14 November 2012

Perda AIDS Kab Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah



Media Watch (15/11-2012) – Hanya 22 hari setelah Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2011 tanggal 15 Desember 2011 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kotawaringin Barat pun menelurkan Perda No 2 Tahun 2012 tanggal 25 Januari 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS dan IMS.

Korawaringin Barat merupakan salah satu kabupaten di Kalteng. Kalau saja yang merancang Perda AIDS Kotawaringin Barat mengacu ke Perda AIDS Prov Kalteng tentulah perda itu jauh lebih baik, tapi yang terjadi tidak lebih baik karena hanya sebatas copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.

Lihat saja tentang peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS.

Di Perda AIDS Kalteng disebutkan pada pasal  26:

(1) Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ialah:

a. berperilaku hidup sehat;

b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS;

c. tidak melakukan stigmanisasi dan diskriminasi terhadap ODHA;

d. menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ODHA dan keluarganya;

e. terlibat dalam kegiatan kampanye, pencegahan, pengobatan, serta perawatan dan dukungan.

(2) peran serta masyarakat terutama dari sektor swasta dalam mendukung program/kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dibawah koordinasi KPA.

(3) peran serta LSM, kelompok kerja (Pokja) swadaya masyarakat dibidang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.

Sedangkan di Perda AIDS Kotawaringin Barat pada pasal 11 disebutkan:

(1) Masyarakat bertanggungjawab untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan cara:

a. berperilaku hidup sehat;

b. meningkatkan ketahanan keluarga;

c. mencegah terjadinya diskriminasi terhadap ODHA,OHIDHA dan keluarganya;
d. menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi ODHA, OHIDHA, dan keluarganya;

e. aktif dalam kegiatan promosi, perawatan, dukungan, pengobatan, dan pendampingan terhadap ODHA dan OHIDHA.

(2) Pemerintah Daerah mendorong, membina, dan memfasilitasi peran serta masyarakat.

Pasal 26 ayat 1 huruf a dan b pada Perda AIDS Kalteng dan pasal 11 ayat huruf a dan b pada Perda AIDS Kotawaringin Barat sama persis. Pasal ini mendorong masyarakat untuk melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS karena melalui pasal itu dikesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan tidak mempunyai ketahanan keluarga.

Yang diperlukan dalam perda adalah langkah yang konkret berupa intervensi, terutama pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial di lokalisasi pelacuran.

Persoalannya adalah Pemkab Kotawaringin Barat tidak melokalisir pelacuran sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Tapi, di pasal 4 ayat b disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui meningkatkan penggunaan kondom pada setiap hubungan seks beresiko.”

Pertanyaannya:

(1) Di mana (saja) terjadi hubungan seks beresiko?

(2) Bagaimana Pemkab Kotawaringin Barat mengawasi pemakaian kondom pada setiap hubungan seks beresiko?

Hubungan seksual berisiko adalah:

(a) Dilakukan tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti.

(b) Dilakukan tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), waria dan pelaku kawin-cerai.

(c) Dilakukan tanpa kondom dengan pasangan sejenis (gay pada homoseksual dan laki-laki heteroseksual pada lelaki suka seks lelaki).

Yang bisa dipantau hanya huruf (b) jika PSK dilolisir melalui regulasi. Germo atau mucikari diberikan izin usaha sebabai pintu masuk untuk menerapkan sanksi denda atau pidana.

Program ”wajib kondom 100 persen” bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran di Thailand berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru.

Di pasal 4 ayat d disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui pengurangan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak.”

Pertanyaannya: Apakah dalam Perda AIDS Kotawaringin Barat ada langkah konkret yang sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?

Tidak ada!

Maka, Pemkab Kotawarngin Barat harus menunggu ada dulu perempuan hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS baru program ”pengurangan resiko penularan HIV dan AIDS dari ibu ke anak” dijalankan.

Pada bagian penanggulangan yang dilakukan adalah langkah di hilir, al. menyediakan sarana, perawatan, dan pengobatan terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) serta perlindungan terhadap Odha dan Ohida. Ini artinya Pemkab Kotawaringin Barat menunggu dulu ada penduduknya yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS baru ditangani.

Pada bagian kewajiban di pasal 8 ayat 6 disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi orang lain dengan melakukan upaya pencegahan.”

Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV/AIDS justru tidak diketahui karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Ini terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS.

Kalau saja perda ini dirancang dengan pijakan fakta (medis), maka pasal 8 ayat 6 berbunyi: ”Setiap orang yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang tidak diketahui status HIV-nya wajib memakai kondom sebagai upaya pencegahan.”

Soalnya, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV yang sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku sudah berjanji akan menghentikan penyebaran HIV mulai dari dirinya.

Begitu pula dengan pasal 8 ayat 7: ”Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang padahal diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan atau pasangannya mengidap HIV dan AIDS wajib melindungi pasangannya dengan menggunakan kondom.”

Status HIV seseorang tidak bisa diduga-duga. Maka, bunyi pasdal 8 ayat 7 yang komprehensif adalah: ”Setiap orang yang bersetubuh dengan seseorang yang tidak diketahui status HIV-nya wajib memakai kondom.”

Kewajiban memakai kondom hanya bisa diterapkan pada hubungan seksual antara laki-laki dan PSK di lokalisasi pelacuran. Jika tidak ada lokalisasi pelacuran maka pencegahan dengan kondom tidak akan efektif.

Praktek pelacuran yang terjadi di sembarang tempat, seperti rumah, kos-kosan, kontrakan, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang tidak bisa diawasi sehingga program wajib kondom tidak bisa dijalankan.

Maka, biar pun ada perda penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga menunjukkan suami mereka melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. melacur tanpa kondom dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung di sembarang tempat.

Pemkab Kotawaringin Barat tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.