*
Dimuat di Harian “Berita Pagi” Palembang, 3 April 2008
Pemkot
Palembang ikut-ikutan juga menelurkan peraturan daerah (perda) tentang AIDS.
Padahal, sudah ada beberapa kabupaten, kota dan provinsi yang membuat perda
AIDS, tapi hasilnya nol besar karena materi perda tidak menyentuh persoalan
yang sangat mendasar terkait dengan upaya mencegah penularan HIV. Kasus kumulatif
HIV/AIDS di Palembang tercatat 278. Sedangkan secara nasional sampai 30 September 2007 dilaporkan 16.288 kasus. Dalam
Perda Kota Palembang No. 16 Tahun 2007 tentang Pecegahan, Pengendalian dan
Penanggulangan HIV dan AIDS tidak ada cara-cara pencegahan HIV yang akurat.
Terkait
dengan penanggulangan HIV/AIDS yang diperlukan adalah upaya meningkatkan
kesadaran penduduk agar bisa menimbang-nimbang dirinya apakah perilakunya
berisiko tinggi tertular HIV atau tidak. Angka yang dilaporkan tidak
menggambarkan realitas kasus di masyarakat karena banyak kasus HIV/AIDS yang
tidak terdeteksi. Hal ini terjadi karena di Indonesia tidak ada mekanisme untuk
mendeteksi kasus HIV/AIDS yang sistematis. Di Malaysia, misalnya, ada skrining
rutin terhadap pasien klinik PMS, pengguna narkoba suntikan, perempuan hamil,
polisi, narapidana, donor darah, dan pasien TB sehingga kasus yang terdeteksi
pun mendekati angka yang sebenarnya. Malaysia sudah melaporkan lebih dari
60.000 kasus HIV/AIDS.
Penularan
HIV lebih banyak terjadi tanpa disadari karena banyak orang yang tidak
menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, atau
cirri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5 – 10 tahun
setelah tertular HIV). Tapi, pada rentang waktu itu penularan HIV sudah bisa
terjadi melalui: (a) hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah,
(b) transfusi darah, (c) jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum
tattoo dan alat-alat kesehatan, (d) cangkok organ tubuh, dan (e) air susu
ibu/ASI.
Orang per Orang
Upaya
mendorong setiap orang menimbang-nimbang perilakunya terkait dengan HIV dapat
dilakukan dengan menggencarkan penyuluhan dengan materi KIE (komunikasi,
informasi, dan edukasi) HIV/AIDS yang akurat dengan mengedepankan fakta medis.
Selama ini materi KIE HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral, dan agama
sehingga yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah). Misalnya,
mengait-ngaitkan penularan HIV pelacuran. Padahal, penularan HIV melalui
hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau
kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif. Sebaliknya, biar
pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur, seks menyimpang, seks
pranikah, jajan, selingkuh, ‘seks bebas’, dan homoseksual tidak ada risiko
penularan HIV kalau kedua pasangan yang melakukan hubungan seks tsb.
HIV-negatif.
Tidak
mengherankan kalau kemudian banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah
tertular HIV karena dia merasa tidak melakukan hubungan seks dengan pelacur.
Yang mereka lakukan adalah melakukan hubungan seks dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di
dalam atau di luar nikah. Mereka lakukan di luar lokalisasi pelacuran: di
rumah, apartemen, taman, hotel, losmen, dll. Padahal, perilaku inilah (yaitu
melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks) yang
menempatkan seseorang pada posisi berisiko tinggi tertular HIV karena ada
kemungkinan salah satu dari pasangannya HIV-positif.
Pada
pasal 1 ayat 10 disebutkan “Pencegahan adalah serangkaian upaya bertujuan agar
masyarakat luas tidak berjangkit virus HIV dan AIDS.” Di pasal 3 juga
disebutkan “Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari
infeksi HIV dan AIDS ….” Di sini ada kerancuan. Pertama, yang menular
adalah HIV (virus) bukan AIDS (bukan penyakit tapi kondisi pada diri seseorang
yang sudah tertular HIV). Kedua, HIV tidak menulari masyarakat luas tapi
orang per orang melalui cara-cara yang disebutkan di atas.
Dalam
Perda tidak ditemukan cara-cara yang akurat untuk mencegah penularan HIV. Di
pasal 3 ayat a disebutkan: Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari infeksi HIV dan AIDS dengan Meningkatkan promosi perilaku hidup
bersih dan sehat. Ini adalah slogan yang bermuata moral. HIV/AIDS adalah fakta
medis. Artinya, dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran
sehingga pencegahannya pun dapat dilakukan dengan teknologi kedokteran.
Dalam
jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam cairan darah (laki-laki dan
perempuan), air mani (laki-laki), cairan vagina dan air susu ibu (perempuan).
Penularan HIV melalui darah yang mengandung HIV bisa terjadi melalui transfusi
darah, jarum suntik, jarum tindik, jarum akupunktur, jarum tattoo, alat-alat
kesehatan, dan cangkok organ tubuh. Penularan HIV melalui air mani dan cairan
vagina yang mengandung HIV bisa terjadi melalui hubungan seks di dalam atau di
luar nikah. Penularan HIV melalui air susu ibu yang mengandung HIV bisa terjadi
melalui proses menyusui.
Mencegah
penularan HIV adalah mencegah agar darah, air mani, cairan vagina, dan air susu
ibu yang mengandung HIV tidak masuk ke tubuh. Ini fakta medis. Tapi, karena
selama ini fakta ini tidak muncul ke permukaan maka banyak orang yang tidak
menegetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.
Penularan
Disengaja
Di
pasal 3 ayat e disebutkan: Peraturan Daerah ini bertujuan untuk melindungi masyarakat
dari infeksi HIV dan AIDS dengan Mengupayakan agar ODHA secara sukarela membuka
diri agar proses penularan dapat dihentikan. Ini menyuburkan stigma (cap buruk)
terhadap Odha karena mengesankan merekalah yang menyebarkan HIV. Faktanya Odha
yang terdeteksi sepakat menghentikan penularan mulai dari dirinya. Yang menjadi
mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk adalah orang-orang
(laki-laki dan perempuan) yang sudah tertular HIV (HIV-positif) di masyarakat
tapi tidak terdeteksi. Siapa saja mereka itu? Mereka itu adalah orang-orang
yang sering melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah di daerah, di
luar daerah atau di luar negeri dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan
seseorang yang sering berganti-ganti pasangan.
Memang,
risiko penularan HIV melalui hubungan seks adalah 1:100. Artinya, dalam 100
kali hubungan seks dengan seseorang yang HIV-positif risiko tertular 1 kali.
Tapi, tidak bisa diketahui pada hubungan seks yang keberapa penularan terjadi.
Bisa pada hubungan seks yang pertama, kelima, kedua puluh, ketujuh puluh, dst.
Maka, setiap hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti berisiko
tertular HIV.
Upaya
pencegahan yang ditawarkan dalam perda ada di pasal 4. Di ayat 2 b disebutkan:
Upaya perubahan sikap dan perilaku ke arah hidup bersih dan sehat agar
terhindar dari penularan HIV dan mencegah penularan HIV kepada orang lain.
Begitu pula pada pasal 12 ayat 1 disebutkan: Masyarakat bertanggungjawab untuk
ikut serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: a.
Berperilaku hidup sehat, b. Meningkatkan ketahanan keluarga dengan cara setia
pada pasangannya. Ini juga moralistik karena sama sekali tidak ada kaitan
langsung antara hidup bersih dan sehat dengan penularan HIV.
Kegiatan
pencegahan pada pasal 5 ayat 2 a disebutkan: Peningkatan kesadaran masyarakat
untuk menghindari seks beresiko. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘seks
beresiko’ dan tidak pula dijelaskan bagaimana cara menghindari penularan HIV
melalui ‘seks beresiko’.
Sedangkan
pada pasal 5 ayat 2 b kegiatan pencegahan disebutkan: Peningkatan kesadaran
kepada kelompok beresiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS untuk
menggunakan kondom pada setiap melakukan hubungan seks. Tidak ada kelompok yang
berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV/AIDS karena penularan HIV terkait
dengan perilaku orang per orang. Kalau yang dimaksud kelompok beresiko dalam
perda ini adalah pekerja seks maka yang menularkan HIV/AIDS kepada pekerja seks
adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari adalah penduduk lokal sebagai
suami, pacar, selingkuhan yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar,
mahasiswa, aparat, pedagang, preman, dll.
Perda
ini menitikberatkan pencegahan melalui orang-orang yang sudah terdeteksi yang
diiatur pada pasal 15 dan 16. Padahal, fakta menunjukkan penularan HIV justru
banyak terjadi tanpa disadari.
Selama
‘sasaran tembak’ penanggulangan HIV/AIDS hanya pekerja seks maka selama itu
pula penyebaran HIV akan terjadi secara horizontal antar penduduk tanpa
disadari. Hal ini bisa terjadi karena banyak laki-laki yang perilakunya
berisiko tinggi yang sudah tertular HIV menjadi mata rantai penyebaran HIV tapi
tidak mereka sadari. Kondisi ini merupakan ‘bom waktu’ menuju ledakan AIDS.
Untuk
itulah perlu digencarkan penyuluhan dengan materi KIE yang akurat untuk
mendorong orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV agar mau
menjalani tes HIV secara sukarela. Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi
maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan. ***[AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.