Opini (24/11-2012) - Di awal epidemi HIV/AIDS (1981)
laki-laki gay (orientasi seks yang tertarik hanya kepada laki-laki) menjadi
menjadi ’kambing hitam’ karena kasus pertama AIDS diidentifikasi di kalangan
gay.
Ketika penyebaran HIV mulai mendunia kasus HIV/AIDS pun diidentifikasi di
luar kalangan gay, seperti pekerja seks komersial (PSK), laki-laki ’hidung
belang’, dll.
Secara global dan nasional faktor risiko (mode of transmission) HIV/AIDS penularan HIV adalah hubungan
seksual pada heteroseksual (laki-laki yang tertarik dengan perempuan atau
sebeliknya) di dalam dan di luar nikah. Belakangan, faktor risiko pun
terdeteksi di kalangan laki-laki heteroseksual yang juga mempunyai orientasi
seks kepada laki-laki yang dikenal sebagai laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dengan laki-laki (Laki-laki Suka Seks Laki-laki/LSL).
Di Indonesia diperkirakan ada 800.000 LSL. Dari jumlah ini 60.000 – 80.000
di antaranya berada di Jakarta. Sedangkan kalangan ahli epidemiologi
memperkirakan LSL di Indonesia sekitar tiga juta (Diperkirakan 3 Juta Pria
Lakukan Seks Sejenis, kompas.com, 18/3-2011).
LSL adalah laki-laki heteroseks, al. beristri, yang juga tertarik kepada
laki-laki. Mereka ini bukan laki-laki gay atau waria. Mereka melakukan hubungan
seksual dengan waria. Laki-laki heteroseks inilah yang menjadi jembatan
penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari
seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia,
hepatitis B, dll.) serta HIV dari masyarakat ke waria dan sebaliknya (Lihat
Gambar 1).
Jika ada LSL yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus maka LSL
itu pun menyebarkan HIV di komunitasnya. Yang beristri menularkan ke istrinya,
perempuan lain atau PSK. Jika istrinya tertular HIV maka ada pula risiko
penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak ketika di kandunga, saat
persalinan atau menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Karena LSL dikhawatirkan akan menjadi salah satu mata rantai penyebaran HIV
yang potensial maka ada inisiatif dari enam kota besar di Asia untuk
menyelenggarakan pertemuan rutin membahas langkah-langkah penanggulangan. Kota-kota
itu adalah Bangkok, Chengdu, Ho Chi Minh City, Jakarta, Manila, dan Yangoon.
Di Indonesia sendiri penelitian tahun 2007 di enam kota menunjukkan
prevalensi (perbandingan antara LSL yang HIV-positif dan LSL yang HIV-negatif)
mencapai 5,2 persen. Artinya, dari 100 LSL ada 5,2 LSL yang mengidap HIV.
Di kalangan laki-laki ’penggema’ waria ada kesan bahwa hubungan seksual
dengan waria dikesankan lebih tunras (Lihat: Lebih Tuntas dengan Waria -
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/01/19/PRK/mbm.20090119.PRK129268.id.html
- 19 Januari 2009).
Biar pun prevalensi tinggi tapi upaya penjangkauan (out reach) terhadap LSL sangat rendah. Di 12 negara di Asia,
termasuk Indonesia, tahun 2005 program penanggulangan HIV di kalangan LSL
diperkirakan baru menjangaku 8% dari populasi LSL. Dalam kaitan inilah KPAP DKI Jakarta mengembangkan
program penjangkauan dengan menggandeng jaringan Gay, Waria, LSL (GWL)-INA. Penjangkuan
merupakan langkah yang tepat karena jika tidak ada intervensi langsung maka
pada tahun 2020 diperkirakan separuh dari penularan HIV kota-kota besar di Asia
terjadi di kalangan LSL.
LSL bukan gay atau waria. LSL merupakan laki-laki heteroseks
(tertarik pada perempuan), tapi juga sekaligus tertarik pada laki-laki. Mereka
bisa disebut biseksual, tapi mereka tetap tidak mengidentikkan diri sebagai
laki-laki biseksual. Sedangkan gay adalah laki-laki yang orientasi seksualnya
tertarik kepada laki-laki dengan penampilan laki-laki. Waria adalah laki-laki yang
tertarik kepada perempuan yang menampilkan diri sebagai perempuan.
Selain dengan laki-laki, ada juga di antara LSL yang melakukan hubungan
seksual dengan waria, PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran,
losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan
malam), dan PSK tidak langsung ((‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’,
‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.). Dalam
kaitan ini pun LSL menjadi jembatan penyebaran HIV dari masyarakat ke waria,
PSK langsung atau PSK tidak langsung serta sebaliknya LSL tadi melakukan kontak
seksual pula dengan LSL di komunitas lain (Lihat Gambar 2).

Jika LSL tidak menerapkan perilaku seks yang aman, yaitu selalu memakai
kondom jika sanggama, maka ada risiko penyebaran IMS dan HIV. Di satu komunitas
seorang LSL bisa saja melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung
atau PSK tidak langsung, serta dengan LSL di komunitas lain.
Di kalangan LSL ada semacam jastifikasi bahwa mereka tidak mengingkari
cinta terhadap istri karena tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan.
Ada juga LSL yang menganggap sanggama dengan waria atau laki-laki lebih tuntas.
Karena LSL sudah merupakan fenomena sosial maka yang perlu dilakukan adalah
penjangkauan agar mata rantai penyebaran HIV melalui LSL dapat diputus. Ini akan menurunkan potensi ‘bom waktu’
ledakan AIDS di kalangan LSL dan pasangannya. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.