* Lagi-lagi karena ada berita di surat kabar ….
Liputan (4/11-2012) – Di Karawang, Jabar, ada dua perempuan
yang menderita karena berita media massa tentang status HIV mereka. Di Makassar,
Sulsel, pun ada yang diusir tetangga karena foto pengantinnya dimuat di media
cetak. Masih di Sulsel yaitu di Enrekang seorang laki-laki nyaris diikat di
hutan hanya karena ada berita tentang dirinya yang mengidap HIV/AIDS.
Seorang laki-laki di Enrekang, Prov
Sulawesi Selatan (Sulsel), nyaris ‘dihutankan’ penduduk karena ada berita di
koran lokal yang menyebutnya ‘pengidap AIDS’. Istrinya pun terpaksa pulang ke
rumah orang tuanya untuk menghidari ‘amukan’ penduduk. Penderitaan laki-laki
itu berakhir sudah karena September
2009 di ’sudah pulang’ ke haribaan-Nya.
Seandainya Amat (bukan nama
sebenarnya) tidak gagal menyelesaikan sekolahnya, mungkin langkahnya tidak akan
pernah sampai ke Malaysia. Dia
bersekolah di salah satu SMP negeri di Enrekang, Sulsel. Sayang, dia tidak lulus.
Ketika itu Amat memang harus melanjutkan pendidikan di kota kabupaten karena di
kampung halamannya yang terpencil belum tersedia SMP. Ke SD saja dia harus berjalan kaki sekitar empat kilometer.
Letak kampung Amat, sekitar 40 km dari kota Kecamatan Alla di Enrekang,
Sulawesi Selatan, sulit dijangkau. Tapi,
tiba-tiba banyak orang di kampung Amat tercegang ketika koran lokal
memberitakan dirinya HIV-positif.
Mungkinkah seseorang yang tinggal di desa terpencil, seperti desa mereka,
bisa terpapar HIV? Inilah yang selalu ditanyakan
penduduk, pegawai desa dan kecamatan. Dalam
pikiran mereka hanya orang yang tinggal di kota besar yang bisa terpapar HIV.
Penduduk yang membaca berita tentang Amat di koran menyarankan agar Amat,
30 tahun dan istrinya, S, 29 tahun, diisolasi saja di hutan.
Alasannya mereka agar ‘penyakit’ yang diderita Amat tidak menulari
penduduk. Inilah
salah satu dampak dari pemberitaan media massa selama ini yang tidak
komprehensif tentang HI/AIDS. Akibatnya, masyarakat hanya menangkap mitos
(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Celakanya, yang diusik hanya yang
identitasnya terbuka. Padahal, banyak penduduk yang perilakunya berisiko tinggi
tertular HIV, tapi karena tidak terdeteksi maka mereka inilah yang menjadi mata
rantai penyebaran HIV. Bisa jadi ada di antara penduduk yang menghujat Amat
justru HIV-positif.
Walaupun penduduk sudah diberikan penjelasan soal penularan HIV/AIDS,
terutama kepada penduduk yang akan mengisolasi Amat dan keluarganya, tapi salah
seorang penduduk, Abdu, tetap ngotot agar Amat tetap diisolasi di hutan karena
ditakutkan akan menimbulkan bencana di kampungnya.
Apakah Abdu bisa menjamin dirinya HIV-negatif?
Yang banyak terjadi adalah penyangkalan. Sebagian lagi orang-orang yang
perilakunya berisiko tinggi tertular HIV selalu menghujat orang-orang yang
terdeksi HIV-positif. Mereka seakan-akan membenarkan perilakunya karena tidak
terdeteksi HIV-positif dengan menghujat orang-orang yang terdeteksi
HIV-positif.
Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya Abdu mengalah dan tidak
mempersoalkan lagi kalau Amat dan istrinya tetap tinggal di kampung bersama
dengan penduduk yang lain.
Pulang Kampung
Karena Amat malu mengulang di kelas III dia pun memutuskan untuk kembali di kampungnya. Di kampung orang
tuanya bertani. Karena ingin mengubah peruntungan, Amat memilih menjadi tenaga
kerja ilegal di Malaysia.
Tahun 1993 dia berangkat ke Sandakan. Amat bekerja di kilang tempat
pembuatan papan tripleks. Upah yang diperolehnya setiap bulan 100 ringgit
(Rp 250.000). Sebagian dari upah ini
disimpannya untuk dikirim ke kampung.
TKI di Sandakan biasanya menghabiskan upahnya untuk berjudi, mabuk-mabukan
dan pergi ke lokasi pelacuran Amat tidak main judi dan mabuk-mabukan.
Tapi, pergaulannya membawanya ke pelacuran. Celakanya, dia kencan dengan PSK
tanpa kondom karena tidak tahu akibat dari hubungan seks tanpa kondom dengan
PSK. Lagi pula PSK di sana tidak pernah
memintaya untuk memakai kondom.
Pada akhir tahun 1993 Amat
memilih pindah ke kota lain untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Kota yang
dituju adalah Keke, Kinabalu. Dia
bekerja sebagai buruh. Biasanya, TKI yang sebagai buruh hanya bisa ke kota
sekali sebulan setelah gajian. Yang dilakukan kebanyakan TKI, termasuk Amat,
apalagi kalau bukan mendatangi wisma atau hotel yang menyediakan PSK. Diakuinya
bahwa dirinya memang suka kencan dan ganti-ganti pasangan ketika masih bujang.
Upah yang diterimanya setiap bulan dihabiskan untuk memuaskan diri. Tahun
1994 anak ketiga dari enam bersaudara ini pindah di Keningau. Di sini dia
bekerja sebagai tukang cat. Karena ayahnya meninggal tahun 1995 Amat kembali ke
kampung halamannya.
Namun, keberadaannya di kota
kelahirannya tidak berlangsung lama. Amat
yang masih bujang memilih kembali menjadi tenaga kerja ilegal. Tahun 1996 dia kembali ke Keke, Kinibalu.
Di sana dia bekerja di pompa
bensin. Modal masuk ke negeri jiran hanya paspor yang diperolehnya di Parepare,
Sulsel. Tapi, kalau ada razia dia sembuyi. Tahun 1997 Amat pindah ke Sandakan
dan bekerja sebagai penjual sayuran di pasar. Masih di tahun yang sama Amat kembali lagi ke Kota Kinabalu. Di kota ini Amat
bekerja di salah satu hotel berbintang. Dia bekerja sebagai tukang yang
memperbaiki perabot yang rusak.
Tahun 1998 sampai 2002 Amat memilih
bekerja di kebun karena bekerja di kebun tidak diuber-uber polisi
Malaysia dan gaji tidak perlu dipotong 15 persen untuk jaminan. Ketika bekerja
di kebun inilah Amat menikah dengan perempuan yang dicintainya dan masih
sekampung dengannya, bernama Nini (bukan nama sebenarnya), tahun 2001. Setelah
anak pertama mereka lahir, kini telah berusia empat tahun, pasangan suami-istri
ini memilih pulang kampung
Sejak pulang kampung Amat tinggal bersama ibunya. Saudaranya yang lain
sudah berkeluarga dan telah mempunyai rumah sendiri. Untuk menghidupi anak dan
istrinya Amat memilih bekerja di kebun menggarap lahan orang tuanya.
Sebagai petani pendapatan yang diperolehnya tergantung dari harga yang
diberlakukan pedagang, Penghasilannya sebulan paling tinggi Rp 200.000. Tanaman
di kebunnya memang hanya kopi dan beberapa pohon cengkeh yang sudah tua. Kalau
tidak ada hasil kebun yang bisa dipanen kebutuhan sehari-hari ditopang dengan
menjual pisang atau sayuran.
Namun, sejak Amat mulai sakit-sakitan dia kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Ibunya yang sudah tua harus menanggung kebutuhan anak dan
istrinya.
Tahun 2004 kondisi Amat mulai tidak baik. Dia sering demam, diare dan
sariawan yang tidak sembuh-sembuh. Setiap kali sakit hanya obat dari Puskesmas
yang tersedia di kampungnya.
Biasanya, setelah minum obat panasnya mulai turun dan diare berhenti.
September 2004 penyakitnya semakin parah. Panas tubuhnya tinggi disertai diare
dan jamur di mulutnya semakin banyak. Mulutnya bahkan mulai memutih.
Saat itu Amat sempat dirawat di Puskesmas Kalosi sebelum akhirnya dibawa ke
RSU Andi Makkasau, Parepare. Di rumah sakit ini dia dirawat selama seminggu
sebelum akhirnya pulang setelah kondisinya mulai membaik.
Tapi, Amat dan keluarganya tidak tahu apa penyakitnya karena pihak rumah
sakit juga tidak pernah memberikan penjelasan soal penyakitnya.
Sayangnya, penyakitnya hanya sembuh sebentar. November 2004 dia sakit
parah, demam tinggi disertai diare dan mulutnya semakin putih dan penuh jamur. Amat
mengaku ketika itu dirinya sudah pasrah dan tidak mau berobat dengan alasan
biaya.
Namun, ibu dan saudaranya juga kerabatnya yang lain mengumpulkan uang untuk
biaya perawatan ke RS Wahidin, Makassar.
Tanggal 16 November 2004 dia tiba di rumah sakit. Amat langsung diinfus
dan di rawat di ruangan ICCU. Yang merawatnya saat itu adalah Prof Dr Halim
Mubin bersama suster Tesi.
Seminggu setelah dirawat dr Halim menemuinya dan memberikan penjelasan soal
HIV/AIDS. Amat ditawari untuk menjalani tes HIV. Waktu itu, menurut Amat, Dr
Halim tidak memaksanya untuk tes HIV. Karena diberikan penjelasan bahwa cara
pengobatan hanya bisa dilakukan setelah tes HIV Amat akhirnya mengalah.
Apalagi Dr Halim memberikan penjelasan bahwa obat yang akan diberikan
gratis dan tes pun gratis. Sebelum tes, masih menurut Amat, dia diberikan
pemahaman tentang HIV/AIDS juga tentang penularan dan apa yang mesti dilakukan
dan tidak boleh dilakukan Amat bila ternyata hasil tesnya positif.
Karena ingin sembuh dan sehat Amat memilih tes pada tanggal 20 November
2004. Hasilnya tesnya kala itu adalah positif sehingga pada tanggal 26 November
Amat mulai minum obat. Ketika itu Amat harus dirawat selama sebulan di RS
Wahidin.
Status HIV-nya Tersebar
Sebelum dites yang pertama kali ditanyankan Amat adalah masalah biaya yang
akan dikeluarkan bila dinyatakan HIV-positif. Dia menyadari tidak akan mempu
menyediakan biaya.Setelah mendengar penjelasan bahwa obat yang akan
dikonsumsinya gratis, Amat langsung menyatakan siap dites.
Dengan jujur Amat menceritakan perilakunya sejak menjadi TKI. Amat juga
telah pasrah menerima bila nantinya hasil tesnya positif. Apa pun hasilnya akan
diterima dengan pasrah. Menurut Amat bila hasilnya positif mungkin sudah
takdir. Ketika hasilnya dinyatakan positif, Amat pasrah dan memberikan dorongan
kepada istrinya agar ikut memeriksakan diri. Ketika itu hasil tes istrinya juga
positif. Namun, hingga saat ini kondisi
istrinya tetap baik. Tidak pernah diare, deman, sariawan dan jamuran di mulut.
Ketika tahu dirinya HIV-positif bersama istrinya dunia belum kiamat bagi Amat.
Keinginannya untuk sehat justru semakin kuat dalam dirinya. Apalagi istrinya
juga tidak pernah menyalahkan dirinya atau menganggapnya penyebab penyakit yang
kini dideritanya.
Dukungan dari istrinya dan orang
tuanya juga saudaranya menguatkan Amat untuk bertahan hidup. Santi mengaku tidak punya pilihan selain pasrah menerima hasil tes.
Menyesali sesuatu yang telah terjadi pun tak berguna. Nasi telah jadi bubur.
Menyesali dan menangisi yang telah terjadi sudah bukan waktunya lagi.
Selama sebulan di RS Wahidin banyak yang mengunjunginya. Ada yang datang
dari Kalimantan dan Jakarta. Yang ditanyakan seputar kondisi dirinya dan
pekerjaannya sehingga terpapar HIV.
Namun, Amat tidak tahun siapa orangnya dan apa pekerjaan mereka. Kunjungan
orang itu sama sekali tidak diketahui maksudnya. Tapi, bila ditanya soal status
dirinya, Amat selalu menjawab. Alasannya, dia tidak ingin mengecewakan orang
lain. Kepolosan dan keluguan dan kepasrahan terpatri dalam dirinya.
Ketika dirawat di RS Wahidin orang tua dan istrinya diberikan penjelasan
soal penyakit yang diderita Amat. Akhirnya, semua kerabat dekatnya tahu Amat
dan istrinya HIV-positif. Namun, keluarganya pasrah menerima dan tak ada niat
mengucilkan Amat dan istrinya.
Tapi, tidak dapat dipungkiri jarak kini telah terbentang di antara mereka. Amat memang tidak mendapat diskriminasi
tapi tidak ada lagi yang berani duduk dekat dengannya. Penduduk takut tertular.
Penduduk pun ada yang percaya HIV menular melalui nyamuk dan keringat. Amat dan
istrinya tahu diri.
Amat dan istrinya memilih mengucilkan diri di rumah. Keduanya hanya keluar
rumah kalau ada hal yang sangat perlu, ada kerabat yang hajatan atau meninggal dunia.
Kepada keluarga dekatnya Amat memang
berani terbuka dengan mengakui bahwa dirinya dan istrinya telah terpapar HIV,
namun, tidak kepada orang lain. Dia
tidak pernah mengatakan kepada siapa pun bahwa dia HIV-positif karena memang
belum siap untuk terbuka kepada masyarakat.
Tapi, kalau ada yang mengetahui status HIV-nya dari koran atau sumber lain Amat
tidak bisa berbuat banyak. Dia mengaku
hanya pasrah dan siap menerima konsekwensi dari masyarakat bila diminta
meninggalkan kampung halamannya.
Amat sama sekali tidak tahu jika informasi tentang virus yang ada pada
dirinya telah tersebar luas di kampungnya bahkan ke luar kampungnya. Dia
yakin dan percaya tidak akan ada yng membocorkan identitas dirinya karena
selama ini dia tidak pernah meminta kepada Dr Halim agar membeberkan status
HIV-nya kepada orang lain.
Apalagi dia belum siap untuk
terbuka. Tapi, ketika disebutkan bahwa Dr Halim
menyampaikan status dirinya pada Kepala Dinas Kesehatan Enrekang, Amat
seolah-olah tidak percaya. Ada rasa
kecewa dalam ruang matanya karena dia belum siap lahir batin untuk membuka
status HIV-nya kepada masyarakat.
Berulang kali Amat menampik fakta itu dengan mengatakan: Tidak mungkin.
Ungkapan itu penuh dengan kekecewaan. Namun, Amat tidak menyalahkan Dr Halim
karena bagi Amat Pak Dokter ini sangat berjasa sehingga dia tidak akan menyoal
mengapa Pak Dokter sampai hati menyampaikan identitas dan status dirinya kepada
orang lain tanpa meminta persetujuannya.
Dalam kasus ini perlu ditelusuri siapa yang membocorkan identitas Amat.
Kalau Amat mau dia dapat menggugat, secara pidana dan perdata, pihak-pihak yang
telah membocorkan rahasia pribadinya karena rahasia pribadi dijamin oleh UU. Perbuatan
pihak-pihak yang membocorkan dan memberikan identisas diri dan status HIV-nya
merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia (HAM).
Satus HIV Amat yang bocor ke publik
ini bisa menjadi bumerang bagi upaya memutus mata rantai penyebaran HIV karena
orang akan takut menjalani tes HIV. Kalau ini yang terjadi maka epidemi HIV di
negeri ini akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS.
Ironisnya, pembeberan identitas orang-orang yang terdeteksi HIV-positif
justru dilakukan oleh orang-orang yang dipaksa oleh hukum untuk merahasiakannya,
seperti dokter dan tenaga medis. Ya, beruntunglah mereka karena korban mereka
hanya sekelas Amat yang tidak mengetahui haknya untuk menuntut pihak yang telah
membeberkan rahasia pribadinya.
Penduduk Jaga Jarak
Kabar bahwa dirinya HIV-positif kini sudah tersebar luas. Yang ada dalam
dirinya hanyalah kepasrahan. Kini, hanya
kata itu yang menemaninya selain istri, ibu dua buah hatinya: berumur 4 tahun dan
2,6 tahun. Kepala Dinas Kesehatan Enrekang, dr Bambang Arya, MKes, mengatakan Amat
tidak mengalami diskriminasi di kampungnya.
Yang membuat Amat bertahan hidup adalah cinta dan kasih sayang yang
diberikan ibunya selama ini. Setiap bulan sang ibu selalu menyisihkan uang untuk biaya Amat mengambil
obat ke Makassar. Setiap bulan kerabat dekatnya juga selalu mengumpulkan uang
untuk Amat.
Kalau dia ke Makassar mengambil obat dia enggan mampir ke rumah kerabatnya. Dia memilih tidur di lorong RS
Wahidin atau di atas bangku di ruang tunggu. Terkadang Amat harus menunggu di
rumah sakit antara empat hari sampai seminggu kalau suster Tesi atau Dr.
Halim tugas luar.
Untuk memenuhi kebutuhan makan selama menunggu obat Amat membawa bekal dari
rumah berupa makanan kecil dan air minum. Kalau Dr Halim dan suster Tesi tidak ada Amat tidak punya pilihan selain menunggu
walaupun berhari-hari. Seratus rupiah sangat berarti baginya sehingga dia
memilih menunggu daripada pulang dengan tangan kosong tanpa obat
Wakil Bupati Enrekang Lody Sindangan dan Ketua DPRD Enrekang mengatakan bahwa Amat mendapat perhatian
khusus dan setiap bulan diberikan bantuan rutin untuk pengobatan.
Selama ini baru sekali Amat menerima uang dari Dinas Kesehatan sebesar Rp
100.000. Yang memperhatikan kondisi Amat hanya orang tuanya dan kerabatnya.
Pernyataan Suryani, staf Dinas Kesehatan Enrekang, yang mengatakan bahwa kulit Amat sudah
megelupas juga tidak benar.
Menurut Amat, memang wajahnya pernah terkelupas tapi hal itu mungkin karena
kondisinya pada saat itu dia demam dengan panas yang tinggi.
Namun, setelah dirawat di RS Wahidin hal
tersebut tidak pernah lagi terjadi. Saat ini kondisi fisiknya telah membaik
setelah memakai obat antiretroviral (ARV). ARV adalah obat antiretroviral yang
berguna untuk menahan laju penggandaan HIV di dalam darah.
Dengan memakai ARV kondisi seorang Odha dapat dijaga agar tidak mudah
diserang penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, TB, sariawan,
jamur, dll. Pemberian ARV harus melalui resep dokter karena ada persayaratan
medis. ARV diberikan gratis melalui rumah sakit dan LSM yang ditunjuk Depkes.
Ada 25 rumah sakit di Indonesia yang menyediakan ARV gratis, salah satu di
antaranya RS Wahidin, Makassar.
Amat kaget ketika Dr Halim memperlihatkan berita soal dirinya di sebuah
harian yang terbit di Makassar ketika mengambil obat tanggal 7 Oktober 2005
lalu.
Menurut Amat dia tidak pernah diwawancarai wartawan. Ini memang salah satu
bentuk berita HIV/AIDS di media massa. Hal ini juga dialami oleh dua perempuan
pengidap HIV/AIDS di Kab Karawang, Jawa Barat (Lihat: Duka Derita Seorang Perempuan Pengidap
HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html
dan Keluarga Pengidap HIV/AIDS di Karawang Dicerai-beraikan Media Massa*
- http://www.aidsindonesia.com/2012/10/keluarga-pengidap-hivaids-di-karawang.html).
Begitu pula dengan pengidap AIDS di Makassar yang berkali-kali diusir
tetangganya karena foto perkawinannya dimuat di halaman depan beberapa media
cetak (Lihat: Nasib ‘Pengantin
AIDS’ di Makassar, Sulsel, yang Berkali-kali Diusir Tetangga - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/nasib-pengantin-aids-di-makassar-sulsel.html).
Wartawan menulis berita berdasarkan wawancara dengan saksi tidak langsung,
dokter dan tenaga medis (Lihat: Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Penerbit PT Sinar Kasih, Jakarta, 2000).
“Apalah dayaku. Saya hanya orang kecil kalau pun saya protes tidak akan ada
yang mau mendengarnya,” kata Amat dengan terbata-bata sambil terisak. Di satu
pihak ada yang merasa bangga dengan memberitakan Amat sebagai orang yang
tertular HIV, tapi di pihak lain Amat didera nestapa yang tidak akan berujung. Celakanya,
pendertiaan objek berita tidak dirasakan oleh wartawan yang menulis berita tsb.
Lagi-lagi Amat berguman, “Terserah apa yang akan mereka lakukan padaku.”
Kalau semua orang sudah mengetahui status HIV-mu?
“Ya, apa boleh buat, tapi saya belum siap mengatakan hal itu secara terbuka kepada masyarakat,”
ujar Amat dengan mata yang berkaca-kaca.
Ada pernyataan pejabat dalam berita di koran itu yang mengatakan bahwa
Pemkab memberikan bantuan rutin setiap bulan kepadanya. Hal inilah yang
sangat menyakitkan bagi Amat karena itu
tidak benar. Fakta ini menunjukkan wartawan tidak melakukan check and re-check sebagai salah satu
kewajiban wartawan terhadap statement
yang mereka peroleh. Pemberitaan tidak berimbang sehingga merugikan satu pihak
dan menguntungkan pihak lain.
Tapi, Amat tidak punya waktu untuk memikirkannya. Yang ada dalam pikirannya
sekarang adalah kelangsungan hidup istri dan kedua anaknya yang masih kecil.
Kedua anaknya masih terlalu kecil untuk memahami kondisi orang tuanya.
Masih panjang perjalanan yang akan mereka lalui, terlalu banyak kebutuhan
yang mesti dipenuhi Amat sebagai orang tua sedangkan tenaganya sudah tidak
seperti dulu lagi. Memang, setiap pagi Amat dan istrinya masih sempat bekerja
di kebun yang tak jauh dari rumahnya, tapi dibutuhkan waktu yang panjang untuk
memperoleh uang sampai tanaman panen.
Zainuddin, penduduk yang sekampung dengan Amat mengatakan setelah ada
penjelasan dari Dinas Kesehatan tentang HIV/AIDS penduduk tidak mengusik Amat lagi. Tapi, ada juga
penduduk yang takut mendekati Amat
karena mereka percaya penyakit Amat akan menular lewat nyamuk dan keringat
kalau bersentuhan. Penduduk tidak mendiskriminasi Amat tapi mereka menjaga
jarak dengannya.
Menurut Zainuddin, pihak RS Wahidin pernah menyurati di kantor desa yang
memberitahu bahwa dua penduduk desa itu terpapar HIV. Sekarang surat itu tidak
diketahui keberadaannya. Suparman, juga sekampung dengan Amat, mengakui memang ada jarak yang terbentang antara
mereka dengan keluarga Amat karena mereka takut terpapar. Penduduk yang tinggal
di dusun itu satu rumpun dan masih keluarga sehingga tidak akan pernah ada
diskriminansi terhadap Amat.
Kepala Desa Tongkonan Basse,
Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang,
Hamza Rahman, mengaku sangat
prihatin dengan kondisi Amat tapi tidak tahu mau ke mana meminta bantuan agar
beban hidupnya ringan.
Menurut Hamza, selama ini pemerintah kabupaten sama sekali tidak pernah
memberikan bantuan selama dia menjabat sebagai kepala desa sejak sembilan bulan
yang lalu. Hamza sangat berharap pada
pihak agar memberikan bantuan kepada Amat terutama untuk meringankan beban
orang tunya yang setiap bulan harus membiayainya ke Makassar mengambil obat.
Yang dilakukan Hamza saat ini adalah berusaha memberikan pengertian kepada
penduduk bahwa kondisi Amat tidak perlu diributkan. Yang harus dilakukan
adalah memberikan dukungan dan dorongan moril kepada Amat dalam menghadapi
kenyataan hidup. Puskesmas menyediakan kondom gratis untuk Amat.
Belakangan dikabarkan Amat tidak
lagi mengambil obat ARV di RS Wahidin, Makassar, tapi di sebuah puskesmas di
Makassar. Sayang, puskesmas tsb. enggan memberikan keterangan apakan Amat masih
rutin mengambil obat ARV.
Belakangan ada kabar (buruk) yang
mengatakan bahwa Amat sudah berpulang September 2009. Sayang, Santi tidak
berhasil menemukan istri dan anak-anak Amat.
Selamat jalan. Semoga Tuhan
memaafkan orang-orang yang membuatmu terpinggirkan dan terhina di hadapan
manusia. Pahalanya untuk bekalmu. ***[AIDS Watch Indonesia/Ditulis
oleh Syaiful W. Harahap, berdasarkan laporan Santiaji Syafaat, Oktober 2005, dari Makassar dan Enrekang, Sulawesi
Selatan]. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.