Tanggapan Berita (25/11-2012) – “Angka penderita human immunodeficiency
virus (HIV) dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) di Bandarlampung
masih cukup tinggi. Pada tahun ini, tercatat terdapat
616 kasus. Jumlah tersebut berdasarkan estimasi dari Kementerian Kesehatan
tahun 2012.” Ini keterangan Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS (KPA)
Bandarlampung, dr. Wirman (HIV/AIDS Kota 616 Kasus. Hanya
Terdeteksi 594 Kasus, Harian ”Radar
Lampung”, 9/11-2012).
Angka
laporan kasus HIV/AIDS tetap akan tinggi atau banyak karena kasus HIV/AIDS di
Indonesia dilaporkan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru.
Begitu seterusnya sehingga angka tidak akan pernah berkurang atau turun biar
pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Yang perlu dipersoalkan adalah:
Apakah insiden infeksi HIV baru di Bandarlampung terus terjadi?
Insiden infeksi HIV baru yang
terjadi, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom, terutama antara laki-laki
dewasa dengan pekerja seks komersial (PSK).
Celakanya, Pemkot Bandarlampung
akan menepuk dada dan mengatakan: Di Bandarlampung tidak ada pelacuran.
Itu benar, tapi tunggu dulu.
Yang tidak ada bukan (praktek) pelacuran, tapi lokalisasi pelacuran yang
diregulasi oleh dinas sosial.
Praktek pelacuran terjadi di
sembarang tempat dan sembarang waktu.
Selama Pemkot Bandarlampung
tidak mempunyai program yang konkret berupa intervensi terhadap laki-laki yang
melacur agar mereka memakai kondom ketika sanggama dengan PSK, maka selama itu
pula insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi.
Kasus-kasus HIV/AIDS yang
terdeteksi pada ibu rumah tangga merupakan bukti bahwa laki-laki, dalam hal ini
suami, melakukan perilaku berisiko tertular HIV, al. melacur tanpa kondom.
Persoalannya adalah laki-laki
’hidung belang’ meresa tidak berisiko tertular HIV karena mereka tidak berzina
dengan PSK. Soalnya, ada anggapan bahwa PSK itu adalah perempuan yang ada di
lokalisasi pelacuran.
Padahal, PSK dikenal ada dua
macam yaitu: (1) PSK langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran, dan di
jalanan), dan (2) PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak
sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ’cewek biliar’, ’cewek disko’, ’cewek pub’,
’cewek kafe’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, dan perempuan yang mangkal atau panggilan
di penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di
tempat-tempat hiburan malam).
Kasus kumulatif HIV dan AIDS yang
dicatat Dinas Kesehatan (Diskes) Bandarlampung sampai Oktober 2012 sebanyak
594. Sedangkan data dampingan Saburai Support Grup (SSG) Lampung sampai Oktober
2012 tercatat 854 dengan rincian laki-laki 556 dan 298 perempuan.
Menurut Kepala Diskes
Bandarlampung, upaya pencegahan HIV/AIDS yang dilakukan adalah sosialisasi kepada
seluruh elemen masyarakat melalui berbagai media dan pertemuan-pertemuan.
Cara ini tidak ada manfaatnya
tanpa ada regulasi yang konkret, terutama untuk menerapkan program kondom pada
laki-laki yang melacur.
Lain halnya kalau Dinkes
Bandarlampung bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Bandarlampun
yang melacur, maka tidak ada persoalan. Tapi, kalau tidak bisa dijamin maka
diperlukan cara atau langkah yang konkret.
Selanjutnya adalah perubahan
perilaku melalui komunikasi yang komprehensif dan berkesinambungan bagi orang
yang terinfeksi HIV.
Nah, ini langkah di hilir.
Artinya, Dinkes Bandarlampung menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru
ditangani.
Yang diperlukan adalah langkah
di hulu, al. menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui
hubungan seksual dengan PSK.
Dikabarkan ada kesepakatan
lokal di dua lokasi, yakni Pemandangan dan Pantai Harapan, bagi para wanita
pekerja seksual (WPS), mucikari, dan pemangku kepentingan. Satpol PP dan Diskes
juga merespons dalam membantu upaya pencegahan serta penanggulangan HIV/AIDS.
Yang menjadi persoalan adalah:
Bagaimana membuktikan bahwa laki-laki yang melacur memakai kondom ketika mereka
melakukan hubungan seksual dengan PSK?
Disebutkan oleh Wirman,
diadakan kilinik berjalan infeksi menular seksual (IMS) di dua lokasi tersebut
setiap tiga bulan sekali, serta klinik IMS di Puskesmas Panjang dan Sukaraja
yang diakses oleh para WPS.
Wirman lupa kalau yang
menularkan IMS kepada PSK itu adalah laki-laki dan ada pula laki-laki yang
tertular IMS dari PSK. Jika PSK yang mengidap IMS juga mengidap HIV, maka ada
kemungkinans sekaligus terjadi penularan IMS dan HIV sekaligus.
Laki-laki yang menularkan IMS
dan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular IMS dan HIV dari PSK menjadi
mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Kasus HIV/AIDS yang terdeteksi
pada ibu rumah tangga merupakan bukti suami mereka melacur tanpa kondom.
Biar pun ada promosi penggunaan
dan distribusi kondom, tanpa mekanisme yang konkret untuk menerapkan regulasi
tidak ada jaminan laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom ketika melacur.
Posisi tawar PSK untuk memaksa
laki-laki memakai kondom ketika sanggama sangat rendah. Untuk itulah diperlukan
regulasi agar ada pemaksaan bagi laki-laki untuk memakai kondom setiap kali
sanggama dengan PSK.
Tanpa, program yang konkret
insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada
’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.