Tanggapan Berita (9/11-2012) – “Penanggulangan
HIV/AIDS di Kabupaten Indramayu, menurut Dedi, terkendala minimnya Puskesmas
voulentary counselling testing (VCT) dan rendah mobile VCT.” Ini pernyataan Kepala
Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Indramayu, Dedi Rohendi, dalam berita “Penyebaran
HIV/AIDS Indramayu Tertinggi di Jalur Pantura” (tribunnews.com,
7/11-2012).
Pernyataan
itu menunjukkan upaya penanggulangan HIV/AIDS hanya dilakukan di hilir.
Artinya, Dedi menunggu dulu ada penduduk Indramayu yang tertular HIV baru
ditangani di klinik VCT.
Yang
perlu dilakukan adalah penanganan di hulu. Artinya, upaya untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan
seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) yang dikabarkan praktek di berbagai
tempat di sepanjang jalur pantai utara (pantura).
Dikabarkan
sampai Oktober 2012 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Indramayu mencapai 825. Jumlah
ini merupakan yang terbanyak di sepanjang jalur pantura.
Pertanyaannya
untuk Dinkes Indramayu adalah:
(1)
Mengapa banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kab Indramayu?
(2)
Bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kab Indramayu?
(3)
Di fasilitas (sarana) kesehatan mana kasus-kasus HIV/AIDS tsb. terdeteksi?
(4)
Pada kalangan mana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kab Indramayu?
(5)
Berapa dan bagaimana penyebaran fasilitas tes HIV yang ada di Kab Indramayu?
(6)
Bagaimana tingkat penjangkauan ke berbagai kalangan, terutama populasi kunci,
oleh instansi dan institusi di Kab Indramayu?
Sayang,
wartawan tidak bertanya sehingga tidak ada penjelasan tentang tiga hal di atas.
Terkait
dengan kasus HIV/AIDS yang lebih sedikit di kabupaten dan kota lain di jalur
pantura, maka pertanyaannya adalah:
(a)
Mengapa kasus HIV/AIDS tidak banyak terdeteksi di kabupaten dan kota di jalur pantura
selain Kab Indramayu?
(b)
Bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di kabupaten dan kota di jalur pantura
selain Kab Indramayu?
(c)
Berapa dan bagaimana penyebaran fasilitas tes HIV yang ada di kabupaten dan
kota di jalur pantura selain di Kab Indramayu?
(d)
Bagaimana tingkat penjangkauan ke berbagai kalangan, terutama populasi kunci,
oleh instansi dan institusi di kabupaten dan kota di jalur pantura selain di
Kab Indramayu?
Jika
ada jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, maka akan ada gambaran ril
terkait dengan temuan kasus di Kab Indramayu dan di kabupaten dan kota lain di
jalur pantura.
Di
Kab Indramayu ada 4 dari 49 Puskesmas yang melayani VCT (tes HIV gratis dengan
konseling secara sukarela dengan kerahasiaan) serta dua rumah sakit.
Bandingkan
dengan Kota Cirebon yang hanya ada dua Puskesmas yang melayani tes HIV melalui
klinik VCT.
Bagaimana
dengan kondisi di kabupaten dan kota di jalur pantura selain Kab Indramayu?
Disebuktan
pula oleh Dedi, tercatat 29 orang meninggal karena terinfeksi HIV/AIDS di
kabupaten itu.
Tidak
jelas apakah pernyataan itu kutipan langsung atau pendapat wartawan karena
kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS bukan karena (terinfeksi) HIV/AIDS,
tapi karena penyakit lain, disebut infeksi oportunistik seperti diare dan TBC,
yang muncul pada masa AIDS (setelah tertular HIV antara 5-15 tahun).
Disebutkan
oleh Dedi bahwa kenaikan angka itu sebagai keadaan darurat. "Kalau terus
meningkat, saya khawatir ini bakal menjadi kejadian luar biasa."
HIV/AIDS
bukan wabah (penyakit yang mudah menyebar karena cara penularan yang mudah
melalui air dan udara), tapi epidemi. Penambahan angka akan terus terjadi
karena penemuan kasus baru.
Disebutkan
oleh Dedi bahwa HIV juga banyak ditularkan melalui hubungan seksual para
pekerja penjaja seks di tempat hiburan serta hubungan seksual dengan tenaga
kerja wanita yang bekerja di tempat hiburan.
Pertanyaan
untuk Dedi: Apa langkah konkret yang dilakukan Dinkes Indramayu berupa
intervensi untuk menanggulangi penularan HIV antara laki-laki dengan pekerja
seks di tempat hiburan?
Tentu
saja tidak ada. Bahkan, dalam Perda AIDS Kab Indramayu pun sama sekali tidak
ada langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di hulu (Lihat: Perda AIDS Kabupaten Indramayu, Jawa Barat
- http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kabupaten-indramayu-jawa.html).
Hal
itu dibenarkan Dedi. Menurut Dedi Perda AIDS Kab Indramayu belum maksimal,
karena: "Perda itu memang lebih banyak tentang penanganan orang yang
terinfeksi HIV daripada mengenai pencegahannya."
Ya,
Dedi benar. Itulah salah satu keburukan perda-perda AIDS yang ada di Indonesia
yaitu hanya menanggulangi HIV/AIDS di hilir. Artinya, ditunggu dulu ada
penduduk yang tertular HIV baru ditangani. Hal yang sama terjadi pada Perda
AIDS Kota Cirebon (Lihat: Perda AIDS Kota Cirebon, Jawa Barat
- http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-kota-cirebon-jawa-barat.html).
Di
Kota Cirebon kasus kumulatif HIV/AIDS tahun 2004-2012 tercatat 524 termasuk di dalamnya 29 anak-anak.
Menurut
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Cirebon, Sri Mariati, 90
persen dari total 116 tempat tongkrongan (hot
spot) di Kota Cirebon potensial menularkan HIV lantaran banyak terjadi
transaksi seksual.
Sri
Mariati tidak akurat. Yang menularkan bukan hot
spot, tapi laki-laki pendudu Kota Cirebon yang melacur tanpa kondom dengan
perempuan di hot spot tsb. Kemudian
ada pula laki-laki penduduk Kota Cirebon yang tertular HIV dari perempuan di hot spot tsb. karena melacur tanpa
kondom.
Maka,
laki-laki penduduk Kota Cirebon yang menularkan HIV/AIDS ke perempuan di hot spot dan laki-laki yang tertular HIV
dari perempuan di hot spot menjadi
mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat terutama melalui hubungan seksual
tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kasus
HIV/AIDS yang terdeteksi pada 29 anak-anak menunjukkan ibu mereka tertular HIV
dari suami. Dengan 29 anak-anak ini, maka sudah ada 87 penduduk Kota Cirebon
yang mengidap HIV/AIDS yaitu anak, istri dan suami. Kalau suami-suami tsb.
mempunyai istri lebih dari satu, maka kian banyak perempuan dan anak-anak yang
tertular HIV/AIDS di Kota Cirebon.
Celakanya,
Perda AIDS Kota Cirebon dan Perda AIDS Kab Indramayu sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di hot spot.
Hot spot berupa lokasi
atau tempat pelacuran, warung yang menyediakan transaksi seks, tempat hiburan
dengan transaksi seks, dll. terdapat di sepanjang jalan raya lintas jalur
pantura mulai dari Kota Bekasi, Kab Bekasi, Kab Karawang, Kab Purwakarta, Kab
Subang, Kab Indramayu, Kab Cirebon, dan Kota Cirebon.
Maka,
selama pemerintah kabupaten dan kota di sepanjang jalur pantura di wilayah Jawa
Barat tidak mempunyai program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka
penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’.
***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.