Tanggapan Berita (8/11-2012) – “Kepala
Dinkes Banjarmasin, drg Diah R Praswati kepada wartawan di Banjarmasin, Selasa
mengaku risau kian merebaknya penyakit Aids karena itu diperlukan upaya
menanggal kian meluasnya penyakit itu.” Ini pernyataan di berita “Dinkes Minta Perda Aids Ditegakan” (kalsel.antaranews.com,
6/11-2012).
Pertanyaannya
adalah: Apakah dalam Perda AIDS Kota Banjarmasin, Prov Kalimantan Selatan
(Kalsel) ada pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kota
Banjarmasin?
Tidak
ada! (Lihat: Perda AIDS Kota
Banjarmasin, Kalimantan Selatan - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-banjarmasin-kalimantan.html).
Perda
AIDS Kota Banjarmasin ini sama saja dengan perda-perda sejenis yang sudah ada
di Indonesia. Semua dirancang dengan pijakan moral dengan mengabaikan realitas
sosial terkait dengan perilaku berisiko, al. praktek pelacuran.
Salah
satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS adalah praktek pelacuran yang
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Pemkot
Banjarmasin boleh-boleh saja berkoar-koar: Di Kota Banjarmasin tidak ada
pelacuran!
Itu
benar, tapi tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran, sedangkan
praktek pelacuran tetap saja terjadi di banyak tempat. Padahal, dalam perda
disebut ada “Tempat Hiburan atau Sejenisnya yang kegiatannya berisiko menyebarkan HIV” (pasal 26 ayat
2).
Secara tersirat pernyataan itu
menunjukkan ada transaksi seks, tapi tidak ada langkah yang konkret untuk
mencegah penularan HIV/AIDS di “Tempat Hiburan atau Sejenisnya yang kegiatannya berisiko menyebarkan HIV” tsb.
Dikabarkan:
Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin meminta semua pihak yang terkait untuk
menegakan peraturan daerah (Perda) tentang Aids guna mencegah kian merebaknya
penyakit tersebut.
Jika
hanya mengandalkan perda tsb. maka tidak ada langkah konkret yang bisa
dilakukan utuk “mencegah kian merebaknya penyakit tersebut.”
Transaksi
seks terjadi di sembarang tempat yang tidak bisa dijangkau sehingga upaya-upaya
untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki ‘hidung belang’ yang
melacur tidak bisa dilakukan.
Maka,
ada laki-laki dewasa penduduk Kota Banjarmasin yang menularkan HIV kepada “Pekerja tempat hiburan atau sejenisnya” dan ada pula
laki-laki dewasa penduduk Kota Banjarmasin yang tertular HIV dari “Pekerja tempat hiburan atau sejenisnya” (Lihat Gambar 1).
Disebutkan
enam bulan lalu kasus kumulatif HIV/AIDS
di Kota Banjarmasin 33, sekarang 107. Angka
kasus HIV/AIDS akan terus bertambah seiring dengan jumlah kasus baru yang
terdeteksi. Ini terjadi karena pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan
dengan cara kumulatif yaitu kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya
sehingga angka laporan tidak akan pernah turun biar pun banyak penderitanya
yang meninggal.
Disebutkan
bahawa “Ini (kasus HIV/AIDS-pen.) sudah sangat mengkhawatirkan, sebab dalam
kasus Aids, satu orang diketahui mengidap, maka akan ada seratus orang lagi
yang diduga sudah tertular.”
Justru
yang mengkhawatirkan adalah Pemkot Banjarmasin tidak mempunyai program yang
konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual
antara laki-laki dewasa dan “Pekerja tempat
hiburan atau sejenisnya”.
Ada
pula pernyataan: “ …. sebab dalam kasus Aids, satu orang diketahui mengidap,
maka akan ada seratus orang lagi yang diduga sudah tertular.”
“Rumus”
itu tidak bisa dipakai secara telanjang karena harus ada faktor-faktor lain dan
hanya dipakai untuk keperluan epidemiologi, seperti perencanaan penanggulangan,
penyediaan obat, dll. Faktor yang bisa mendukung ‘rumus’ itu adalah: tingkat
pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah, dll.
Kalau ‘rumus’ itu dipakai di Kota Banjarmasin maka secara tidak langsung
Pemkot Banjarmasin mengakui pelacuran tinggi di kota itu.
Disebutkan
pula; “Oleh karena itu, kata dia, sudah bisa dibayangkan kalau sudah tercatat
107 kasus yang diketahui, berarti sudah ribuan orang yang harus diwaspadai juga
terjangkit penyakit tersebut.”
Penyebaran
HIV/AIDS memang erat kaitannya dengan fenomena gunung es, yaitu kasus yang
terdeteksi (107) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas
permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat
digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Tapi, tidak ada rumus yang pasti tentang jumlah kasus yang tidak terdeteksi
berdasarkan kasus yang terdeteksi.
Disebutkan
bahwa Pemkot sendiri melalui Komisi penanggulangan Aids (KPA) yang diketuai
Wali Kota Banjarmasin, Haji Muhidin, juga kian ketat melakukan pengawasan,
terutama ke lokasi dimana diduga berjangkitnya penyakit yang mengkhawatirkan
berbagai negara di dunia.
Apa
bentuk pengawasan yang dilakukan KPA untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di
“lokasi dimana diduga berjangkitnya penyakit”?
Sayang,
dalam berita tidak dijelaskan langkah yang konkret. Bahkan, dalam perda pun
sama sekali tidak ada langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi
penyebaran HIV, terutama melalui pelacuran.
Hal
lain yang tidak ada adalam perda tsb. adalah upaya untuk mendeteksi kasus
HIV/AIDS pada perempuan hamil sehingga program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang
dikandungnya tidak efektif. Ini akan mendorong kasus HIV/AIDS pada bayi.
Langkah
itu perlu karena kian banyak istri yang tertular HIV dari suami. Tapi, Pemkot
Banjarmasin mengabaikan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga
dengan tidak membuat intervensi terhadap laki-laki yang melacur dengan program
yang konkret.
Maka,
Pemkot Banjarmasin tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.