Media Watch (28/11-2012) - Apakah Pengidap HIV Bisa Dibedakan dengan Orang Normal?
Ada lagi pernyataan: ”Setiap pengidap
HIV positif bisa terlihat persis sama dengan orang sehat dan normal dalam
jangka waktu
yang panjang bahkan bisa sampai 10
tahun.”
Itu salah satu pernyataan dalam brosur
”Aku Bangga Aku Tahu” (ABAT) yang
diproduksi oleh Pusat Promosi Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI, 2011.
Pernyataan itu mengesankan pengidap HIV
orang tidak sehat dan tidak normal. Ini mendorong masyarakat memberikan stigma
(cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang
mengidap atau menderita HIV/AIDS.
Lagi pula, apa, sih, yang dimaksud
”ABAT’ orang normal terkait dengan HIV/AIDS?
Lalu ada pula jargon moral ’seks
bebas’. Tapi, sama sekali tidak ada penjeladsan tentang apa yang dimaksud
dengan ’seks bebas’ dalam brosur ”ABAT”.
Disebutkan dalam brosur: ”Seks bebas
adalah peringkat pertama penyebaran HIV di kota-kota besar di Indonesia. 51.3%
penyebaran HIV di Indonesia terjadi akibat seks bebas, dan jumlahnya terus
meningkat.”
Kalau ’seks bebas’ yang dimaksud dalam
”ABAT” adalah zina atau melacur, maka: Apakah semua penularan HIV/AIDS dengan
faktor risiko hubungan seksual terjadi karena zina dan melacur?
Wah, ini merupakan penghinaan terhadap
ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya, bayi yang tertular HIV
dari ibunya, dan orang-orang yang tertular HIV dari transfusi darah.
Lagi-lagi brosur ini hanya menyuburkan
mitos. Penularan HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan
seksual (zina, melacur, dll.), tapi karena kondisi hubungan seksual (salah satu
mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama). Ini
fakta. Tapi, dalam brosur ”ABAT” fakta ini tidak ada.
Ini lagi pernyataan dalam ”ABAT”: ”Penularan
HIV lewat seks bebas mungkin telah diketahui secara umum, ....”
Kalau ’seks bebas’ diartikan zina atau
melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan
HIV. Pernyataan tsb. menyesatkan.
Disebutkan lagi: ” .... semua orang
mungkin merasa sudah tahu dan pernah mendengar tentang penyebaran dan penularan
HIV yang sering diberitakan terjadi pada kelompok tertentu… ”
Lagi-lagi mendorong stigma terhadap kelompok
tertentu yang dimaksud dalam brosur ini. Kalau yang dimaksud kelompok tertentu
itu adalah pekerja seks komersial (PSK) dan waria, maka lagi-lagi ada fakta
yang digelapkan, yaitu: yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki,
meminjam istilah ”ABAT”, normal dan sehat. Dalam
kehidupan sehari-hari 'laki-laki normal dan sehat' itu bisa jadi seorang suami.
Maka, tidaklah mengherakan kalau kemudian banyak ibu rumah tangga (baca: istri)
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS. Mereka, al. tertular HIV
dari suaminya dalam ikatan pernikahan yang sah.
Ada lagi pernyataan: ”Yahh intinya
hidup baik, normal dan berpendidikan dan pastinya jauh dari kemungkinan
tertular HIV.”
Apa ukuran, takaran dan timbangan
”hidup baik, normal dan berpendidikan” yang bisa jauh dari kemungkinan tertular
HIV?
Siapa yang berhak mengukur, menakar dan
menimbang timbangan ”hidup baik, normal dan berpendidikan” yang bisa menjauhkan
remaja dari kemungkinan tertular HIV?
Yang jelas risiko tertular HIV melalui
hubungan seksual terjadi karena dilakukan tanpa kondom, di dalam dan di luar
nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti PSK dan waria serta pelaku kawin-cerai.
Disebutkan bahwa: ”HIV menyebar pada
cairan tubuh manusia, dan hanya ada tiga cairan tubuh yang rawan membawa HIV
yaitu darah, ASI, dan cairan kelamin.”
Apa yang dimaksud dengan cairan
kelamin?
Secara harfiah cairan kelamin adalah
cairan yang keluar dari alat kelamin, al. air kencing. Nah, konsentrasi HIV
dalam air kencing tidak cukup untuk ditularkan.
Susah amat, sih, mengatakan air mani dan cairan vagina?
Informasi dalam ”ABAT” ini kian tidak
komprehensif. Lihat saja pernyataan ini: Di seluruh dunia termasuk di
Indonesia saat ini, cairan kelamin adalah media
penyebab penyebaran HIV terbesar akibat perilaku seks bebas, ....”
Tidak ada disebutkan secara eksplisit
cara yang konkret yang bisa dilakukan remaja untuk mencegah penularan HIV. Remaja diajak memahami informasi, dengan harapan mereka akan otomatis
mengetahui cara-cara pencegahan. Anggapan ini keliru besar karena tidak semudah
itu remaja bisa mengetahui cara-cara yang konkret untuk mencegah HIV. Apalagi,
informasi yang ada dalam ”ABAT” juga tidak akurat.
Persoalan utama yang dihadapi remaja
adalah menyalurkan hasrat dorongan seksual. Remaja sudah ada pada tahap yang
’matang’ secara seksual setelah mereka ’mimpi basah’ (remaja putra yang
mengeluarkan air mani ketika tidur yang menandakan fungsi reproduksinya sudah
mulai jalan) dan menstruasi pada remaja putri.
Kalau saja yang merancang brosur ”ABAT”
mau berbagi dengan remaja justru akan lebih arif dan bijaksana, yaitu
menjelaskan langkah-langkah konkret yang dilakukan ketika mereka remaja dalam
menyalurkan dorongan hasrat seksual sehingga tidak berisiko tertular HIV/AIDS.
Pemakaian bahasa dalam ”ABAT” ada yang tidak
mengacu kepada EYD (Ejaaan Yang Disempurnakan). Lihat saja pemakaian awalan dan
kata depan yang tidak tepat, seperti pada kata diantara. Di di sini kata depan bukan awalan.
Kalau hanya mengandalkan ”ABAT” remaja
tidak akan mengetahui cara yang konkret untuk menyalurkan dorongan seksual
tanpa berhadapan dengan risiko tertular HIV/AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Setuju Bung Syaiful, bahkan mgkin keputusan penetapan program mlalui kegiatan promosi dengan media ABAT justru tidak mengikutsertakan para remaja atau mendengar suara-suara remaja... Sangat Tidak Partisipatif!!!
BalasHapusArtikelnya menarik... yang seperti ini yang harus disebarkan...
BalasHapusIjin share yahhh...
Leaflet ini sdh direvisi dlm cetakan tahun selanjutnya. seks bebas menjadi seks berisiko
BalasHapusLeaflet ini sdh direvisi dlm cetakan tahun selanjutnya. seks bebas menjadi seks berisiko
BalasHapus