* Dimuat di Harian
"Swara Kita", Manado, 12 Mei 2008
Oleh Syaiful
W Harahap**
Opini (26/11-2012) - “HIV/AIDS,
Sejumlah Rumah Sakit Krisis Ketersediaan Obat.” Itulah judul berita di
sebuah harian Ibu Kota (12/4-2008). Fakta ini menunjukkan ada gelombang baru
yang menghadang upaya penanggulangan epidemi HIV di Tanah Air. Sekarang pemerintah pusat dan daerah
dengan dukungan dana dana dari donor cenderung mengutamakan pengobatan terhadap
Odha (Orang dengan HIV/AIDS). Terapi adalah penanggulangan di hilir, sedangkan
pencegahan merupakan penanggulangan di hulu.
Walaupun tidak menyembuhkan, tapi kehadiran obat anti-retroviral (ARV)
membawa berkah bagi orang-orang yang tertular HIV yang telah mencapai masa
AIDS. Obat ini berguna untuk menekan perkembangan HIV di dalam darah sehingga
kerusakan sel-sel darah putih dapat ditekan. Selain dapat meningkatkan kualitas
hidup para Odha obat ini pun secara tidak langsung menekan penularan karena
jumlah virus kian sedikit.
Pada awalnya harga obat ini Rp 8 juta untuk konsusmi satu bulan. Belakangan
berkat regulasi pajak harga turun hingga Rp 800.000. Harga obat ARV produk
dalam neger Rp 300.000 per paket untuk satu bulan. Sekarang obat ini gratis
karena ada dana hibah dari donor luar negeri. Masalah yang lebih besar akan
muncul ketika tidak ada lagi donor. Jika dana untuk pengadaan ARV dialokasikan
dari APBN atau APBD tentulah akan menimbulkan persoalan baru karena anggaran
kesehatan yang terbatas. Dana yang besar juga diperlukan untuk menanggulangi
epidemi penyakit menular, seperti TB, flu burung, malaria, demam berdarah, dll.
Krisis ketersediaan obat ARV ini meningkatkan resistensi terhadap ARV
karena pemakaian obat terputus dan Odha pun tidak bisa lagi memakai obat sesuai
dengan anjuran. Jika terjadi resistensi terhadap ARV maka obat pun harus
diganti. Ini berdampak pula pada harga obat.
Mengusung Mitos
Jika pemerintah pusat dan daerah tetap memaksakan anggaran khusus untuk
sektor HIV/AIDS maka dikhawatirkan akan menimbulkan gejolak karena mengesankan
pemerintah hanya memper-hatikan HIV/AIDS. Apalagi penyakit ini selalu
dibenturkan dengan norma, moral, dan agama sehingga ada anggapan penularan
penyakit ini erat kaitannya dengan perilaku (yang tidak baik).
Anggapan di atas memang salah tapi tetap saja berkembang karena tidak ada upaya untuk memupusnya. Belakangan ini ada gejala baru yaitu perlombaan membuat peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan AIDS. Perda AIDS sudah ada di 39 daerah di tingakt provinsi, kabupaten, dan kota. Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang ditawarkan perda-perda itu tetap saja mengusung mitos.
Perda AIDS Prov. Riau, misalnya, menyebutkan cara mencegah penularan HIV
dengan “meningkatkan iman dan taqwa”. Bagai-mana menakar kadar iman dan taqwa
yang bisa mencegah penularan HIV? Bagaimana pula iman dan taqwa mencegah
penularan HIV melalui transfusi darah? Hal ini juga akan menyuburkan stigma dan
diskriminasi karena ada anggapan orang-orang yang tertular HIV karena tidak
beriman dan tidak bertaqwa. Di perda lain disebutkan untuk mencegah penularan
HIV adalah jangan melakukan seks menyimpang, jangan melakukan hubungan seks
dengan yang bukan istri.
Dengan 11.141 kasus AIDS, diperkirakan sebagian besar sudah memakai obat
ARV, diperlukan banyak obat. Angka ini akan terus bertambah karena ada 6.066
kasus HIV yang kelak akan mencapai masa AIDS. Kalangan ahli memperkirakan kasus
HIV/AIDS di Indonesia antara 90.000-130.000. Kalau diambil rata-rata maka ada
110.000 penduduk Indonesia yang akan memerlukan obat ARV dan perawatan serta
pengobatan di rumah sakit.
Angka di atas akan terus bertambah karena banyak orang yang tidak menyadari
perilakunya berisiko tinggi tertular HIV. Mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan: (a) yang
sering atau pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar
nikah dengan pasangan yang berganti-ganti karena ada kemungkinan salah satu
dari pasangan itu HIV-positif, (b) yang sering atau pernah melakukan hubungan
seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, karena ada kemungkinan salah
satu dari pekerja seks itu HIV-positif.
Penularan Diam-diam
Dengan kasus AIDS yang dilaporkan saja yaitu 11.141 dana untuk membeli ARV
setiap bulan mencapai Rp 8.912.800.000 dengan catatan harga Rp 800.000. Jika
kasus pada angka 110.000 maka dana yang diperlukan mencapai Rp 88 miliar per
bulan. Angka itu belum termasuk biaya pengobatan (obat, dokter, dan rumah
sakit) untuk penyakit-penyakit infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS.
Bagi yang mampu tidak ada masalah, namun bagi yang tidak mampu tentulah akan
menjadi beban. Kalau kemudian pemerintah mengatasinya dengan asuransi kesehatan
untuk rakyat miskin maka dana yang diperkukan untuk mengobati Odha pun akan
membengkak pula.
HIV/AIDS merupakan epidemi yang harus ditanggulangi karena terkait dengan kesehatan masyarakat maka semua Odha memperoleh ARV gratis. Untuk jangka panjang perlu dipikirkan untuk menerapkan subsidi silang karena jika tidak ada lagi dana hibah dari donor tentulah pemerintah akan kelabakan menyediakan biaya untuk pembelian obat ARV.
Pemberian ARV merupakan upaya penanggulangan di sektor hilir. Karena
penularan HIV terjadi secara diam-diam tanpa disadari maka kasus penularan HIV
akan terus bertambah. Ini terjadi karena banyak orang yang tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada
fisik. Akibatnya, mereka pun menularkan HIV kepada orang lain tanpa mereka
sadari. Antara lain melalui hubungan seks tanpa kodom di dalam dan di luar
nikah, serta melalui jarum suntik yang dipakai bergantian pada pe-nyalahguna
narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Ada pula yang menularkan HIV
kepada pekerja seks. Pekerja seks yang tertular kemudian menularkan HIV kepada
laki-laki yang datang mengencaninya tanpa memakai kondom.
Banyak kasus HIV/AIDS di Indonesia terdeteksi sudah pada masa AIDS. Ini
menunjukkan sebelum terdeteksi mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain
yaitu pada kurun waktu antara 5-10 sejak mereka tertular HIV. Inilah mata
rantai penyebaran HIV yang merupakan sektor hilir pada epidemi HIV. Tapi, hal
ini tidak menjadi perhatian utama dalam penanggulangan HIV/AIDS saat ini.
Penduduk yang sudah tertular HIV tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV.
Kalau di sektor hulu tidak ada upaya yang konkret untuk mencegah penularan
HIV maka kasus AIDS akan terus bertambah. Ini artinya beban pemerintah untuk
menyediakan obat ARV gratis pun akan melonjak pula. Pengeluaran masyarakat
untuk berobat, khususnya keluarga Odha, pun meningkat pula karena pada masa
AIDS Odha akan memerlukan pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
Kelak kalau dana hibah dari donor asing tidak ada lagi maka APBN dan APBD
pun akan digerogoti untuk membeli atau menyubsidi ARV dan memberikan dana
bantuan pengobatan bagi pasien Odha yang miskin.
Akankah kita menunggu kondisi itu atau sejak hari ini kita menyingsingkan lengan baju menyebarluaskan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS agar masyarakat bisa melindingi diri secara aktif agar tidak tertular HIV. Pilihan ada di tangan kita. (**Penulis adalah koresponden khusus kesehatan Harian ”Swara Kita” di Jakarta). ***[AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.