Tanggapan Berita (17/11-2012)
– “HIV/AIDS ini ada yang namanya fenomena gunung es. Artinya, kalau 1 orang
ditemukan dalam stadium AIDS, berarti dibawahnya masih banyak orang yang terinfeksi.
Makanya jumlah itu setiap tahun bertambah. Karena, jika ditemukan hari ini 1 orang terinfeksi, maka akan ditemukan
lagi tahun depan.” Ini pernyataan Erwan
Mujio, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Jambi (534 Kasus Baru HIV/AIDS, www.jambiekspres.co.id,
14/11-2012).
Ada beberapa hal yang bisa menyesatkan dalam pertanyaan Erwan di atas
karena dalam berita tidak ada penjelasan yang akurat.
Pertama, fenomena gunung es pada penyebaran HIV/AIDS artinya kasus yang
terdeteksi, sekali lagi yang terdeteksi yaitu orang-orang yang sudah mengidap
HIV/AIDS, adalah bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Pada gunung es
kasus yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyembul ke
permukaan dan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai
bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Kedua, yang perlu diingat adalah tidak ada rumus yang pasti berapa kasus di
masyarakat berdasarkan kasus yang terdeteksi.
Ketiga, biar pun ada kasus HIV yang terdeteksi di masa AIDS, artinya sudah
tertularn antara 5-15 tahun sebelumnya tidak bisa dipastikan bahwa ybs. sudah
menularkan HIV kepada orang lain.
Keempat, pernyataan ”jumlah itu setiap tahun bertambah” menunjukkan pemahaman
terhadap cara pelaporan kasus HIV/AIDS yang tidak akurat. Pelaporan kasus
HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah
kasus baru. Begitu seterusnya sehingga biar pun penderita atau pengidap
HIV/AIDS banyak yang meninggal angka laporan tidak akan pernah berkurang atau
turun.
Kelima, pernyataan ”jika ditemukan hari ini 1 orang terinfeksi, maka akan
ditemukan lagi tahun depan” juga tidak akurat karena tidak bisa dipastikan
kapan seseorang tertular HIV. Kasus yang terdeteksi tahun ini tidak bisa
dipastikan tahun berapa dia tertular HIV.
Dikabarkan kasus HIV/AIDS di Kota Jambi terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Seak tahun 1999 sampai sekarang tercatat 543 kasus HIV/AIDS, yang terdiri
atas 283 HIV dan 260 AIDS.
Ada pernyataan ” .... yang mematikan dan belum ditemukan obatnya ini.”
Pernyataan ini menyesatkan karena belum ada laporan kematian karena HIV
atau AIDS atau HIV/AIDS. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS
terjadi karena penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare
dan TBC, yang terjadi pada masa AIDS (setelah tertular antara 5-15 tahun).
Penyakit yang belum ada obatnya bukan hanya HIV/AIDS. Ada penyakit yang
tidak ada obatnya, seperti demam berdarah. Ada pula penyakit yang ada obatnya
tapi tidak bisa disembuhkan, seperti diabetes dan darah tinggi. Sedangkan
HIV/AIDS ada obatnya yaitu obat antiretroviral (ARV) untuk menekan laju
pertumbuhan HIV di dalam darah.
Disebutkan: ” .... seseorang akan terinfeksi virus HIV sebelum
dinyatakan positif mengidap AIDS. Ini lanjutnya, mengalami kurun waktu
yang cukup lama.”
Pernyataan ini juga tidak akurat karena tidak ada yang positif mengidap
AIDS, tapi positif tertular atau mengidap (virus) HIV. AIDS adalah kondisi yang
terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV yang ditandai dengan
penyakit-penyakit infeksi oportunistik.
Di Kota jambi sendiri, menurut Erwan, penderita HIV/AIDS ini rata-rata dari
golongan usia 20 tahun hingga 30 tahun.
Pertanyaannya:
(1) Bagaimana kasus HIV/AIDS terdeteksi pada golongan usia 20 tahun hingga
30 tahun?
(2) Apa faktor risiko penularan HIV pada usia 20 tahun hingga 30 tahun
tsb.?
(3) Mengapa banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada usia 20 tahun hingga
30 tahun?
Sayang, wartawan tidak mengajukan tiga pertanyaan di atas kepada Erwan
sehingga tidak ada penjelasan yang komprehensif terkait dengan kasus HIV/AIDS
pada usia 20 tahun hingga 30 tahun.
Terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS disebutkan oleh Erwan bahwa pihaknya
sudah melakukan berbagai penyuluhan di beberapa lokasi dan kepada orang yang
rawan terinfeksi.
Yang diperlukan bukan hanya sekedar penyuluhan, tapi program yang konkret,
al. intervensi terhadap laki-laki yang melacur agar memakai kondom. Tanpa
program ini maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Jambi akan terus terjadi.
Disebutkan pula: ” .... Kita juga melakukan pengobatan untuk ODHA yang
memenuhi syarat untuk diobati.” Ini
adalah penanggulangan di hilir. Artinya, Pemkot Jambi menunggu dulu ada
penduduknya yang tertular HIV baru diobati.
Dikatakan pula: “Kita juga melakukan pendampingan untuk merehabilitasi
mental dan sosial penderita HIV/AIDS ini.” Ini juga di hilir. Tetap saja
menunggu penduduk tertular HIV kemudian terdeteksi untuk selanjutnya
didampingi.
Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu agar insiden infeksi HIV baru
bisa ditekan. Intervensi ini
perlu jika di Kota Jambi ada praktek pelacuran. Pemkot Jambi boleh-boleh saja
menepuk dada dengan mengatakan bahwa di Kota Jambi tidak ada pelavcuran. Itu
benar, tapi hanya karena tidak ada lokalisasi pelacurna. Sedangkan praktek
pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Maka, tanpa program penanggulangan yang konkret, terutama pada praktek
pelacuran, kasus HIV/AIDS di Kota Jambi kelak akan sampai pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.