Tanggapan Berita (7/10-2012) – “
…. diperkirakan sekitar 500 ibu hamil
di Bali terinfeksi HIV hingga mengancam janinnya ikut tertular. Karenanya,
ibu-ibu yang sedang hamil disarankan untuk menjalani tes HIV/AIDS untuk
mengetahui kondisi mereka dan janin yang dikandungnya, apakah kemungkinan
terinfeksi HIV/AIDS atau tidak.” (Ibu
Hamil akan Dites HIV/AIDS, “Bali Post”,
24/9-2012).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota
Denpasar, Bali, dari tahun 1987 sampai Maret 2012 tercatat 2.408 dengan rincian
1.218 HIV (terdiri atas 457 perempuan dan 761 laki-laki). Sedangkan AIDS 1.190 terdiri
atas perempuan 376 dan laki-laki 814 ("Bali Post", 27/5-2012).
Biarpun fakta di atas merupakan
fenomena di Bali, termasuk Kota Denpasar, tapi rancangan peraturan daerah
(raperda) tentang penanggulangan HIV/AIDS di Kota Denpasar ternyata lebih
mementingkan hukuman bagi yang sengaja menularkan HIV/AIDS dan tes HIV bagi
calon mempelai.
Padahal, lebih dari 90 persen kasus
penularan HIV/AIDS terjadi tanpa disadari baik oleh yang menularkan maupun yang
ditulari atau yang tertular. Lagi pula jika seseorang terdeteksi HIV/AIDS
melalui tes HIV sesuai dengan standar baku maka salah satu janji yang harus
dijalankan kalau terbukti positif adalah: Menghentikan penularan HIV mulai dari
dirinya!
Selain itu andaikan seorang istri
terdeteksi mengidap HIV/AIDS dan dia membayar pengacara yang handal dan
pengadilan membuktikan si suami sengaja menularkan, maka suami mendekam di
penjara, istri bergelut dengan HIV/AIDS, dan anak-anak hidup dengan HIV/AIDS. Uang
pun habis membayar pengacara. Kalau istri tidak bekerja tentulah muncul masalah
baru bagi dia dan anak-anaknya selain menghadapi stigma (cap buruk) dan
diskriminasi (perlakuan berbeda) di masyarakat.
Tapi, ada misi di balik wacana itu.
Ada kemungkinan yang mau ‘ditembak’ adalah pekerja seks komersial (PSK),
termasuk PSK tidak langsung di kafe, pub, diskotek, dll.
‘Tembakan’ itu pun tidak ada
manfaatnya karena:
Pertama, yang
menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki dewasa yang bisa saja penduduk asli
Kota Denpasar. Laki-laki ini bisa saja sebagai seorang suami.
Kedua, ada pula
laki-laki dewasa, yang bisa saja penduduk asli Kota Denpasar, yang tertular HIV
dari PSK karena tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK langsung atau
PSK tidak langsung. Laki-laki ini pun bisa saja sebagai seorang suami.
Ketiga,
bagaimana jika kelak terbukti yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki
dewasa penduduk Kota Denpasar?
Terkait dengan anjuran agar ‘ibu-ibu
yang sedang hamil disarankan untuk menjalani tes HIV/AIDS untuk mengetahui
kondisi mereka dan janin yang dikandungnya, apakah kemungkinan terinfeksi
HIV/AIDS atau tidak’ juga jadi persoalan besar karena banyak yang merasa
dirinya tidak mengidap HIV/AIDS karena informasi HIV/AIDS selama ini tidak
akurat.
Ketua Program prevention-mother –to-child -transmission (PMTCT) RS Sanglah, dr. AAN Jaya Kusuma, Sp.OG, mengatakan bahwa kasus HIV/AIDS yang tinggi pada ibu hamil maka diarahkan agar ibu-ibu hamil menjalani tes HIV. Tapi, menurut Jaya Kusuma: ''Saat ini pemeriksaan HIV/AIDS masih disarankan. Namun ke depan, pemeriksaan ini akan dilakukan untuk setiap ibu hamil.''
Tentu saja langkah itu terlambat
karena beberapa negara di Asia Pasifik sudah lama mempunyai program yang
sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil (Lihat Tabel).
Tes HIV terhadap perempuan hamil
terkait dengan upaya pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Jika
seorang perempuan hamil tidak ditangani dokter sejak awal, maka risiko bayi
tertular HIV mencapai 30 persen. Artinya, dari 100 perempuan hamil yang
mengidap HIV akan lahir 30 bayi dengan HIV/AIDS. Tapi, kalau ditangani dokter
sejak awal maka risiko bayi tertular HIV dari ibunya di bawah 8 persen bahkan
bisa nol persen.
Sejak tahun 2005 RS Sanglah, Denpasar, sudah menjalankan program PMTCT terhdap 130 perempuan hamil dengan hasil tidak ada bayi yang tertular HIV.
Begitu pula dengan wacana tes HIV sebelum menikah merupakan langkah yang tidak ada gunanya. Sia-sia. Soalnya, bisa saja calon pengantin, terutama laki-laki, berada pada masa jendela (tertular di bawah tiga bulan) ketika darahnya diambil untuk tes HIV. Itu artinya hasil tes bisa negatif palsu. HIV sudah ada dalam tubuh tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV di dalam darah. Ini akan menyengsarakan istri karena penularan HIV akan terjadi pada hubungan seksual dalam nikah (Lihat: Sia-sia, Tes HIV Sebelum Menikah - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/sia-sia-tes-hiv-sebelum-menikah_30.html).
Hasil
tes negatif palsu dan negatif asli bisa jadi bumerang karena tes HIV bukan
vaksin. Artinya, bisa saja di antara mereka yang melakukan perilaku berisiko
tertular HIV. Ketika ada yang terdeteksi mengidap HIV, maka mereka akan
menunjukkan “surat bebas HIV/AIDS” yang diberikan ketika tes HIV sebelum
menikah. Masing-masing akan bertahan dengan surat "Bebas AIDS" tsb.
Daripada mengutamakan pasal-pasal
pidana bagi yang sengaja menularkan HIV dan tes HIV bagi calon pengantin di
Raperda AIDS Kota Denpasar akan jauh lebih berguna jika ada pasal yang mengatur
mekanisme tes HIV terhadap perempuan hamil.
Tapi, perlu juga dikaitkan dengan
konseling pasangan sehingga suami pun tidak bisa mengelak untuk menjalani tes
HIV dengan konseling. Soalnya, kalau suami tidak tes HIV dia akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.