Tanggapan Berita (9/11-2012) – ”Agar
program dan kebijakan yang diterapkan tepat sasaran, Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi (KPAP) DKI Jakarta melakukan pemetaan populasi kunci terhadap
masyarakat terkait penanggulangan HIV/AIDS di ibu kota. Pemetaan dilakukan
dengan mengadakan dialog serta menyepakati data-data dengan berbagai lembaga
swadaya masyarakat (LSM), untuk mengetahui masyarakat yang rentan terkena dan
terjangkit HIV/AIDS.” Ini lead pada
berita “KPAP DKI Petakan Masyarakat
Rentan HIV/AIDS” (beritajakarta.com,
6/11-2012).
Pada
lead disebutkan “masyarakat yang
rentan terkena dan terjangkit HIV/AIDS”. Ini ngawur karena tidak semua orang
(masyarakat) berisiko tertular HIV/AIDS.
Yang
berisiko tertular HIV/AIDS, al. dengan faktor risiko hubungan seksual, adalah:
(1). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah DKI Jakarta dan di
luar wilayah DKI Jakarta serta di luar negeri.
(2) Perempuan dewasa yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang
berganti-ganti tanpa kondom di wilayah DKI Jakarta dan di luar wilayah DKI
Jakarta serta di luar negeri.
(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di
jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi
pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung
(’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek
panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call
girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah DKI Jakarta dan di luar wilayah DKI Jakarta serta di luar
negeri.
(4). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
kondom terkait dengan homseksual, yaitu: gay (seks anal) di wilayah DKI Jakarta dan di luar wilayah DKI Jakarta serta di luar
negeri.
(5) Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan LSL
(lelaki suka seks lelaki) melalui seks anal di wilayah DKI Jakarta dan di luar wilayah DKI Jakarta serta di luar
negeri.
Dari
pernyataan pada lead itu yang dipetakan adalah “populasi kunci” yaitu pekerja
seks komersial (PSK), waria, penyalahguna narkoba dengan jarum suntik secara
bergantian, laki-laki pelanggan PSK, dll.
Jika
kita tilik lima ‘pintu masuk’ HIV/AIDS di Jakarta tentulah luput dari pemetaan.
Bagaimana mungkin bisa dipetakan pelaku atau pasangan yang melakukan pratek
pelacuran di hotel-hotel berbintang dan apartemen.
Bahkan,
Perda AIDS Jakarta No. 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS pun
sama sekali tidak memberikan langkah yang konkret sebagai intervensi pada
pratek pelacuran untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang
melacur (Lihat: Perda AIDS DKI Jakarta
- http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-dki-jakarta.html).
Kasus
kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di Jakarta sampai 30 Juni 2012 mencapai 25.893 yang terdiri atas 20,775 HIV dan 5,118 AIDS.
Langkah
yang ditawarkan perda untuk menanggulangi penularan HIV di Jakarta adalah, yang
termuat pada pasal 15 disebutkan “Kegiatan pencegahan dilaksanakan sejalan
dengan kegiatan promosi melalui komunikasi, informasi dan edukasi dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan AIDS yaitu: (a) tidak
melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah, dan (b) hanya melakukan
hubungan seksual dengan pasangan yang sah.
Maka,
tidaklah mengherankan kalau kemudian banyak istri yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS karena suami mereka sudah menikah sehingga tidak ada lagi halangan
untuk melakukan hubungan seksual. Celakanya, selain dengan istri sebagian suami
juga melakukannya dengan perempuan lain, seperti PSK, tanpa memakai kondom.
Agaknya,
Pemprov DKI Jakarta menepuk dada dengan mengatakan: Di DKI Jakarta tidak ada
pelacuran! Ini benar karena lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak di Jakarta
Utara, lokasi pelacuran di Boker, Jakarta Timur dan Kalijodo, Jakarta Barat
sudah ditutup.
Tapi,
apakah itu jaminan di Jakarta tidak ada praktek pelacuran?
Di
dalam perda di pasal 15 ayat g disebut: “setiap penanggung jawab tempat yang
diduga berpotensi untuk ter jadinya perilaku berisiko tertular HIV”.
Ini
merupakan bentuk eufemisme yang justru mengaburkan makna denotasi karena
dibalut dengan moral sehingga yang muncul pun hanya konotasi.
Apa,
sih, yang dimaksud dengan “tempat
yang diduga berpotensi untuk ter jadinya perilaku berisiko tertular HIV”?
Risiko
penularan HIV bukan karena tempat dan sifat hubungan seksual (zina, melacur,
dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan
laki-laki tidak memakai kondom).
Jika
bertolak dari pasal 15 ayat g itu, maka di Jakarta ada tempat yang menyediakan
perempuan untuk transaksi seks.
Pertanyaannya
adalah: Apa langkah konkret Pemprov DKI Jakarta untuk menanggulangi penyebaran
HIV dari laki-laki ke perempuan pekerja tempat hibuaran dan sebaliknya dari
perempuan pekerja tempat hiburan ke laki-laki melalui hubungan seksual?
Lagi-lagi
tidak ada!
Selama
praktek pelacuran tersebar di berbagai titik dan tempat-tempat hiburan malam,
maka program penanggulangan tidak akan bisa berjalan dengan efektif.
Jika
tidak ada program yang konkret, maka insiden infeksi HIV baru akan terus
terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu rumah tangga menunjukkan
suami mereka tertular HIV, al. karena melacur tanpa kondom. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.