Tanggapan Berita (23/11-2012) – “Upaya
LSM yang peduli dengan penanggulangan HIV/AIDS di Pati (Jawa Tengah-pen.), kini
menghadapi kendala yang serius, dalam upaya pencegahan. Karena kesadaran Wanita
Pekerja Seks (WPS) untuk menjalani test penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS),
masih rendah.” Ini lead berita
“Pencegahan HIV/AIDS di Pati, Terkendala
Minimnya Kesadaran WPS Periksa IMS” (pasfmpati.com,
9/11-2012).
Kasus
kumulatif HIV/AIDS di Kabupaten Pati yang terdeteksi sejak tahun 1996 sampai
sekarang 354 dengan 56 kematian.
Pernyataan
ini memakai sudut pandang laki-laki sehingga bias gender. IMS pada pekerja seks
komersial (PSK), bukan WPS, justru ditularkan oleh laki-laki dewasa, penduduk
Pati, asli atau pendatang.
Maka,
persoalan bukan pada PSK, tapi pada laki-laki yang menularkan IMS bahkan bisa
sekaligus HIV/AIDS kalau laki-laki itu mengidap HIV/AIDS. Lalu, ada pula
laki-laki yang tertular IMS, bahkan bisa HIV/AIDS sekaligus, dari PSK yang
mengidap IMS dan HIV/AIDS.
Kalau
saja laki-laki ‘hidung belang’ selalu memakai kondom jika sanggama dengan PSK,
maka salah satu persoalan yaitu risiko menularkan dan tertular IMS atau HIV
atau dua-duanya sekaligus bisa diatasi.
Maka,
kalau saja LSM itu memakai perspektif dalam melihat realitas sosial, maka
persoalan tidak hanya ditimpakan kepada PSK tapi juga terhadap laki-laki
’hidung belang’.
Disebutkan:“Kesadaran
WPS yang beresiko besar terjangkiti HIV/AIDS di Pati, untuk memeriksakan diri
terhadap penyakit IMS, masih perlu didorong. Sehingga akan memudahkan,
pihak-pihak yang peduli dengan penanggulangan terhadap sindrome yang menyerang
kekebalan tubuh.”
Mengapa LSM itu tidak membalik
paradigma berpikir? Pakai, dong, perspektif. Justru LSM itu diharapkan
mendorong laki-laki ’hidung belang’ untuk tes IMS dan tes HIV, bukan hanya PSK.
Soalnya, biar pun PSK yang mengidap IMS
diobati, kalau laki-laki ’hidung belang’ mengidap IMS maka PSK itu tetap saja
berisiko tertular IMS.
Pernyataan penggiat LSM Sahabat Pantura (SAPA) Pati, Sinarto, ini menunjukkan paradigmanya memakai sudut pandang laki-laki: ” .... selama ini upaya penanggulangan HIV/AIDS, terbentur dengan kemauan dan kesadaran dari orang-orang yang beresiko tinggi tertular virus berbahaya itu. Seperti WPS penghuni lokalisasi.”
Lalu,
apakah laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom kalau sanggama
dengan PSK tidak berisiko menularkan dan tertular IMS dan HIV/AIDS?
Menurut
Sinarto, penularan HIV/AIDS di wilayah Kabupaten Pati, terbesar melalui trans
(hubungan) seksual baik secara illegal maupun legal. Namun secara kuantitas, penderitanya, lebih banyak dari mereka yang suka
bergonta-ganti pasangan dalam hubungan seksual.
Wah, apa pula yang dimaksud Sinarto
dengan ”trans (hubungan) seksual baik secara illegal maupun legal”?
Rupanya, yang dimaksud Sinarto dengan
legal adalah hubungan seksual suami-istri.
Penularan IMS atau HIV atau dua-duanya
sekaligus melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual
(salah satu mengidap IMS dan HIV/AIDS, laki-laki tidak memakai kondom setiap
sanggama), bukan karena sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks ilegal,
dll.).
Masih menurut Sinarto: ” ....
Jadi kita tetap mengedepankan sosialisasi secara kontinyu, yang melibatkan
semua pihak. Tidak hanya Dinas Kesehatan, dan lembaga-lembaga yang konsentrasi
dengan issue HIV/AIDS.”
Selama tidak ada program yang konkret
di lokasi pelacuran yaitu regulasi yang mewajibkan laki-laki memakai kondom
ketika sanggama dengan PSK, maka selama itu pula penyebaran IMS dan HIV/AIDS di
Pati akan terus terjadi. Muaranya kelak adalah ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.