26 November 2012

7 Bayi di Kalimantan Selatan Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS

Tanggapan Berita (26/11-2012) – “Angka penderita HIV/AIDS di Kalimantan Selatan terus meningkat. Saat ini tercatat 440 kasus, dan tujuh di antaranya menimpa bayi yang tertular dari ibu pengidap penyakit tersebut.” (Tujuh Bayi di Kalsel Terjangkit HIV/AIDS,  www.mediaindonesia.com, 12/11-2012).

Biar pun sudah ada fakta yaitu tujuh bayi yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, tapi Pemprov Kalsel belum juga menjalankan program penanggulangan yang konkret.

Yang patut dipertanyakan adalah: Apakah suami tujuh perempuan yang menularkan HIV kepada anaknya sudah menjalani tes HIV?

Kalau belum, maka tujuh laki-laki itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Tujuh suami itu kemungkinan tertular HIV melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK). Dilaporkan dari 440 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kalsel ternyata 55 persen tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom.

Pemprov Kalsel, dalam hal ini Dinkes Kalsel, boleh saja menepuk dada dengan mengatakan: Di Kalsel tidak ada pelacuran!

Itu benar. Tapi, tunggu dulu. Yang tidak ada adalah lokalisasi pelacuran, sedangkan praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Disebutkan angka kasus tsb. lebih rendah dari estimasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memperkirakan jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 960.

Mengapa banyak kasus yang tidak terdeteksi?

Tentu saja kasus HIV/AIDS tidak banyak yang terdeteksi di Kalsel karena fasilitas tes HIV tidak merata di semua kabupaten dan kota. Selain itu tingkat penjangkauan ke kalangan yang perilakunya berisiko pun sangat kecil.

Kasus-kasus yang tidak terdeteksi itu menjadi bumerang karena merupakan mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Kepala Dinas Kesehatan Kalsel, Rosihan Adhani,  mengatakan kondisi tersebut harus diwaspadai.

Celakanya, Dinkes Kalsel hanya mengampanyekan tentang bahaya perilaku seks bebas dan konsumsi narkoba.

Kampanye saja tidak ada manfaatnya karena pratek pelacuran terus terjadi. Tidak ada jaminan laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom jika melacur. Selama pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena program penanggulangan, berupa mewajibkan laki-laki memakai kondom jika melacur, tidak bisa dijalankan secara efektif.

Disebutkan pula oleh Rosihan: "Oleh karena itu kami mewajibkan rumah sakit seperti Rumah sakit Umum Daerah (RSUD) Ulin Banjarmasin untuk merawat para penderita HIV/AIDS."

Langkah Rosihan ini hanyalah penanggulangan di hilir. Artinya, Rosihan menunggu dulu ada penduduk yang tertular HIV kemudian terdeteksi baru dirawat.

Jika Pemprov Kalsel tidak mempunyai program yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS terjadi yang kelak akan berujung pada ’ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.