20 November 2012

Di Kota Bukittinggi, Sumbar, Penanggulangan HIV/AIDS Tanpa Program yang Konkret



Tanggapan Berita (21/11-2012) – “Pemerintah Kota Bukittinggi, Sumatera Barat meminta warga mewaspadai bahaya HIV/AIDS karena telah mewabah hingga ke anak-anak.” Ini lead pada berita “Pemkot Bukittinggi Minta Warga Waspadai HIV/AIDS” (www.antarasumbar.com, 20/11-2012).

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Bukittinggi yang tercatat sampai Desember 2011 sebanyak 146. Sedangkan kasus yang terdeteksi pada tahun 2012 belum dilaporkan.

Pernyataan pada lead berita tsb. sama sekali tidak memberikan pencerahan. Bahkan, pernyataan itu menyesatkan karena,

Pertama, HIV/AIDS bukan wabah tapi pandemi atau epidemi yang hanya menular melalui cara-cara yang sangat khas, al. hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Sedangkan wabah adalah penyakit yang sangat mudah menyebar secara luas dan cepat, al. melalui binatang, udara dan air, seperti malaria, diare, kolera, dll.

Kedua, penularan HIV ke anak-anak terjadi karena perempuan yang melahirkan mereka mengidap HIV/AIDS yang ditularkan oleh pasangan mereka.

Ketiga,  kewaspadaan terhadap penularan HIV/AIDS tergantung pada perilaku seksual orang per orang bukan masyarakat.

Informasi yang tidak komprehensif membuat masyarakat tidak mengetahui cara-cara pencegahan HIV yang konkret. Informasi yang tidak akurat terjadi karena informasi HIV/AIDS dibumbui dengan moral sehingga fakta tentang HIV/AIDS hilang, sedangkan yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

"Saat ini HIV cenderung meningkat dan tidak hanya menulari kalangan pekerja seks, pengguna narkoba suntik, dan pelaku hubungan seks tak aman, namun telah menulari ibu rumah tangga dan bayi dalam kandungan." Ini pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kota Bukittinggi, Syofia Dasmauli.

Kalau saja wartawan mengembangkan pernyataan “tidak hanya menulari kalangan pekerja seks” tentulah ada gambaran ril terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kota Bukittinggi.

Yang menularkan HIV/AIDS kepada pekerja seks adalah laki-laki dewasa penduduk Kota Bukittinggi, asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks bisa sebagai suami. Maka, laki-laki ini pun akan menularkan HIV kepada istrinya.

Lalu, ada pula laki-laki dewasa penduduk kota Bukittinggi, asli atau pendatang, yang tertular HIV dari pekerja seks. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks bisa sebagai suami. Maka, laki-laki ini pun akan menularkan HIV kepada istrinya.

Penyebaran HIV/AIDS di Kota Bukittinggi didorong oleh laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks dan laki-laki yang tertular HIV dari pekerja seks.

Celakanya, Pemkot Bukittinggi dalam hal ini Dinkes Kota Bukittinggi dan KPA Kota Bukittinggi, tidak mempunyai program penanggulangan HIV/AIDS melalui pelacuran.

Memang, Syofia buleh-boleh saja menepuk dada dan mengatakan: Di Kota Bukittinggi tidak ada pelacuran!

Syofia benar adanya karena memang tidak ada lokalisasi pelacuran di Kota Bukittinggi.

Tapi, apakah Syofia bisa menjamin tidak ada praktek pelacuran di Kota Bukittinggi?

Tentu saja tidak bisa karena praktek pelacuran tejadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Karena praktek pelacuran tidak dilokalisir, maka program penanggulangan pada hubungan seksual dengan pekerja seks punt idak bisa dijalankan.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian di Kota Bukittinggi terdeteksi HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.

Disebutkan “Ibu rumah tangga dan bayi dalam kandungan tertular HIV melalui transmisi secara hetero seksual, jarum suntik tidak steril dan transfusi darah yang tidak aman.”

Ini tidak jelas apakah kutipan dari narasumber atau penafsiran wartawan karena penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bukan transmissi secara heteroseksual tapi ada tiga kemungkinan, yaitu: (a) pada saat dalam kandunga, (b) ketika persalinan, dan (c) ketika menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Disebutkan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan HIV/AIDS diperlukan kerja sama lintas sektor, kepedulian dari masyarakat luas disamping komitmen yang kuat dari pemerintah.

Selama Pemkot Bukittingi tidak mempunyai program yang konkret, maka selama itu pula penanggulangan HIV/AIDS tidak akan bisa dijalankan. Sekali lagi yang diperlukan adalah program yang konkret, terutama untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki yang melacur.

Ada lagi pernyataan: “ …. pihaknya tengah menggencarkan sosialisasi tentang bahaya HIV/AIDS kepada masyarakat agar virus mematikan tersebut dapat ditekan.”

Sosialisasi saja tidak ada manfaatnya karena praktek pelacuran terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Selain itu perilaku kawin-cerai pun merupakan salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom. \

Disebukan “virus mematikan”. Ini ngawur karena belum ada laporan kematian karena (virus) HIV pada pengidap HIV/AIDS. Kematian pada pengidap atau penderita HIV/AIDS terjadi di masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Ada pula pernyataan: “Pada tahun 2010 tercatat 171 warga Bukittinggi positif mengidap virus HIV/AIDS, sedangkan tahun 2011 turun menjadi 146 orang.”

Pernyataan ini mengesakan terjadi penurunan insiden infeksi HIV, padahal yang terjadi adalah jumlah kasus yang terdeteksi menurun di tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010. Sedangkan jumlah penduduk yang tertular HIV di tahun 2010 dan 2011 tidak bisa diketahui jumlahnya.

Disebutkan “Saat ini Pemkot terus memaksimalkan pos pelayanan dan rujukan bagi penderita HIV/AIDS supaya penderita kasus tersebut dapat ditekan.”

Pelayanan dimaksud adalah langkah di hilir. Artinya, Pemkot Bukittinggi menunggu ada dulu penduduk Kota Bukittinggi yang tertular HIV/AIDS baru dilayanid an dirujuk.

Karena yang terjadi di Kota Bukittinggi adalah penanggulangan di hilir, maka insiden infeksi HIV baru di hulu akan terus terjadi, terutama melalui kegiatan praktek pelacuran.

Syofia berharap agar warga memanfaatkan pusat pelayanan konsultasi HIV/AIDS yang tersedia pada dua rumah sakit tersebut.

Nah, dalam berita tidak dijelaskan siapa warga yang diharapkan menafaatkan pelayanan konsultasi HIV/AIDS karena tidak semua orang perilakunya berisiko tertular HIV/AIDS.

Maka, berita ini sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat terkait dengan langkah konkret pencegahan  HIV/AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.