20 Oktober 2012

Rancangan Perda AIDS Kab Sintang, Kalbar, Tidak Menyentuh Akar Persoalan


Media Watch (21/10-2012) – Pemprov Kalimantan Barat (Kalbar) sudah menelurkan peraturan daerah (perda) tentang penanggulangan  HIV/AIDS yaitu Perda Prov Kalbar No 2 tanggal 15 Juni 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat. Perda AIDS Kalbar ini ada di urutan ke-39 dari 59 perda sejenis yang sudah ada di Indonesia.

Sekarang Pemkab Sintang merancang perda AIDS pula. Padahal, perda AIDS ’induk’ yaitu Perda AIDS Kalbar saja tidak bisa diandalkan untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kalbar karena tidak ada pasal yang konkret sebagai program untuk menanggulangi HIV/AIDS.

Pertanyaan untuk Pemkab Sintang: Apakah rancangan perda AIDS yang dibuat sudah mengacu dan belajar dari Perda AIDS Kalbar?

Jika draft raperda AIDS Sintang disimak,maka jelas pembuat rancangan itu sama sekali tidak menyimak Perda AIDS Kalbar karena dalam draft sama sekali tidak ada langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV.

Kalau dirunut ada satu hal (c) dari lima masalah pokok terkait dengan penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyrakat yang perlu diintervensi melalui program yang konkret dalam perda, yaitu:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

(b)  Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Sintang.

(d). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan homseksual, yaitu: gay (seks anal) di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

(e) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan LSL (lelaki suka seks lelaki) melalui seks anal di wilayah Kab Sintang, di luar wilayah Kab Sintang dan di luar negeri.

Dalam Perda AIDS Kalbar pun tidak ada langkah konkret berupa program sebagai intervensi terhadap point (c) (Lihat: Menakar Kerja Perda AIDS Provinsi Kalimantan Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menakar-kerja-perda-aids-provinsi.html).  

Selama point (c) tidak diintervensi, maka selama itu pula insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi.

Ada fakta yang selalu diabaikan oleh banyak kalangan, yaitu: yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK adalah laki-laki dewasa yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami. Kemudian ada pula laki-laki dewasa yang tertular HIV dari PSK, laki-laki ini pun dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami.

Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (Lihat Gambar 1).

Coba simak Bagian Kedua tentang Pencegahan HIV dan AIDS di pasal 15 ayat b disebutkan: “Program pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain, program ini meliputi program pemakaian kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko”

Di pasal 1 ayat 16 disebutkan: perilaku berisiko adalah ” .... perilaku seseorang ketika salah satu pasangan yang mempunyai risiko menulari pasangan lainnya (walaupun dengan pasangan tetapnya) dan ketika melakukan aktivitas seksual, mereka tidak menggunakan kondom.”

Bertolak dari batasan pengertian perilaku biriko, maka jika dikaitkan dengan pasal 15 ayat b sama sekali tidak menyentuh akar persoalan karena tidak ada intervensi yang konkret (Lihat Gambar 2).

Pertama, perilaku berisiko tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual adalah kondisi (a), (b), (c), (d) dan (e).

Kedua, bagaimana Pemkab Sintang bisa mengawasi kondisi-kondisi (a), (b), (c), (d) dan (e)?

Ketiga, dalam hubungan seksual pada ikatan pernikahan yang sah yang terjadi adalah suami tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS sehingga mereka tidak memakai kondom.

Pada pasal 15 ayat f disebutkan: Program pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain, program ini meliputi Pelayanan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PMTCT/Prevention Mother To Child Transmission)

Untuk itulah diperlukan program konkret berupa pencegahan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Tapi, apakah program dimaksud ada dalam draft raperda AIDS Kab Sintang?

Tentu saja tidak ada!

Persoalan berikutnya adalah: Apakah program mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil ada dalam draft raperda AIDS Kab Sintang?

Tentu saja tidak ada!

Maka, program pencegahan penularan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pun tidak bisa dijalankan di Kab Sintang.

Di pasal 15 ayat a disebutkan: “Program pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain, program ini meliputi BCC/Behavior Change Comunication atau Komunikasi Perubahan Prilaku (KPP) meliputi Penjangkauan dan Pendampingan terhadap kelompok-kelompok berisiko tertular dan rentan.”

Pertanyaannya adalah:

(1) Berapa lama waktu yang dibutuhkan agar perilaku laki-laki ’hidung belang’ mau memakai kondom jika melacur?

(2) Apakah ada jaminan melalui program tsb. akan membuat semua laki-laki ’hidung belang’ mau memakai kondom jika melacur?

(3) Apakah program tsb. bisa menjangkau perilaku (a), (b), (d), dan (e)?

(4) Apakah ada jaminan orang-orang yang dijangkau program ini selama berlangsung tidak akan melacur tanpa kondom?

(5) Bagaimana memantau keberhasilan program ini secara konkret?

Program yang ditawarkan ini akan efektif jika sekaligus dijalankan program intervensi seperti di Gambar 2. Jika tidak ada program berupa intervensi yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi.

Kasus kumulatif HIV/AIDS sebanyak  102 yang terdeteksi sejak tahun 2006 sampai Maret 2012 tentulah tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (102) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar). 

Maka, yang perlu ada dalam perda adalah mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat.

Apakah dalam raperda ada program dimaksud?

Lagi-lagi tidak ada!

Di pasal 30 disebutkan: “Setiap orang yang melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom.”

Jika dikaitkan dengan penjelasan seperti di pasal 1 ayat 16, maka pertanyaannya adalah: Bagaimana mekanisme untuk memantau penggunaan kondom pada perilaku (a), (b), (d) dan (e) di atas?

Pasal 42 ayat 4 disebutkan:     Peran serta dan kepedulian masyarakat, kelompok/komunitas dan LSM sebagaimana dimaksud ayat (1), (2) dengan cara:

Berperilaku hidup sehat;

Meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS;

Apa, sih, kaitan langsung antara ‘berperilaku hidup sehat’ dan ‘ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV/AIDS?

Pasal ini hanya menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS karena: perilaku mereka dikesankan tidak sehat dan tidak ada ketahahan keluarga mereka.

Jika perda kelak tidak mempunyai pasal-pasal berupa program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka perda itu pun kelak tidak lebih dai copy-paste dan hanya menjadi dokumen pengisi arsip. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.