* Dimuat di Harian ”Lombok Post”, 25 Juni 2009
Media Watch (21/11-2012) - Pemprov Nusa Tenggara Barat (NTB)
menjadi daerah yang ke-26 dari 28 daerah di Nusantara yang sudah menerbitkan
peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS. Melalui Perda No. 11 Tahun
2008 tanggal 24 Desember 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan
AIDS pemerintah provinsi berharap bisa mengatasi penyebaran HIV di NTB. Apakah 27 daerah (provinsi, kabupaten, dan
kota) yang sudah menerbitkan perda bisa menekan laju pertambahan infeksi HIV
baru?
Itulah pertanyaan yang sangat mendasar terhadap peranan perda dalam
menanggulangi penyebaran HIV. Pembuatan perda penanggulangan AIDS di Indonesia
bertolak dari keberhasilan Thailand dalam menekan laju pertambahan kasus
infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui ’program kondom 100 persen” pada
hubungan seks berisiko, seperti di lokalisasi pelacuran, rumah bordir, dll.
Dari 23.632 kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional sampai 31 Maret 2009
NTB ’menyumbang’ 134 kasus. Januari-Maret 2009 terdeteksi 12 kasus AIDS.
Angka-angka ini hanyalah puncak dari fenomena gunung es sehingga kasus yang
sebenarnya di masyarakat bisa lebih banyak tapi tidak terdeteksi.
Mitos
Maka, mulailah gelombang merancang perda penanggulangan AIDS menggeliat di
negeri ini. Diawali oleh Pemkab Nabire, Papua Barat, yang menelurkan Perda No.
18 tanggal 31/1-2003 tentang Pemakian Kondom 100% di Tempat-tempat Hiburan.
Namun, di semua perda tidak ada satu pasal pun yang bisa ’memaksa’ penduduk
untuk melindungi dirinya agar tidak tertular atau menularkan HIV kepada orang
lain. Semua perda hanya mememai norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ untuk
menanggulangi penyebaran HIV. Apakah cara-cara itu berhasil?
Tentu saja tidak! Soalnya, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di
laboratorium secara medis. Maka, cara-cara pencegahannya pun dapat pula
dilakukan dengan teknologi kedokteran. Tapi, dalam perda-perda yang sudah ada
pencegahan ditawarkan dengan norma, moral, dan agama. Perda AIDS Prov. Riau,
misalnya, menyebutkan penularan HIV dapat dicegah dengan ’iman dan taqwa’.
Pertanyaannya adalah: Bagaimana mengukur ’iman dan taqwa’ yang bisa mencegah
HIV? Siapa yang bisa mengukur ’iman dan taqwa’? Apa alat ukurnya?
Begitu pula dengan kewajiban yang diamanatkan perda yaitu ’pemakaian kondom
100 persen’ tetap tidak akan jalan karena: (a) di Indonesia tidak ada
lokalisasi pelacuran dan rumah bordir yang resmi, dan (b) anjuran memakai
kondom sebagai salah satu cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seks
ditentang habis-habisan.
Maka, kalau ada perda yang tetap menjadikan ’kondom 100 persen’ sebagai
salah satu cara mencegah HIV tentu saja tidak berguna karena tidak ada sasaran
yang bisa diawasi. Lagi pula program ’kondom 100 persen’ di Thailand adalah
ekor dari serangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Itu artinya
perda-perda di Indonesia hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS
di Negeri Gajah Putih itu.
Ada salah kaprah yang sangat mendasar di Indonesia terkait dengan penularan
HIV melalui hubungan seks. Karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS dibalut
dengan norma, moral dan agama maka yang ditangkap masyarakat hanya mitos
(anggapan yang salah). Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV melalui hubungan
seks dengan zina, melacur, seks pranikah, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang,
’kumpul kebo’, waria, dan homoseksual. Penularan HIV melalui hubungan seks bisa
terjadi di dalam atau di luar nikah jika salah satu atau kedua-dua pasangan itu
HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko
penularan biar pun hubungan seks dilakukan dengan cara zina, melacur, seks
pranikah, ’jajan’, selingkuh, seks menyimpang, ’kumpul kebo’, waria, dan
homoseksual.
Hidup Sehat
Selain itu ada pula kesan bahwa penyebaran HIV dilakukan oleh pekerja seks
komersial (PSK). Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-kali yang
dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan,
remaja atau duda. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara
horizontal antar penduduk. Ini terjadi karena seseorang yang sudah tertular HIV
tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa
AIDS (antara 5-15 tahun sejak tertular). Akibatnya, terjadi penyebaran HIV
tanpa disadari. Sebaliknya, jika ada PSK yang tertular HIV maka laki-laki yang
kemudian mengencaninya tanpa kondom berisiko pula tertular HIV. Kalau ada
laki-laki yang tertular HIV dari PSK maka mereka pun akan menjadi mata rantai
penyebaran HIV pula.
Dalam Perda Pananggulangan AIDS Prov NTB pun tidak ada cara-cara pencegahan
yang realistis. Yang ada justru menyuburkan mitos. Pada pasal 4 ayat a
disebutkan: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui kegiatan promosi
yang meliputi komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka menumbuhkan sikap
dan perilaku hidup bersih dan sehat.” Ini mengesankan kehidupan orang-orang
yang tertular HIV tidak bersih dan sehat. Akibatnya, stigmatiasi (pemberian cap
buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) kian kuat dialami oleh Odha
(Orang dengan HIV/AIDS).
Pada pasal 11 ayat 1 disebutkan: ”Masyarakat bertanggungjawab untuk
berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS serta
perlindungan terhadap ODHA dan OHIDA dengan cara (a) berperilaku hidup sehat,
(b) meningkatkan ketahanan keluarga. Ini pun mendorong stigmatisasi dan
diskriminasi terhadap Odha. Di pasal 13 ayat 2 a disebutkan: ”meningkatkan
kesehatan masyarakat sehingga mampu mencegah dan menanggulangi penularan HIV
dan AIDS.”
Ditilik dari aspek medis tidak ada kaitan langsung antara ’hidup bersih dan
sehat’ dengan penularan HIV. Yang perlu diatur dalam perda adalah perilaku
(seks) yaitu mencegah agar penduduk tidak melakukan perilaku berisiko tinggi
tertular HIV. Perilaku berisiko adalah: (a) melakukan hubungan seks tanpa
kondom, di dalam atau di luar nikah, di NTB, di luar NTB atau di luar negeri
dengan pasangan yang berganti-ganti, (b) melakukan hubungan seks tanpa kondom,
di dalam atau di luar nikah, di NTB, di luar NTB atau di luar negeri dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Pasal yang perlu ada dalam perda adalah: ”Setiap penduduk wajib memakai
kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti
pasangan.” Selanjuta ada pula pasal yang memutus mata rantai penyebaran HIV
yaitu: ”Setiap penduduk yang pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom, di
dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib menjalani tes HIV.”
Untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ’tersembunyi’ di masyarakat perlu
dilakukan skrining yaitu tes HIV dengan konseling dan persetujuan (skrining
rutin, survailans sentinel, dan survai khusus) seperti yang dijalankan di
beberapa negara. Malaysia menjalankan skrining rutin terhadap terhadap pasien
IMS (penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti sifilis, GO,
klamidia, hepatitis B, dll.), perempuan hamil, pengguna narkoba suntikan,
polisi, narapidana, darah donor, pasien TBC.
Tapi, sayang. Semua perda tidak memuat upaya pencegahan dan pemutusan mata
rantai penyebaran HIV yang realistis. ***[AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.