* Praktek pelacuran di sebagian warung remang-remang dan tempat
esek-esek di sepanjang jalur Pantura
Tanggapan Berita (4/11-2012) – “Kepala
Dinas Kesehatan Kota (DKK) Semarang, Widoyono, mengatakan upaya pencegahan yang
paling efektif adalah penggunaan kondom. Namun, yang menjadi masalah adalah
kurangnya kesadaran para penyandang HIV sehingga mereka malah sengaja melakukan
hubungan seksual tanpa menggunakan pengaman.” Pernyataan ini ada dalam berita “Pencegahan Penularan HIV/AIDS di Keluarga
Mendesak Dilakukan” di koran-jakarta.com
(1/11-2012).
Pernyataan
Widoyono ini tidak akurat dan mendorong stigma (cap buruk) dan diskriminasi
(perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.
Pertama, banyak orang
yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari diriya sudah tertular HIV karena
tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka. Akibatnya, mereka
melakukan kegiatan yang bisa menularkan HIV, seperti hubungan seksual di dalam
dan di luar nikah, tanpa kondom.
Kedua, orang-orang
yang sudah terdeteksi HIV/AIDS melalui tes HIV yang baku tidak akan menularkan
HIV kepada orang lain karena ketika hendak tes HIV mereka sudah berjanji akan
menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.
Ketiga, kalau yang
dimaksud Widoyono ‘penyandang HIV’ adalah pekerja seks komersial (PSK), maka
kesalahan bukan pada PSK tapi laki-laki yang sanggama dengan mereka tanpa
kondom. Ada laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan ada pula laki-laki
yang tertular HIV dari PSK.
Dalam
berita ada pernyataan: “Penanganan dan pencegahan penyebaran HIV/AIDS harus
segera ditangani secara serius dan terfokus pada rawan transaksi seksual. Upaya
preventif mendesak dilakukan karena para pengidap virus HIV/AIDS berpotensi besar
menularkan penyakit ke keluarga.”
Yang
perlu dilakukan adalah intervensi konkret di hulu , al. program untuk
menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual
dengan PSK. Persoalannya adalah tidak ada pemerintah kota dan kabupaten di
sepanjang jalur Pantura yang meregulasi pelacuran sehingga praktek pelacuran
terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Di
sepanjang jalan raya dan rel kereta api di Pantura terdapat titik-titik lokasi
pelacuran mulai dari Bekasi sampai Banyuwangi. Tapi, praktek pelacuran tsb.
tidak terkontrol sehingga program penanggulangan tidak bisa diterapkan secara
efektif.
Itu
semua terjadi karena pemerintah kota dan kabupaten di sepanjang jalur Pantura
membusungkan dada dan mengataka: Di daerah kami tidak ada pelacuran!
Mereka
benar, tapi yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran. Sedangkan praktek
pelacuran terjadi di banyak tempat. Selain itu di wilayah Kab Cirebon pelacuran
diganti dengan esek-esek sehingga pejabat, tokoh masyarakat dan tokoh agama di
sana memang benar karena tidak ada pelacuran yang ada adalah esek-esek.
Celakanya,
peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan HIV/AIDS di beberapa daerah di
jalur Pantura sama sekali tidak memberikan langkah konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Seperti
Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Lihat: Perda
AIDS Provinsi Jawa Tengah Mengabaikan (Lokalisasi) Pelacuran - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html).
Menurut
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Kemal N Siregar, bupati dan wali
kota perlu meningkatkan upaya preventif (pencegahan) untuk mengantisipasi
penyebaran HIV/AIDS, terutama ke keluarganya sendiri.
Sejak
awal epidemi HIV/AIDS sudah ada dalam keluarga. PSK, waria, gay, dll. yang
mengidap HIV/AIDS adalah bagian dari keluarga.
Yang
menjadi persoalan besar adalah laki-laki dewasa, dalam hal ini suami, yang
menjadi pelanggan PSK atau berganti-ganti pasangan, seperti kawin-cerai.
Maka,
kuncinya adalah pada laki-laki dewasa. Untuk itu diperlukan program yang
konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa,
terutama melalui hubungan seksual dengan PSK.
Tapi,
hal itu mustahil karena di sepanjang jalur Pantura tidak ada pelacuran yang
dilokalisir dengan regulasi sehingga program penanggulangan HIV/AIDS, al.
pemakaian kondom pada laki-laki ketika sanggama dengan PSK pun tidak bisa
dijalankan.
Kasus
HIV/AIDS sudah terdeteksi di semua kabupaten dan kota di sepanjang jalur
Pantura. Laki-laki yang banyak menjadi pelanggan PSK di jalur itu adalah awak
angkutan umum yang menjadi mata rantai penyebaran HIV, al. kepada istrinya atau
PSK di daerah lain.
Selama
pelacuran di Pantura tidak diregulasi, maka selama itu pula penyebaran HIV dari
laki-laki ke PSK dan dari PSK ke laki-laki akan terus terjadi. Kelak akan
bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.