Tanggapan Berita (26/11-2012) – “Kegiatan keagamaan dianggap salah satu cara untuk
membentengi generasi muda dari bahaya HIV/AIDS.” Ini pernyataan Walikota
Bitung, Sulawesi Utara (Sulut), Hanny Sondakh dalam berita “Bentengi
Diri Dari HIV/AIDS Lewat Kegiatan Keagamaan” (beritamanado.com, 21/11-2012).
Kasus kumulatif HIV/AIDS sampai November 2012 dikabarkan mencapai 247.
Pertanyaan untuk Sondakh: Apakah kalangan
dewasa, terutama laki-laki beristri,
sudah cukup beragama?
Kalau jawaban Sondakh mengatakan ya, maka itu
bertolak belakang dengan realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV/AIDS
karena kasus HIV/AIDS justru banyak terdeteksi pada kalangan dewasa, seperti
ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.
Selain itu kalau memang kalangan dewasa di
Kota Bitung sudah cukup beragama tentulah tidak ada lagi perzinaan melalui
praktek pelacuran.
Atau Sondakh
masih mengelak: Di Kota Bitung tidak ada pelacuran!
Ya, Sondakh
benar adanya. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada ’kan lokalisasi pelacuran yang
dibentuk berdasarkan regulasi atau peraturan. Tapi, apakah Sondakh bisa
menjamin di kota yang dipimpinnya itu tidak ada perzinaan melalui praktek
pelacuran?
Tentu saja
tidak! Maka, pertanyaan selanjutnya: Mengapa tidak ada tuntutan keagamaan bagi
kalangan dewasa agar tidak melacur (tanpa kondom)?
Masih menurut Sondakh, para
siswa harus senantiasa membentengi diri dengan meningkatkan keikutsertaan pada
kegiatan-kegiatan keagamaan. Karena menurutnya,
kegiatan keagaaman terbukti menjadi salah satu penangkal ampuh untuk
menghindari godaan dan cobaan dilingkungan pergaulan.
Apa alat ukur, takar dan
timbang untuk menentukan tingkat keagamaan seorang remaja yang bisa menjadi
”penangkal ampuh untuk menghindari godaan dan cobaan dilingkungan pergaulan”?
Yang diperlukan setiap orang,
remaja atau dewasa, adalah komitmen pada dirinya untuk menjaga diri sendiri
agar tidak tertular dan menularkan HIV.
Ini juga pernytaan Sondakh: “Saya
juga mengharapkan para guru dan orang tua kiranya pola pembinaan, arahan dan
bimbingan kerohanian terus disampaikan dihati anak-anaknya.”
Lalu, bagaimana dengan orang
tua yang perilakunya berisiko tertular HIV, misalnya, menjadi pelanggan pekerja
seks?
Apakah mereka harus menjadi
munafik di depan anak-anaknya?
Bayangkan jika seorang suami
mencerahami anak-anaknya sedangkan istrinya mengidap HIV/AIDS yang
ditularkannya. HIV/AIDS itu sendiri didapatkannya dari perilakunya, al. melacur
tanpa kondom.
Lagi-lagi penanggulangan
HIV/AIDS hanya dilakukan di ranah yang absurd dengan jargon-jargon retorika
moral. Ini tidak akan menghambat penyebaran HIV/AIDS di Kota Bitung yang kelak
akan bermuara pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.