Tanggapan Berita (9/11-2012) - “Tahun Ini Penderita HIV/AIDS di Sulsel 3,6
Juta Orang” Ini judul berita di kompas.com
(7/11-2012).
Judul
berita ini benar-benar fantastis dan sensasional. Judul ini dikutip dari
pernyataan Asisten III Bidang Kesejahteraan Rakyat Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan, Amal Natsir, yang mengatakan: "Hingga tahun 2012, jumlah
penderita HIV/AIDS di Sulsel mencapai 3,6 juta orang. Selama tiga bulan
terakhir, jumlah penderita mengalami kenaikan hingga 200 orang. Jadi kalau
tidak dicegah, diperkirakan pada tahun 2015 mencapai 5 juta orang penderita
HIV/AIDS. Hal ini tentunya menjadi perhatian serius pemerintah."
Celakanya,
wartawan yang menulis berita ini hanya mengutip pernyataan Amal secara langsung
tanpa melakukan check and recheck ke sumber lain. Laporan resmi Kemenkes
menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Sulsel per 30 Juni 2012 adalah 3.713
yang terdiri atas 2.714 HIV dan 999 AIDS.
Lalu,
dari mana sumber angka yang disebutkan Amal tsb.? Tidak ada penjelasan. Karena
wartawan mengutip langsung pernyataan Amal, maka dikesankan angka itu benar
adanya.
Apakah
masuk akal dengan penduduk 8 juta jiwa ada 3,6 juta penduduk yang mengidap
HIV/AIDS? Kalau ini yang terjadi tentulah rumah-rumah sakit sudah penuh sesak
dengan penderita HIV/AIDS yang sudah masuk masa AIDS yang berobat dengan
penyakit-penyakit infeksi oportunistik.
Disebutkan:
Penderita HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Hingga tahun 2012 ini, Sulsel menduduki urutan ke-8 terbanyak kasus HIV/ADIS
dari 33 provinsi di Indonesia.
Nah,
lagi-lagi wartawan atau pembicara tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Laporan kasus HIV/AIDS
di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus baru ditambah
kasus lama sejak kasus pertama ditemukan. Begitu seterusnya sehingga biar pun
banyak penderita HIV/AIDS yang meninggal angka laporan tidak akan pernah turun.
Maka,
konsekuensinya adalah laporan kasus HIV/AIDS akan terus bertambah karena
dilaporkan secara kumulatif.
Amal
mengungkapkan, masuknya Sulsel urutan ke-8 terbanyak kasus HIV/AIDS di
Indonesia harus menjadi perhatian serius Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel.
Pertanyaan
untuk Amal: Apa langkah konkret Pemprov Sulsel untuk menanggulangi penyebaran
HIV/AIDS?
Ternyata
tidak ada. Bahkan, dalam Perda AIDS Prov Sulsel No 4 Tahun 2010 pun tidak ada
satu pasal yang memberikan cara penanggulangan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: Perda AIDS Provinsi
Sulawesi Selatan - http://www.aidsindonesia.com/2012/11/perda-aids-provinsi-sulawesi-selatan.html).
Disebutkan
pula oleh Amal bahwa “ …. penyebab terjangkitnya penderita HIV/AIDS di Sulsel
melalui seks bebas, ….”
Lagi-lagi
pernyataan Amal ini tidak akurat karena kalau ‘seke bebas’ diartikan sebagai
zina, maka tidak ada kaitan langsung antara zina dan penularan HIV. Penularan
HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan
seksual) jika salah satu dari pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap
HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama
(kondisi hubungan seksual).
Salah
satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Kota Makassar adalah hubungan
seksual tanpa kondom yang dilakukan laki-laki dewasa dengan pekerja seks
komersial (PSK) tidak langsung (Lihat: AIDS
di Kota Makassar, Sulsel, Penyebarannya Didorong PSK Tidak Langsung - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/aids-di-kota-makassar-sulsel.html).
Disebutkan
pula bahwa “ …. masih ditemukan diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS dalam
pemberitaan media.”
Penelitian
menunjukkan bahwa sarana kesehatan pemerintah justru yang ada di depan dalam
melakukan diskriminasi terhadap pasien HIV/AIDS.
Disebutkan
pula oleh Amal: "Menyikapi kondisi itu, Biro Napza dan HIV/AIDS
menginsiasi workshop management media alat komunikasi rehabilitasi korban napza
dan HIV/AIDS. Dengan begitu, ke depannya stigma dan diskriminasi terhadap
korban dapat diminimalisasi."
Nah,
Amal tidak menyadari bahwa yang dilakukan itu adalah penanggulangan di hilir.
Artinya, Biro Napza dan HIV/AIDS Pemprov Sulsel menunggu ada dulu penduduk yang
tertular HIV/AIDS baru dihindari agar tidak terjadi stigma dan diskrimiasi.
Selama
narasumber yang terkait dengan HIV/AIDS dan Narkoba tidak bisa memberikan
informasi yang akurat kepada wartawan, maka selama itu pula berita HIV/AIDS
tidak akan (pernah) komrehensif karena pemahaman sebagian besar wartawan
terhadap HIV/AIDS dan Narkoba sangat rendah.
Berita
ini menunjukkan salah satu bentuk berita yang ditulis oleh wartawan yang
pemahamannya terhada HIV/AIDS dan Narkoba sangat rendah.
Celakanya,
pemerintah tidak mau mendanai pelatihan wartawan untuk penulisan HIV/AIDS yang
komrehensif karena hasilnya tidak bisa diukur dengan angka. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.