Catatan: Menyambut Hari AIDS
Sedunia tanggal 1 Desember 2012 tulisan ini dimuat untuk memberikan gambaran
terkait dengan (nasib) anak-anak yang yatim-piatu karena orang tuanya mAeninggal
karena penyakit terkait HIV/AIDS. Soalnya,
belum ada program pemerintah yang konkret untuk menangani anak-anak ini. Redaksi
Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati Masalah HIV/AIDS dan
Penulis Buku "Pers Meliput AIDS"] dan “Kapan Anda Harus
Tes HIV“]
Jakarta, 22 Agustus 2009 - Epidemi HIV membawa
dampak langsung terhadap kehidupan. Orang tua yang tertular HIV akan
meninggalkan anak-anaknya sebagai anak yatim-piatu, baik karena kematian maupun
karena ditelantarkan. Lebih dari 90% infeksi HIV pada anak-anak tertular dari ibunya
(mother-to-child-transmission/MTCT). Setiap tahun diperkirakan hampir 600.000
bayi, atau lebih dari 1.600 setiap hari, lahir dari ibu yang HIV-postif
Sejak awal epidemi tahun 1981
sampai akhir 2001 HIV/AIDS sudah ‘meninggalkan’ 14 juta anak-anak yatim-piatu
di bawah usia 15 tahun di seluruh dunia karena kehilangan ibu atau ayah atau
kedua-duanya yang meninggal karena terkait AIDS. Diperkirakan 80% (11 juta)
dari anak-anak yatim-piatu ini terdapat di Afrika sub-Sahara, sedangkan di Asia
Selatan dan Asia Tenggara diperkirakan ada 1,8 juta anak yatim-piatu, di Asia
Timur dan Pasifik 85.000.
Angka-angka ini akan terus
bertambah karena kalau salah satu orang tuanya tertular HIV maka kemungkinan
besar yang satu lagi akan terinfeksi karena sering terjadi mereka tidak
menyadari dirinya tertular HIV sehingga tetap melakukan hubungan seks yang
tidak aman (tidak memakai kondom).
Sebelum epidemi HIV hanya 2%
anak-anak di dunia berkembang yang menjadi anak yatim-piatu. Tetapi, sejak
epidemi HIV proporsi anak yang hanya beribu atau berayah menanjak sampai 7% di
beberapa negara di Afrika, bahkan beberapa kasus menunjukkan peningkatan sampai
11%.
Epidemi HIV di banyak negara
membuat semakin banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu. Di kawasan pedesaan
di Afrika timur empat dari sepuluh anak-anak yang kehilangan orang tua karena
AIDS menjadi anak yatim sebelum usia 15 tahun. Tahun 1997 saja sekitar 1,6 juta
anak-anak di dunia menjadi yatim piatu karena salah satu atau kedua orang
tuanya meninggal karena AIDS. Hampir 90% di antaranya terdapat di Afrika
sub-Sahara.
Wanita Hamil
Sejak awal epidemi HIV
diperkirakan 3,8 juta anak-anak meninggal karena AIDS sebelum mencapai usia 15
tahun. Tahun 1999 saja diperkirakan setengah juta anak-anak meninggal karena
AIDS. Sekitar 1,3 juta anak-anak yang lain saat ini hidup dengan HIV/AIDS dan
sebagian besar di antara mereka diperkirakan akan meninggal dunia sebelum
mencapai usia remaja.
Sampai akhir 2001 jumlah
kumulatif wanita yang terinfeksi HIV secara global mencapai 18,5 juta, hampir 5
juta di antaranya sudah meninggal karena AIDS. Dari jumlah itu 90% hidup di
negara berkembang. Peningkatan kasus infeksi HIV pada wanita tidak hanya
terjadi di negara berkembang tetapi juga terjadi di negara maju. Di Prancis,
misalnya, kasus AIDS pada wanita meningkat dari 12% pada tahun 1985 menjadi 20
persen pada sepuluh tahun belakangan ini. Di Spanyol meningkat dari 7% menjadi
19% pada kurun waktu yang sama. Sedangkan di Brazil naik dari 1% pada tahun
1984 menjadi 25% pada kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini.
Di India infeksi HIV di kalangan
wanita yang semula terjadi pada pekerja seks dan pengguna narkoba suntikan
tetapi belakangan ini penularan HIV kepada wanita justru terjadi pada
masyarakat umum. Lebih dari 1% wanita hamil di negara ini HIV-positif. Di
Afrika lebih dari 70% kematian wanita berusia antara 20-44 tahun disebabkan
AIDS.
Di Indonesia sendiri hasil
surveilans terhadap wanita bersuami menunjukkan dari 3.914 sampel yang diteliti
di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi ditemukan 27 ibu rumah
tangga yang HIV-positif. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta,
terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di Jakarta
(2000) juga menunjukkan 6 HIV-positif. Surveilans terhadap wanita hamil di Riau
(1998/1999) menunjukkan angka HIV-positif 0,35%.
Sedangkan dalam laporan kasus
kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes tanggal 2 Oktober
2001 menunjukkan sejak awal epidemi (1987) sampai tanggal 30 September 2001
tercatat 793 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 660 HIV dan 133 AIDS, serta tujuh
di antaranya di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDU).
Di Malaysia dan Brunei Darussalam wanita hamil menjadi salah satu target
populasi skrining rutin surveilans HIV.
Peningkatan jumlah wanita yang
HIV-positif yang terikat dalam pernikahan yang sah ini tentu saja akan menambah
jumlah anak yatim-piatu. Karena wanita-wanita yang bersuami itu tidak mempunyai
pasangan seks lain atau tidak pengguna narkoba tentulah mereka tertular dari
suaminya.
Tapi, sering terjadi suami mereka menyangkalnya. Jangankan untuk
kasus HIV/AIDS, kasus-kasus infeksi menular seksual (IMS) seperti GO,
sifilis, dll. pada wanita bersuami pun sering menimbulkan persoalan karena
suami-suami mereka juga menyangkal sebagai sumber IMS yang mereka idap. Dalam
berbagai kasus jika istri mengatakan hal itu kepada suaminya maka mereka pun
akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Jalan tengah yang sering diambil
dokter adalah tidak menyebutkan IMS tetapi hanya mengatakan infeksi saluran
reproduksi.
Di satu sisi hal ini
menyelamatkan keluarga itu dari pertengkaran dan perceraian tetapi di sisi lain
suami-suami mereka tidak akan pernah menyadari risiko yang mereka hadapi kalau
melakukan kegiatan berisiko. Kegiatan berisiko tertular HIV dan IMS adalah: (1)
menghindari hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam
vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki
dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa
kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan
yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki
dengan laki-laki) yang tidak aman; (2) menghindari hubungan seks (sanggama)
penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan
perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),
seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti
pasangan di dalam atau di luar pernikahan yang sah; (3) menghindari
transfusi darah; dan (4) menghindari pemakaian jarum suntik dan semprit secara
bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.
Pendidikan dan Keterampilan
Berkaitan dengan anak yatim yang
ditinggal mati atau ditinggalkan orang tuanya karena AIDS sudah
menjadi masalah pelik di Malaysia. Departemen Kesehatan menolak menanganinya karena anak-anak itu tidak sakit.
Artinya biar pun anak-anak itu HIV-positif tetapi tidak ada gejala-gejala
penyakit sehingga tidak ada alasan bagi Departemen Kesehatan untuk
menanganinya. Sebaliknya, Departemen Sosial juga lepas tangan karena anak-anak
itu bukan korban bencana alam.
Anak yatim-piatu di Malaysia juga mengalami masalah karena orang tua mereka
yang HIV-positif meninggalkan desanya karena dikucilkan masyarakat.
Mereka pindah ke kota agar tidak dikenali orang lain. Tetapi, di kota mereka
justru sering pula menghadapi masalah baru. Kalau mereka berobat ke rumah sakit pihak rumah
sakit meminta kartu identitas. Mereka enggan memberikannya karena takut
dikenali.
Yayasan AIDS Malaysia, yang diketuai oleh Datin Marina Mahatir, sudah
merancang program untuk menangani anak-anak yatim-piatu yang terlantar. Selain
itu Marina pun akan mendorong pemerintahnya agar menyediakan dana khusus
untuk menangani anak-anak yatim-piatu. Karena hal yang sama bisa terjadi di
Indonesia maka sudah selayaknya kalau ada pihak yang memikirkan hal tersebut.
Hal lain yang akan muncul kelak adalah penolakan terhadap anak-anak
yatim-piatu tersebut di masyarakat karena masyarakat menganggap mereka otomatis
HIV-positif karena orang tuanya HIV-positif. Ada kemungkinan mereka akan
ditolak bersekolah. Sampai tanggal 30 September 2002 tercatat 4 kasus AIDS pada
anak-anak di bawah usia 15 tahun. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Departemen
Pendidikan Nasional sebelum terjadi penolakan oleh sekolah terhadap anak-anak
yang HIV-positif.
Dalam Konvensi Hak-hak Anak–UNICEF, yang sudah diratifikasi Indonesia,
pendidikan dasar merupakan hak anak. Studi terhadap 646 anak yatim terkait AIDS
dan 1.239 anak yang tidak yatim di Kenya, Afrika, akhir tahun 1990-an,
Afrika, menunjukkan 52% anak yatim terkait AIDS tidak bersekolah sedangkan anak
yang tidak yatim hanya 2% yang tidak bersekolah. Selain itu 56% anak perempuan
dan 47% anak laki-laki putus sekolah setelah 12 bulan kematian orang tuanya.
Untuk mengatasi nasib anak-anak yang yatim-piatu karena AIDS itu diperlukan
upaya-upaya yang nyata seperti menghilangkan stigma (cap buruk) dan
diskriminasi (pengucilan), memberikan pendidikan dan keterampilan agar kelak
mereka tidak menjadi beban orang lain. Jika mereka tidak dibekali dengan
keterampilan yang bisa menghasilkan nafkah maka anak-anak itu pun bisa menjadi
korban eksploitasi seks, dilacurkan dan diperdagangkan. ***[AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.