konkret.
Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS
dilaporkan 488 yang terdiri atas 224 HIV, dan 264 AIDS dengan 84 kematian
tentulah penyebaran HIV/AIDS di wilayah Kab Pasuruan
tidak bisa lagi dipandang dengan sebelah mata. Angka-angka yang dilaporkan ini
pun tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat.
Perda ini pun sama halnya
dengan perda-perda sejenis yang sudah ada hanya copy-paste dari perda
lain. Pasal-pasal yang ada pun hanya bersifat normatif sehingga tidak bisa
diandalkan untuk menanggulangi penyebaran HIV di Kab Pasuran.
Lihat saja di pasal 10 ayat 1:
Kegiatan promosi dilakukan melalui program pemberdayaan masyarakat yaitu: (b)
Peningkatan perubahan perilaku hidup sehat dan religius; dan (c) Peningkatan
dan pemahaman agama dan ketahanan keluarga.
Penularan HIV, terutama melalui
hubungan seksual, tidak terkait langsung dengan ’perilaku hidup sehat dan
religius’, tapi karena hubungan seksual yang tidak aman di dalam atau di luar
nikah. Penularan HIV juga tidak terkait dengan ’pemahaman agama dan ketahauan
keluarga’ karena HIV juga menular melalui cara-cara yang tidak bertentangan
dengan agama dan ketahanan keluarga, seperti melalui transfusi darah, jarum
suntik, cangkok organ tubuh, menyusui ASI, dari suami ke istri, dan dari ibu-ke-anak
yang dikandungnya.
Hubungan seksual yang tidak
aman adalah hubungan seksual yang dilakukan tanpa kondom dengan yang sudah
mengidap HIV/AIDS.
Risiko tertular HIV terjadi
bagi penduduk yang perilakunya berisiko, yaitu:
(1). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Pasuruan, di
luar wilayah Kab Pasuruan atau di luar negeri.
(2) Perempuan dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah,
dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Pasuruan, di
luar wilayah Kab Pasuruan atau di luar negeri.
(3). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti
pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’,
’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’,
’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai
di wilayah Kab Pasuruan, di luar wilayah Kab Pasuruan atau di luar negeri.
Kalau perda ini dirancang
dengan pijakan fakta medis tentang HIV/AIDS, maka yang perlu ditanggulangi
adalah perilaku (a), (b), dan (c). Tapi, karena perda dirancang dengan pijakan
moral, maka pasal-pasal yang ada pun hanya normatif yang tidak bisa bekerja
untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Coba simak pencegahan yang
ditawarkan di pasal 13 ini: Kegiatan pencegahan dilakukan sejalan dengan
kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi, dan edukasi dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS yaitu: (a) Tidak
melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah; (b) Hanya melakukan
hubungan seksual dengan pasangan yang sah.
Penularan HIV melalui hubungan
seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV dan
laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena sifat hubungan seksual (belum
menikah, di luar nikah, zina, melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, dll.).
Pernyataan pada ayat a jelas
merupakan mitos (anggapan yang salah) karena penularan HIV bukan karena sifat
hubungan seksual. Sama halnya dengan ayat b juga mitos karena dengan pasangan
yang sah pun bisa terjadi penularan HIV kalau salah satu dari pasangan itu
mengidap HIV dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Biar pun pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan cara-cara yang rasional oleh
setiap orang, tapi pemerintah selalu mengaitkannya dengan peran serta
masyarakat.
Di pasal 27 ayat 1 disebutkan:
Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan
penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: (a) Berperilaku hidup sehat; (b)
Meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS; (c)
Tidak melakukan diskriminasi dan stigmatisasi terhadap ODHA; dan (d)
Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ODHA dan keluarganya;
Pernyataan pada ayat a jelas
tidak ada kaitannya dengan pencegahan HIV karena penularan HIV tidak terkait
dengan perilaku hidup tidak sehat. Bahkan, orang yang tidak sehat, terutama
yang impoten, tidak berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual.
Begitu pula dengan ayat b, apa
ukuran dan siapa pula yang berhak menakar ketahanan keluarga yang bisa mencegah
penularan HIV?
Pernyataan pada ayat a dan b
justru menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda)
terhadap orang-orang yang mengidap HIV (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) karena
dikesankan mereka tertular HIV karena tidak mempunyai perilaku hidup sehat dan
tidak mempunyai ketahanan keluarga.
Ayat c dan d sama sekali tidak
terkait dengan penyebaran HIV karena lebih dari 90 persen kasus infeksi HIV
justru terjadi tanpa disadari. Artinya, orang-orang yang menularkan HIV dan
yang tertular HIV belum dikenal sehingga tidak akan ada perlakuan stigma dan
diskriminasi terhadap mereka.
Orang-orang yang sudah mengidap
HIV tapi tidak terdeteksi hidup di masyarakat tanpa stigma dan diskriminasi
sehingga kondisinya kondusif.
Lagi pula orang-orang yang
terdeteksi HIV melalui cara-cara yang sesuai dengan standar prosedur operasi
tes HIV sudah berjanji pada dirinya akan menghentikan penularan HIV mulai dari
dirinya. Maka, penyebaran HIV tidak terkait langsung dengan stigma dan
diskriminasi tehadap Odha.
Yang perlu diatur dalam perda
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah intervensi terhadap perilaku,
terutama laki-laki dewasa, pada perilaku berisiko (1) dan (3).
Intervensi ini akan menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki sehingga mencegah penyebaran HIV di
masyarakat. Sayang, perda ini sama sekali tidak melakukan intervensi terhadap
perilaku berisiko. Maka, penyebaran HIV di wilahah Kab Pasuruan pun tinggal
menunggu waktu saja untuk ’panen’ AIDS. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.