Media Watch (21/11-2012) –
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng menerbitkan
Peratuaran Daerah (Perda) No 5 Tahun 2007 yang disahkan tanggal 25 September
2007 tentang Penanggulangan HIV/AIDS. Perda ini merupakan yang ke-20 dari 64
perda sejenis di Indonesia
dan yang ke-3 dari 7 Perda AIDS di Bali.
Biar
pun di Buleleng ada lokasi atau praktek pelacuran, tapi dalam perda ini sama
sekali tidak ada pasal yang menyebutkan pencegahan penularan HIV/AIDS dengan
kondom pada laki-laki yang melacur.
Yang
ada hanya di bagian penjelasan pasal 7. Pasal 7 berbunyi: “Setiap orang yang
telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya
dengan melakukan pencegahan.” Dalam penjelasan pasal 7 disebutkan: “Upaya pencegahan
antara lain dengan cara: tidak melakukan hubungan seksual (abstinensia)
atau dengan memakai kondom atau tidak melakukan hubungan seksual yang
penetratif.”
Persoalan
besar dalam epidemi HIV adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular
HIV. Penularan HIV pun lebih dari 90 persen terjadi tanpa disadari. Penyebaran
HIV secara horizontal antar penduduk terjadi melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam atau di luar nikah. Dalam kaitan ini laki-laki menjadi mata
rantai penyebaran HIV.
Pertama, laki-laki, penduduk
lokal atau pendatang, yang sudah mengidap HIV menularkan HIV kepada PSK,
istrinya atau pasangan seksnya yang lain melalui hubungan seks tanpa kondom di
dalam atau di luar nikah. Laki-laki ini menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kedua, PSK yang sudah
tertular HIV akan menularkan HIV kepada laki-laki, penduduk lokal atau
pendatang, yang mengencaninya tanpa kondom. Laki-laki yang tertular HIV dari
PSK akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula. Semua terjadi tanpa disadari
karena laki-laki yang sudah mengidap HIV tadi tidak menyadarinya.
Kapan,
sih, seseorang berisiko tertular HIV? Setiap orang, laki-laki dan
perempuan, yang berisiko tinggi tertular HIV jika pernah atau sering melakukan
hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang
berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), atau
dengan yang sering berganti-ganti pasangan, sepreti PSK langsung (PSK di
lokalisasi atau lokasi pelacuran) dan PSK tidak langsung (karyawati bar, panti
pijat, ’cewek anak sekolahan’, ’cewek kampus’, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku
kawin cerai. Ini disebut sebagai perilaku berisiko tinggi tertular HIV.
Di
pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko
wajib melakukan upaya pencegahan.“
Pasal
ini normatif karena memakai kata-kata yang konotatif. Apa yang dimaksud dengan
pencegahan? Sedangkan hubungan seksual berisiko dalam penjelasan disebutkan
sebagai ’setiap hubungan seksual yang dilakukan antar orang dalam kelompok
rentan, kelompok beresiko, dan kelompok tertular.’
Penjelasan
ini tidak akurat karena resiko penularan HIV tidak hanya terjadi pada kelompok
rentan, kelompok berisiko, dan kelompok tertular. Penularan HIV bisa terjadi
pada setiap orang yang melakukan perilaku berisiko kapan saja, dan di mana
saja.
Di
bagian peran serta masyarakat pada pasal 20 disebutkan: ”Masyarakat memiliki
kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan penanggulangan
HIV/AIDS dengan cara: a. berperilaku hidup sehat; b. meningkatkan ketahanan
keluarga untuk mencegah penularan HIV/AIDS.”
Ini
juga normatif dan moralistis karena ayat a dan b justru tidak ada kaitannya
secara langsung dengan penularan HIV. Pasal ini akan mendorong masyarakat
melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan)
terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Lagi-lagi
kita berlindung di balik slogan yang tidak membumi hanya untuk menutupi
realitas sosial terkait perilaku seks sebagian laki-laki yang gemar melacur
tanpa kondom. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.