11 November 2012

Nasib Anak-anak yang Menjadi Yatim-Piatu karena HIV/AIDS

Catatan: Menyambut Hari AIDS Sedunia tanggal 1 Desember 2012 tulisan ini dimuat untuk memberikan gambaran terkait dengan (nasib) anak-anak yang yatim-piatu karena orang tuanya mAeninggal karena penyakit terkait HIV/AIDS. Soalnya, belum ada program pemerintah yang konkret untuk menangani anak-anak ini. Redaksi

Oleh Syaiful W. Harahap
[Pemerhati Masalah HIV/AIDS dan Penulis Buku "Pers Meliput AIDS"] dan “Kapan Anda Harus Tes HIV“]

Jakarta, 22 Agustus 2009 - Epidemi HIV membawa dampak langsung terhadap kehidupan. Orang tua yang tertular HIV akan meninggalkan anak-anaknya sebagai anak yatim-piatu, baik karena kematian maupun karena ditelantarkan. Lebih dari 90% infeksi HIV pada anak-anak tertular dari ibunya (mother-to-child-transmission/MTCT). Setiap tahun diperkirakan hampir 600.000 bayi, atau lebih dari 1.600 setiap hari, lahir dari ibu yang HIV-postif

Sejak awal epidemi tahun 1981 sampai akhir 2001 HIV/AIDS  sudah ‘meninggalkan’ 14  juta anak-anak yatim-piatu di bawah usia 15 tahun di seluruh dunia karena kehilangan ibu atau ayah atau kedua-duanya yang meninggal karena terkait AIDS. Diperkirakan 80% (11 juta) dari anak-anak yatim-piatu ini terdapat di Afrika sub-Sahara, sedangkan di Asia Selatan dan Asia Tenggara diperkirakan ada 1,8 juta anak yatim-piatu, di Asia Timur dan Pasifik 85.000.

Angka-angka ini akan terus bertambah karena kalau salah satu orang tuanya tertular HIV maka kemungkinan besar yang satu lagi akan terinfeksi karena sering terjadi mereka tidak menyadari dirinya tertular HIV sehingga tetap melakukan hubungan seks yang tidak aman (tidak memakai kondom).

Sebelum epidemi HIV hanya 2% anak-anak di dunia berkembang yang menjadi anak yatim-piatu. Tetapi, sejak epidemi HIV proporsi anak yang hanya beribu atau berayah menanjak sampai 7% di beberapa negara di Afrika, bahkan beberapa kasus menunjukkan peningkatan sampai 11%.

Epidemi HIV di banyak negara membuat semakin banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu. Di kawasan pedesaan di Afrika timur empat dari sepuluh anak-anak yang kehilangan orang tua karena AIDS menjadi anak yatim sebelum usia 15 tahun. Tahun 1997 saja sekitar 1,6 juta anak-anak di dunia menjadi yatim piatu karena salah satu atau kedua orang tuanya meninggal karena AIDS. Hampir 90% di antaranya terdapat di Afrika sub-Sahara.

Wanita Hamil

Sejak awal epidemi HIV diperkirakan 3,8 juta anak-anak meninggal karena AIDS sebelum mencapai usia 15 tahun. Tahun 1999 saja diperkirakan setengah juta anak-anak meninggal karena AIDS. Sekitar 1,3 juta anak-anak yang lain saat ini hidup dengan HIV/AIDS dan sebagian besar di antara mereka diperkirakan akan meninggal dunia sebelum mencapai usia remaja.

Sampai akhir 2001 jumlah kumulatif wanita yang terinfeksi HIV secara global mencapai 18,5 juta, hampir 5 juta di antaranya sudah meninggal karena AIDS. Dari jumlah itu 90% hidup di negara berkembang. Peningkatan kasus infeksi HIV pada wanita tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga terjadi di negara maju. Di Prancis, misalnya, kasus AIDS pada wanita meningkat dari 12% pada tahun 1985 menjadi 20 persen pada sepuluh tahun belakangan ini. Di Spanyol meningkat dari 7% menjadi 19% pada kurun waktu yang sama. Sedangkan di Brazil naik dari 1% pada tahun 1984 menjadi 25% pada kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini. 

Di India infeksi HIV di kalangan wanita yang semula terjadi pada pekerja seks dan pengguna narkoba suntikan tetapi belakangan ini penularan HIV kepada wanita justru terjadi pada masyarakat umum. Lebih dari 1% wanita hamil di negara ini HIV-positif. Di Afrika lebih dari 70% kematian wanita berusia antara 20-44 tahun disebabkan AIDS.

Di Indonesia sendiri hasil surveilans terhadap wanita bersuami menunjukkan dari 3.914 sampel yang diteliti di berbagai pusat pelayanan kesehatan di 13 provinsi ditemukan 27 ibu rumah tangga yang HIV-positif. Penelitian Yayasan Pelita Ilmu (YPI) Jakarta,  terhadap 537 wanita hamil melalui tes sukarela dengan konseling di Jakarta (2000) juga menunjukkan 6 HIV-positif. Surveilans terhadap wanita hamil di Riau (1998/1999) menunjukkan angka HIV-positif 0,35%.

Sedangkan dalam laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL Depkes tanggal 2 Oktober 2001 menunjukkan sejak awal epidemi (1987) sampai tanggal 30 September 2001 tercatat 793 kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 660 HIV dan 133 AIDS, serta tujuh di antaranya di kalangan pengguna narkoba suntikan (injecting drug user/IDU). Di Malaysia dan Brunei Darussalam wanita hamil menjadi salah satu target populasi skrining rutin surveilans HIV.

Peningkatan jumlah wanita yang HIV-positif yang terikat dalam pernikahan yang sah ini tentu saja akan menambah jumlah anak yatim-piatu. Karena wanita-wanita yang bersuami itu tidak mempunyai pasangan seks lain atau tidak pengguna narkoba tentulah mereka tertular dari suaminya.

Tapi, sering terjadi suami mereka menyangkalnya. Jangankan untuk kasus HIV/AIDS, kasus-kasus infeksi menular seksual (IMS) seperti  GO, sifilis, dll. pada wanita bersuami pun sering menimbulkan persoalan karena suami-suami mereka juga menyangkal sebagai sumber IMS yang mereka idap. Dalam berbagai kasus jika istri mengatakan hal itu kepada suaminya maka mereka pun akan mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Jalan tengah yang sering diambil dokter adalah tidak menyebutkan IMS tetapi hanya mengatakan infeksi saluran reproduksi.

 Di satu sisi hal ini menyelamatkan keluarga itu dari pertengkaran dan perceraian tetapi di sisi lain suami-suami mereka tidak akan pernah menyadari risiko yang mereka hadapi kalau melakukan kegiatan berisiko. Kegiatan berisiko tertular HIV dan IMS adalah: (1) menghindari hubungan seks (sanggama)  penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan),  biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki),  seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti di dalam atau di luar pernikahan yang sah, serta hubungan seks anal dan seks oral pada homoseks (laki-laki dengan laki-laki) yang tidak aman; (2) menghindari hubungan seks (sanggama) penetrasi (penis dimasukkan ke dalam vagina) baik heteroseks (laki-laki dengan perempuan),  biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks oral dan seks anal tanpa kondom dengan seseorang yang suka berganti-ganti pasangan di  dalam atau di luar pernikahan yang sah; (3) menghindari transfusi darah; dan (4) menghindari pemakaian jarum suntik dan semprit secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian.

Pendidikan dan Keterampilan

Berkaitan dengan anak yatim yang ditinggal mati atau ditinggalkan  orang tuanya  karena AIDS sudah menjadi masalah pelik  di Malaysia. Departemen Kesehatan menolak menanganinya karena anak-anak itu tidak sakit. Artinya biar pun anak-anak itu HIV-positif tetapi tidak ada gejala-gejala penyakit sehingga tidak ada alasan bagi Departemen Kesehatan untuk menanganinya. Sebaliknya, Departemen Sosial juga lepas tangan karena anak-anak itu bukan korban bencana alam.

Anak yatim-piatu di Malaysia juga mengalami masalah karena orang tua mereka yang HIV-positif  meninggalkan desanya karena dikucilkan masyarakat. Mereka pindah ke kota agar tidak dikenali orang lain. Tetapi, di kota mereka justru sering pula menghadapi masalah baru. Kalau mereka berobat ke rumah sakit pihak rumah sakit meminta kartu identitas. Mereka enggan memberikannya karena takut dikenali.

Yayasan AIDS Malaysia,  yang diketuai oleh Datin Marina Mahatir, sudah merancang program untuk menangani anak-anak yatim-piatu yang terlantar. Selain itu Marina pun  akan mendorong pemerintahnya agar menyediakan dana khusus untuk menangani anak-anak yatim-piatu. Karena hal yang sama bisa terjadi di Indonesia maka sudah selayaknya kalau ada pihak yang memikirkan hal tersebut.

Hal lain yang akan muncul kelak adalah penolakan terhadap anak-anak yatim-piatu tersebut di masyarakat karena masyarakat menganggap mereka otomatis HIV-positif karena orang tuanya HIV-positif. Ada kemungkinan mereka akan ditolak bersekolah. Sampai tanggal 30 September 2002 tercatat 4 kasus AIDS pada anak-anak di bawah usia 15 tahun. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi Departemen Pendidikan Nasional sebelum terjadi penolakan oleh sekolah terhadap anak-anak yang HIV-positif.

Dalam Konvensi Hak-hak Anak–UNICEF, yang sudah diratifikasi Indonesia, pendidikan dasar merupakan hak anak. Studi terhadap 646 anak yatim terkait AIDS dan 1.239 anak yang tidak yatim di Kenya, Afrika,  akhir tahun 1990-an, Afrika, menunjukkan 52% anak yatim terkait AIDS tidak bersekolah sedangkan anak yang tidak yatim hanya 2% yang tidak bersekolah. Selain itu 56% anak perempuan dan 47% anak laki-laki putus sekolah setelah 12 bulan kematian orang tuanya.

Untuk mengatasi nasib anak-anak yang yatim-piatu karena AIDS itu diperlukan upaya-upaya yang nyata seperti menghilangkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (pengucilan), memberikan pendidikan dan keterampilan agar kelak mereka tidak menjadi beban orang lain. Jika mereka tidak dibekali dengan keterampilan yang bisa menghasilkan nafkah maka anak-anak itu pun bisa menjadi korban eksploitasi seks, dilacurkan dan diperdagangkan. ***[AIDS Watch Indonesia]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.