Media Watch (18/11-2012) - Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Mimika, Papua, meneerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 11
Tahun 2007 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten
Mimika yang disahkan tanggal 27 November 2007.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab
Mimika dari tahun 1996 hingga September 2012 mencapai 3.190
Perda AIDS Mimika salahsatu dari
64 perda, keputusan gubernur dan peraturan walikota tentang penanggulangan
HIV/AIDS yang sudah ada di Indonesia.
Celakanya, semua perda itu hanya
copy-paste sehingga tidak ada hal-hal baru yang ditonjolkan yang erat kaitannya
dengan penanggulangan HIV/AIDS di tataran realitas sosial. Perda-perda itu
tidak ’membumi’ karena tidak menyentuh akar persoalan.
Lihat saja bunyi pasal 2 di Perda
AIDS Mimika ini: ”Obyek Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS
difokuskan pada semua tempat yang berpotensi terjadi penularan HIV/AIDS dan IMS
di Kabupaten Mimika.”
Penularan HIV, khususnya melalui
hubungan seksual, tidak ada kaitannya secara langsung dengan tempat tapi
perilaku seksual orang per orang.
Di pasal 3 disebutkan: ”Subyek
Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS dan IMS adalah seluruh masyarakat
terutama kelompok mesyarakat yang rentan berperilaku resiko tinggi untuk
penularan HIV/AIDS dan IMS di Kabupaten Mimika.”
Pasal ini menyamaratakan perilaku
semua orang di Mimika. Padahal, tidak semua orang penduduk Kab Mimika
berperilaku seksual yang berisiko tertular HIV.
Perilaku seksual yang berisiko
tertular HIV adalah:
(a). Laki-laki dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Mimika, di luar
wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.
(b) Perempuan dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan
laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Mimika, di luar
wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.
(c). Laki-laki dewasa yang pernah
atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti
pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’,
’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’,
’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai
di wilayah Kab Mimika, di luar wilayah Kab Mimika atau di luar negeri.
Karena subjek dan objek yang
disasar perda ini tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV, maka sudah
bisa dipastikan hasil perda ini nol besar. Insiden penularan HIV baru, terutama
di kalangan laki-laki dewasa, akan terus terjadi karena tidak ada intervensi
yang konkret dalam perda itu terkait dengan pencegahan penularan HIV melalui
hubungan seksual berisiko.
Simak saja pada bagian pencegahan
dan penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda ini. Di pasal 5 ayat 1 disebutkan:
Pencegahan HIV/AIDS dan IMS dapat dilakukan melalui cara: a. Tidak malakukan
hubungan seksual secara menyimpang; b. Setia pada satu pasangan; c. Menggunakan
kondom pada setiap kontak seksual yang berisiko tertular HIV/AIDS dan IMS.
Bunyi pasal 5 ayat 1 huruf a itu
menunjukkan perda ini dibuat dengan pijakan moral dengan mengabaikan fakta.
Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual
(salah satu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap sanggama) bukan
karena sifat hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, ’seks bebas’,
’seks menyimpang’, dll.). Maka, pasal 5 ayat 1 huruf a itu tidak membumi
sehingga tidak menyentuh akar persoalan.
Pasal 5 ayat 1 huruf b juga tidak
akurat karena banyak laki-laki ’hidung belang’ yang tidak berganti-ganti
pasangan ketika ’jajan’ ke pekerja seks komersial (PSK). Mereka merasa tidak
berisiko tertular HIV karena mereka melakukan hubungan seksual dengan satu PSK
setiap mereka ’jajan’.
Itu terjadi karena informasi yang
disebarluaskan selama ini tidak komprehensif. Seorang laki-laki berisiko
tertular HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah
jika dilakukan tanpa kondom dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan
perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria.
Begitu pula dengan pasal 5 ayat 1
huruf c ”Menggunakan kondom pada setiap kontak seksual yang berisiko tertular
HIV/AIDS dan IMS” tidak membumi.
Pertanyaannya adalah: Bagaimana
cara yang akan dilakukan Pemkab Mimika untuk mengawai pemakaian kondom pada
kontak seksual yang berisiko tertular HIV dan IMS?
Salah satu perilaku yang berisiko
tertular HIV terkait dengan hubugan seksual adalah hubungan seksual tanpa
kondom dengan PSK. Kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual dengan PSK
berhasil menekan laju infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa di Thailand.
Caranya? Pemerintah Thailand
melokalisir pelacuran sebagai bentuk dari regulasi bukan legalisasi dengan
memberikan izin usaha bagi germo atau mucikari. Artinya, germo yang tidak
mengantongi izin usaha tidak boleh menjalankan kegiatan pelacuran.
Di lokalisasi pelacuran dan rumah
bordir dijalankan program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan PSK. Secara rutin dilakukan survailans tes
IMS (sifilis, GO, klamidia, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi
mengidap IMS itu membuktikan ada laki-laki yang tidak memakai kondom ketika
sanggama dengan PSK.
Pemerintah Thailand
memberikan sanksi hukum kepada germo yang kedapatan mempunyai PSK yang mengidap
IMS. Jika laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK juga mengidap HIV maka ada
kemungkinan juga terjadi penularan HIV sekaligus.
Cara ini konkret sehingga berhasil. Berbeda dengan di Indonesia, seperti
yang sudah dilakukan di Kab Merauke, Papua. Yang kena sanksi hukum adalah PSK.
Satu PSK ditangkap dan dikurung di penjara puluhan PSK ’baru’ akan menggantikan
posisi PSK tadi.
Selain itu laki-laki yang menularkan IMS atau HIV kepada PSK itu menjadi
mata rantai penyebaran IMS da HIV di masyarakat. Inilah yang terjadi di
Merauke.
Dalam perda itu di pasal 5 ayat 2 ada pula upaya penyelenggaraan
komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) untuk: a. Meningkatkan perilaku sehat
dan bertanggungjawab; b. Penggunaan kondom 100% bagi semua pekeja seks dan
pelanggannya serta ODHA dan pasangannya.
Lagi-lagi perda ini mengumbar mitos (anggapan yang salah). Penularan
HIV melalui hubungan seksual tidak ada kaitannya secara langsung dengan
perilaku sehat dan bertanggung jawab. Pasal ini mengesankan orang-orang yang
tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan tidak bertanggung jawab. Ini
mendorong stigma (cap buruk) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Sedangkan pasal 5 ayat 2 huruf b
tidak akan jalan jika tidak diterapkan seperti yang dilakukan oleh Thailand.
Memang, di pasal 8 ayat 1 dan 2 ada kewajiban memakai kondom, tapi tidak ada
mekanisme pengawan yang konkret seperti di Thailand.
Penyebaran HIV akan terus terjadi
di Kab Mimika karena perda yang ada hanya menjadikan PSK sebagai ’sasaran
tembak’. Pasal 9 menyasar PSK, pengelola bar, dll. Pasal 10 menyasar Odha
artinya orang yang sudah mengidap HIV, dan pasal 11 terhadap remaja.
Pasal-pasal ini sama sekali tidak menyetuh laki-laki ’hidung belang’ sebagai
mata rantai penyebaran HIV.
Untuk menanggulangi penyebaran
HIV informasi yang perlu disampaikan ke masyarakat adalah cara-cara penularan
dan pencegahan HIV yang konkret. Tapi, ini sama sekali tidak ada dalam perda.
Maka, penyebaran HIV akan terus terjadi di Kab Mimika. Tinggal menunggu waktu
saja karena kasus-kasus yang terjadi akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di
masa yang akan datang. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.