03 November 2012

DKK Semarang Mendorong Stigma dan Diskriminasi terhadap Pengidap HIV/AIDS



* Praktek pelacuran di sebagian warung remang-remang dan tempat esek-esek di sepanjang jalur Pantura

Tanggapan Berita (4/11-2012) – “Kepala Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, Widoyono, mengatakan upaya pencegahan yang paling efektif adalah penggunaan kondom. Namun, yang menjadi masalah adalah kurangnya kesadaran para penyandang HIV sehingga mereka malah sengaja melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan pengaman.” Pernyataan ini ada dalam berita “Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Keluarga Mendesak Dilakukan” di koran-jakarta.com (1/11-2012).

Pernyataan Widoyono ini tidak akurat dan mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Pertama, banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari diriya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Akibatnya, mereka melakukan kegiatan yang bisa menularkan HIV, seperti hubungan seksual di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom.

Kedua, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV yang baku tidak akan menularkan HIV kepada orang lain karena ketika hendak tes HIV mereka sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Ketiga, kalau yang dimaksud Widoyono ‘penyandang HIV’ adalah pekerja seks komersial (PSK), maka kesalahan bukan pada PSK tapi laki-laki yang sanggama dengan mereka tanpa kondom. Ada laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK.

Dalam berita ada pernyataan: “Penanganan dan pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus segera ditangani secara serius dan terfokus pada rawan transaksi seksual. Upaya preventif mendesak dilakukan karena para pengidap virus HIV/AIDS berpotensi besar menularkan penyakit ke keluarga.”

Yang perlu dilakukan adalah intervensi konkret di hulu , al. program untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Persoalannya adalah tidak ada pemerintah kota dan kabupaten di sepanjang jalur Pantura yang meregulasi pelacuran sehingga praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

 Di sepanjang jalan raya dan rel kereta api di Pantura terdapat titik-titik lokasi pelacuran mulai dari Bekasi sampai Banyuwangi. Tapi, praktek pelacuran tsb. tidak terkontrol sehingga program penanggulangan tidak bisa diterapkan secara efektif.

Itu semua terjadi karena pemerintah kota dan kabupaten di sepanjang jalur Pantura membusungkan dada dan mengataka: Di daerah kami tidak ada pelacuran!

Mereka benar, tapi yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran. Sedangkan praktek pelacuran terjadi di banyak tempat. Selain itu di wilayah Kab Cirebon pelacuran diganti dengan esek-esek sehingga pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh agama di sana memang benar karena tidak ada pelacuran yang ada adalah esek-esek.

Celakanya, peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS di beberapa daerah di jalur Pantura sama sekali tidak memberikan langkah  konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Seperti Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Lihat: Perda AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html).

Menurut Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Kemal N Siregar, bupati dan wali kota perlu meningkatkan upaya preventif (pencegahan) untuk mengantisipasi penyebaran HIV/AIDS, terutama ke keluarganya sendiri.

Sejak awal epidemi HIV/AIDS sudah ada dalam keluarga. PSK, waria, gay, dll. yang mengidap HIV/AIDS adalah bagian dari keluarga.

Yang menjadi persoalan besar adalah laki-laki dewasa, dalam hal ini suami, yang menjadi pelanggan PSK atau berganti-ganti pasangan, seperti kawin-cerai.

Maka, kuncinya adalah pada laki-laki dewasa. Untuk itu diperlukan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa, terutama melalui hubungan seksual dengan PSK.

Tapi, hal itu mustahil karena di sepanjang jalur Pantura tidak ada pelacuran yang dilokalisir dengan regulasi sehingga program penanggulangan HIV/AIDS, al. pemakaian kondom pada laki-laki ketika sanggama dengan PSK pun tidak bisa dijalankan.

Kasus HIV/AIDS sudah terdeteksi di semua kabupaten dan kota di sepanjang jalur Pantura. Laki-laki yang banyak menjadi pelanggan PSK di jalur itu adalah awak angkutan umum yang menjadi mata rantai penyebaran HIV, al. kepada istrinya atau PSK di daerah lain.

Selama pelacuran di Pantura tidak diregulasi, maka selama itu pula penyebaran HIV dari laki-laki ke PSK dan dari PSK ke laki-laki akan terus terjadi. Kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.